15 Januari 2006

710. Perempuan Berjihad yang Bersih dari Genderisme

Apabila disebut perkataan 'jihad', apakah yang terlintas di dalam pikiran kita? Serta-merta tergambar kesungguhan berkorban yang akan menimbulkan semangat berjuang hingga ke tetesan darah yang terakhir! Semangat ini memang baik dan perlu dipupuk bertepatan dengan ketetapan Islam serta kehendak Allah SWT.

Menurut arti bahasa (lughawi), jihad adalah bersungguh-sungguh. Jahada filamri, artinya berusaha dengan sungguh-sungguh. Dengan mendasarkan pada pengertian bahasa tersebut, oleh sebagian tokoh agama dan intelektual, kata jihad diimplementasikan dalam banyak aspek. Maka, menurut mereka, semua kegiatan kebaikan yang dilakukan dengan sungguh-sungguh adalah jihad. Menuntut ilmu, bekerja, atau berbagai kegiatan lain, bila dilakukan secara sungguh-sungguh dan bertujuan baik semua adalah jihad. Tetapi, jihad tidak boleh dibatasi pengertiannya hanya menurut arti bahasa saja. Karena di samping arti bahasa, jihad juga memiliki makna yang digali dari nash-nash syar'i yang menjelaskan tentang perintah jihad. Berdasarkan pengertian menurut Syari'ah (syar'i) jihad memiliki arti spesifik, yaitu : "qitaalu lkuffaari fiy sabiyliLlahi li i'lai kalimatiLlahi", yaitu memerangi orang-orang kafir di jalan Allah dalam rangka meninggikan kalimat Allah (Islam). Jadi, jihad adalah mengangkat senjata untuk melawan atau memerangi orang-orang kafir, dalam rangka membela kehormatan Islam dan kaum Muslimin. Demikianlah menurut definisi yang syar'i, jihad ialah mengerahkan tenaga untuk mempertahankan/membela Islam dan kaum Muslimin, bagi mencapai keredaaan Allah. Dari sini nanti akan terbentuk sebuah masyarakat Islam dan seterusnya akan terbina negara Islam yang sehat. Jihad mesti berterusan hingga ke hari qiamat. Martabat jihad yang paling rendah ialah jihad di dalam hati dan yang paling tinggi ialah berperang di atas jalan Allah. Mengorbankan waktu, harta dan kepentingan diri sendiri demi kebaikan Islam serta ummatnya juga adalah jihad. Begitu juga dengan menyeru kearah kebaikan dan mencegah kemungkaran (amar ma'ruf nahyi munkar) serta memperjelaskan hakikat Tawhid (keEsaaan Allah) juga merupakan sebahagian daripada jihad.

Bagimanakah kedudukan perempuan dalam jihad yang bersih dari Genderisme?
Jawaban atas pertanyaan ini mesti benar-benar difahami supaya sumbangan kita dalam jihad akan menguntungkan Islam. Oleh karena itu, kita perlu menyingkap kembali lembaran sejarah Rasulullah SAW untuk mengambil iktibar tentang persoalan jihad bagi kaum perempuan. Diriwayatkan oleh Al-Bazzar dan Ath-Thabrani, pada suatu hari seorang perempuan bernama Zainab yang bergelar Khatibatin-nisa' (seorang tokoh perempuan yang pintar berpidato) datang menemui Rasulullah SAW lalu berkata: "Aku telah diutus oleh kaum perempuan kepada engkau. Jihad yang diwajibkan oleh Allah ke atas kaum lelaki itu, jika mereka luka parah, mereka mendapat pahala. Dan jika mereka gugur pula, mereka hidup disisi Allah dengan mendapat rezeki. Manakala kami kaum perempuan, sering membantu mereka. Maka apakah pula balasan kami untuk semua itu?"
Bersabda Rasulullah SAW: "Sampaikanlah kepada barang siapa yang engkau temui daripada kaum perempuan, bahawasanya taat kepada suami serta mengakui haknya adalah menyamai pahala orang yang berjihad pada jalan Allah, tetapi adalah sangat sedikit sekali daripada golongan kamu yang dapat melakukan demikian."

Pada dasarnya, kaum perempuan disamakan dengan kaum lelaki dalam tanggungjawab agama samada mengenai aqidah, ibadah dan muamalah, kecuali tanggungjawab yang khusus yang sesuai dengan fitrah (nature) kaum perempuan. Begitu juga dengan tanggungjawab jihad yang diwajibkan kepada kaum lelaki tidak diwajibkan kepada kaum perempuan. Seandainya kaum perempuan berupaya pergi bersama-sama kaum lelaki ke medan pertempuran, tidaklah ditolak oleh Islam. Bagaimanapun tugas ini hanya dianggap sebagai sumbangan tambahan. Jelaslah, jihad yang paling utama dan dituntut kepada setiap perempuan ialah taat kepada suami dan mengakui hak suami, manakala jihad di luar rumah adalah sumbangan tambahan bagi mereka yang berbuat demikian.

Oleh sebab itu kita mesti menyakini bahawa berjihad di barisan depan adalah kaum lelaki, sedangksn jihad kaum perempuan sebagai tulang belakang adalah ketetapan Allah SWT yang Maha Adil. Kita perlu memahami firman Allah yang bermaksud:
-- WALMWaMNWN WALMWaMNT B'ADhHM AWLYAa B'ADh YAaMRWN BALM'ARWF WYNHWN 'AN ALMNKR (S. ALTWBt, 9:71), dibaca:
-- walmu'minu-na walmu'mina-ti ba'dhuhum awliya-u ba'dhin ya'muru-na bilma'ru-fi wayanhauna 'anil mungkari, artinya:
-- Dan orang-orang beriman laki-laki dan orang-orang beriman perempuan sebahagian mereka (adalah) wali bagi sebahagian yang lain, mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf dan mencegah yang mungkar (At-Taubah, 71).

Alhasil, sudut-sudut jihad perempuan, yaitu:

  • Menjadikan rumahtangga tempat yang bahagia untuk keluarga berkumpul.
  • Mewujudkan suasana Islam dalam proses pendidikan dan pembesaran anak-anak.
  • Menyempurnakan segala urusan rumah tangga menurut syara' dengan penuh keikhlasan semoga akan beroleh keberkatan.
  • Mengajak sesamanya perempuan memahami prinsip-prinsip Islam dan cara hidup yang Allah tetapkan.
  • Memerangi perkara-perkara bid'ah, khurafat serta pemikiran yang salah dan adab-adab yang buruk yang mengusai perempuan masa kini.
  • Menyertai rancangan kemasyarakatan yang berfaaedah untuk umat manusia umumnya, seperti menjaga anak-anak yatim, organisasi perempuan, sekolah-sekolah dan bantuan untuk keluarga miskin.
Sebagai kesimpulan, sekali lagi perlu dicamkan bahawa jihad yang utama bagi perempuan adalah wajib bagi semua muslimah dalam batas kemampuan yang telah Allah kurniakan. Manakala jihad tambahan yang Allah anugerahkan bersama keistimewaan tertentu tidak boleh membatalkan jihad yang utama. Jihad utama mesti dilaksanakan dahulu, yang bagi kaum perempuan keenam butir di atas itu. WaLlahu a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 15 Januari 2006