15 Agustus 1993

091. Teka-teki yang Tetap Berupa Teka-teki, Matematika dan Fisika Tidak Sepenuhnya Eksak, Bagian Kedua (habis)

Kita mulailah dahulu memperbincangkan yang tidak eksak dalam fisika yaitu yang berupa aproximasi baik yang kwantitatif, maupun yang kwalitatif. Aproximasi yang kwantitatif banyak sekali dijumpai dalam fisika, apakah itu fisika teoritik, lebih-lebih fisika eksperimental, apatah pula dalam fisika teknik, kita bergelimang dengan aproximasi yang kwantitatif. Mengapa? Ya, karena fisika itu dibangun di atas landasan pengukuran. Manalah ada pengukuran yang eksak!

Lalu bagaimana dengan aproximasi yang kwalitatif? Kita akan berikan saja satu contoh, yaitu The General Theory of Relativity dari Albert Einstein. Pendekatan Albert Einstein berbeda dengan Sir Isaac Newton dalam mengkaji alam semesta ini. Einstein memandang alam semesta menurut kacamata matematika, sedangkan Newton memandangnya secara mekanistik. Einstein memandang gravitasi sebagai geodesic line (matematik) sedangkan Newton memandang gravitasi itu sebagai gaya (mekanistik). Maka rumus Einstein tentang gravitasi lebih eksak dari rumus Newton. Seperti diketahui rumus Newton hanya berlaku antara matahari dengan Venus dan satelit matahari di luarnya, tidak berlaku antara matahari dengan Merkuri, sedangkan rumus Einstein berlaku untuk seluruh tata-surya. Jadi rumus Newton hanya berupa aproximasi. Lalu apakah rumus Einstein tentang gravitasi itu sudah eksak? Diragukan. Mengapa? Karena rumus Einstein itu bertolak dari aproximasi. Pada umumnya ada tiga bentuk geometrik, bola berdimensi empat, elipsoida berdimensi empat dan pelana kuda berdimensi empat. Kalkulasi Einstein dalam The General Theory of Relativity memakai model Geometri Riemann, yaitu geometri bola. Einstein berasumsi dalam skala kecil permukaan bola, permukaan elipsoida dan permukaan pelana kuda dapat dianggap sama. Jadi ini suatu aproximasi, tidak eksak. Rumus Einstein tentang gravitasi dalam The General Theory of Relativity hanya sebatas kecil alam semesta yang sangat luas ini. Ya sebatas permukaan bola, elipsoida dan pelana kuda dianggap sama, jadi tidak eksak. Apakah alam semesta ini berbentuk bola, ataukah elipsida ataukah pelana kuda tidak mungkin orang dapat mengetahuinya, tidak mungkin dapat diobservasi, karena menurut observasi kecepatan relatif super-galaxies atau buruj berbanding lurus dengan jaraknya, sehingga ada kecepatan buruj yang sudah mencapai kecepatan cahaya, sehingga tidak dapat dijangkau lagi oleh teleskop, bagaimanapun canggihnya.

Kita akan melangkah sekarang pada teka-teki yang masih berupa teka-teki dalam fisika hingga kini. Sebermula, dalam tahun 1690 Christian Huygens mengemukakan sebuah teori bahwa cahaya itu suatu sistem gelombang. Lalu ia memperkenalkan suatu zat yang hipotetik, yang dinamakannya aether. Suatu zat yang sangat halus, memenuhi alam semesta, dan diam secara mutlak. Dalam tahun 1881 Albert Abraham Michelson melakukan percobaan dengan alat interferemeter. Ia ingin mengetahui berapa kecepatan bumi terhadapa ether yang diam secara mutlak itu. Percobaan itu diulangi lagi bersama-sama dengan Morley dalam tahun 1887, sehingga percobaan itu lebih dikenal dengan percobaan Michelson-Morley.

Hasil percobaan Michelson-Morley menunjukkan tidak ada perbedaan waktu bagi cahaya yang menempuh lintasan tegak lurus dengan yang lintasan menurut gerak bumi. Ini menunjukkan bahwa kecepatan bumi terhadap Aether adalah nol. Jadi bumi sama sekali tidak bergerak terhadap Aether yang diam secara mutlak. Para pakar terperanjat, kecewa, bahkan ada yang demikian paniknya, sehingga ingin memutar kembali jarum jam ketiga abad yang silam, kembali ke faham geosentris, bumi sebagai pusat alam. Ilmu fisika menjelang akhir abad ke 19 menemui jalan buntu.

Einstein tidak panik, ia menunjuk kepada fenomena alam yang didapatkan oleh Fitzgrald, yaitu benda itu akan mengalami perpendekan / kontraksi dalam arah geraknya. Gejala ini disebut kontraksi FitzGerald-Lorentz. Nama Lorentz ikut dibubuhkan, karena atas dasar hasil yang didapatkan Fitzgerald ini, Hendrik Anton Lorentz membuat kalkulasi matematis. Eintein berhasil mengungkapkan sebuah TaqdiruLlah dari hasil percobaan Michelson dan kontraksi F-L tersebut, yaitu kecepatan cahaya invarian, tidak terpengaruh oleh gerak pengamat dan benda yang diamati. Artinya kecepatan cahaya tu tetap 299 792 km/detik terhadap sistem koordinat apa saja. Jadi kecepatan cahaya terhadap bumi, atau terhadap bulan, atau terhadap matahari tetap 299 792 km/detik. Tidak sama dengan benda fisik yang lain, seamsal bulan. Kecepatan bulan terhadap bumi, berbeda dengan kecepatan bulan terhadap Mars, berbeda dengan kecepatan bulan terhadap matahari dst. Dalam pernyataan matematik, dimana c adalah kecepatan cahaya adalah seperti berikut:
c + v = c, c - v = c, c + c = c, c - c = c

Syahdan, inilah teka-teki yang tidak terpecahkan hingga kini. Kecepatan cahaya itu besaran vektor, punya besar dan arah. Lalu mengapa c yang vektor itu tidak tunduk pada aturan operasi dalam sistem aljabar vektor. Atau pertanyaan yang lebih tajam lagi, mengapa c itu tidak menjadi elemen dalam sistem aljabar vektor?

Selanjutnya dalam tahun 1900 Max Planck (1858 - 1947) mengemukakan teori kuantum. Teori itu mengatakan bahwa tenaga radiasi itu dipancarkan secara putus-putus yang disebutnya quanta. Einstein meminjam teori tersebut dengan mengatakan bahwa cahaya itu merupakan kantong-kantong energi, yaitu partikel-partikel yang disebutkannya photon. Dengan cara ini tahun 1905 Einstein dapat menjelaskan fenomena alam yang selama ini belum terpecahkan yaitu efek photoelektris.

Tidaklah berarti bahwa teori gelombang Huygens dengan aethernya itu tertolak. Pembuktian-pembuktian eksperimental sesudahnya menunjukkan bahwa teori gelombang Huygens itu benar. Lebih-lebih makin diyakini orang kebenaran teori itu pada akhir abad ke 19 setelah dicocokkan dengan persamaan elektromagnet dari James Clerk Maxwell. Dalam persamaan Maxwell terdapat konstanta c yaitu kecepatan gangguan terhadap medan elektromagnet, yang secara eksperimental diidentifikasikan sebagai kecepatan gelombang cahaya menjalar. Weber dan Kohlrauch (1856) mendapatkan harga 310 000 km/detik, menghampiri kecepatan cahaya. Percobaan dengan alat yang lebih teliti oleh Curtis (1929) didapatkan c = 299 790 km/detik dan Froome (1952) memperoleh c = 299 792 km/detik. Dari hasil percobaan di atas itu terungkaplah bahwa apa yang oleh Huygens disebut dengan aether, itu adalah medan elektromagnet.

Jadi cahaya itu bermuka dua yaitu berwujud gelombang dan berwujud partikel. Bahkan dualisme ini tambah memuncak dalam tahun 1925 ketika Louis de Brolglie mendapatkan bahwa elektron yang selama ini murni dikenal sebagai partikel, sebenarnya merupakan sistem gelombang. Dua tahun kemudian C.J.Davidson membuktikannya secara eksperimental. Bahkan lebih mengagetkan lagi, bukan saja elektron akan tetapi baik atom sampai kepada molekul juga merupakan sistem gelombang. Inilah pula teka-teki yang tak terjawab hingga kini, apakah cahaya dan molekul partikel atau sistem gelombang.

Maka patutlah disadari bahwa kemampuan manusia dalam mengkaji alam semesta ini sangatlah terbatas kemampuannya. Berfirman Allah dalam S. Al Baqarah 255:
-- Wa la- yuhiethuwna bi syay.in min 'ilmihie illa bima sya-a, dan tidaklah Allah memberikan ilmuNya kepada siapapu juga kecuali atas perkenanNya jua. Allah adalah Sumber Ilmu, wa ma utietum min al'ilmu illa- qalielan, dan tidaklah Kuberikan ilmu itu kecuali cuma sedikit saja, demikian FirmanNya. WaLlahu a'lamu bishshawab.

*** Makassar, 15 Agustus 1993