22 Agustus 1993

092. Arus Informasi Tentang Isu Demokrasi, Fundamentalisme dan Terrorisme, Antara Prasangka, Teori dan yang Empiris

Masih ingat ancaman Presiden Bosnia Alija Izetbegovic beberapa waktu yang lalu? Jika dunia internasional meninggalkannya sendirian melawan Serbia dan Kroasia, ia akan melancarkan terrorisme di Eropa bahkan di mana saja. Pengungsi Bosnia yang ditaksir sekitar 2,5 juta yang tersebar di Eropa memang sangat potensial untuk itu. Rupanya ancaman Alija ini ada juga hasilnya. Sejak itu negara-negara Eoropa yang enggan mendukung Clinton untuk bertindak keras terhadap Serbia, mulai serius. NATO sudah mau juga bertindak keras.

Namun bukan itu yang menjadi pokok pembicaraan, melainkan dari segi informasi. Tata-komunikasi barat ibarat santet yang tukang sirap berita, menyebabkan para konsumen berita terpukau olehnya, lalu melahap bulat-bulat istilah terrorisme dalam berita itu.

Arus informasi yang didominasi oleh tata-komunikasi barat yang memiliki sarana, peralatan dan jaringan organisasi yang unggul, hampir berhasil membentuk opini sebagian besar konsumen berita. Penggunaan ungkapan hampir dan sebagian besar dalam kalimat di atas menunjukkan secercah optimisme, bahwa tidak semua konsumen melahap berita itu bulat-bulat. Ada juga, walaupun sebagian kecil, yang tidak hanyut oleh arus informasi tersebut, yaitu yang mengunyah dan mencerna berita itu secara selektif dan cermat. Saya teringat sebuah film yang berjudul Le Corsaire Noir, Si Bajak Laut Hitam sebuah film asal Perancis. Sepintas lalu film itu isinya sangat sederhana, menceritakan hubungan asmara antara Si Bajak Laut dengan seorang "Lady" teras bangsawan penguasa sebuah puri di daratan Brittania. Namun ada yang menarik untuk disimak dari dialog di antara keduanya. Sang Lady menanyai mengapa kekasihnya itu menjadi bajak laut. Si Bajak Laut menjelaskan bahwa ia seorang raja dari kerajaan yang berwilayahkan kapalnya. Saling bunuh dan rampas-merampas diperbolehkan oleh tata-dunia di antara dua kerajaan yang sedang berperang. Sebagai seorang raja yang berdaulat atas wilayahnya ia berhak menentukan sendiri, kerajaan mana lawannya dan yang mana sekutunya.

Maka dalam tata-komunikasi kontemporer bajak laut tersebut adalah terroris. Akan tetapi andaikata Bosnia ditinggalkan sendirian lalu mereka itu membentuk kelompok-kelompok perlawanan dalam wilayah yang lebih luas, dapatkah mereka itu disebut terroris?

Tunggu dahulu!
Dalam S.Al Hajj 39 dan 40 Allah berfirman:
-- Udzina lilladziena yuqataluwna biannahum dzhulimuw wa inna Llaha 'ala nashrihim laqadier. Alladziena ukhrijuw min diyarihim bi qhayri haqqin illa an yaquwluwna rabbuna Llah, diizinkan berperang bagi mereka yang dizalimi dan sesungguhnya Allah berkuasa memenangkan mereka. Yaitu mereka yang diusir dari tanah airnya dengan tidak semena-mena, hanya karena mereka berkata Maha Pengatur kami adalah Allah.

Orang-orang Bosnia itu dizalimi, dzulimuw, diusir dari tanah airnya, ukhrijuw min diyarihim, karena apa? Karena mereka mengatakan rabbuna Llah, Maha Pengatur kami adalah Allah, kami adalah orang-orang Muslim yang menyembah Allah. Pantaskah orang-orang Bosnia itu apabila ditinggalkan sendirian oleh dunia internasional disebut terroris, kaum fundamentalis yang berkonotif negatif dalam tata-komunikasi barat, jika mereka membentuk kelompok-kelompok perlawanan di pelosok-pelosok Eropa?

Mereka tidak pantas disebut terroris yang berkonotasi negatif. Mareka itu adalah kelompok-kelompok pejuang, regu-regu jihad, bukan teroris yang berkonotasi negatif! Kita tidak boleh terkicuh oleh tata-komunikasi barat. Maka alangkah sumbangnya omongan Prof Dr Samuel Huntington dalam majallah Time, terbitan 28 Juni 1993. Huntington ini atas dasar prasangka terhadap dunia Islam melalui jalur tata-komunikasi barat menyalurkan sangkaan yang dibungkus dengan teori ilmiyah perihal Islam mengancam demokrasi barat. Dalam Time tersebut dapat kita lihat bagaimana kacamata guru besar ilmu politik dari Harvard University ini melihat Islam. Bahwa musuh barat dewasa ini adalah Islam, karena kehadiran Islam akan mengancam keberadaan demokrasi barat, demikian Huntington, yang konon kabarnya di Indonesia ini salah seorang tokoh narasumber yang buku-bukunya menjadi rujukan para mahasiswa dan dosen dalam ilmu sosial dan politik. Oleh karena itu, demikian Huntington, barat harus mewaspadai gerakan-gerakan kaum fundamentalis Islam.

Kalau saya tidak salah dalam sebuah acara sejenis tangkas cerdas di televisi, yang juru omongnya (MC) adalah Rano Karno, ada pertanyaan tentang sebuah negara fundamental Islam, theokrasi, dan dikatator. Remaja kita peserta tangkas cerdas itu tidak ada yang dapat menjawab. Maka dengan rasa bangga Rano Karno membacakan, bahwa itu adalah negara Iran.

Itulah prasangka yang dibungkus kemasan teori ilmiyah disalurkan melalui jalur tata-komunikasi barat. Benarkah Iran itu sebagai suatu negara, ataupun kelompok-kelompok pejuang Islam adalah kaum fundamentalis, yang berbahaya bagi demokrasi barat, menurut Huntington?

Kantor Berita Reuter, yang dimuat di Fajar 10 Agustus 1993 yang lalu, menyiarkan seperti berikut: "Rafsanjani yang dilantik Rabu lalu untuk menduduki kursi kepresidenan selama empat tahun untuk yang kedua kalinya, menunjuk tim pemerintahannya yang beranggotakan 23 orang. Dia mengajukan nama-nama tersebut melalui sepucuk surat yang dibacakan dalam majelis. Sedemikian jauh tidak segera ada indikasi dari kalangan konservatif (dalam majelis) apakah mereka akan menerima seluruh menteri yang diusulkan oleh Rafsanjani tersebut."

Ada pepatah, nilai warisan budaya moyang kita yang masih relevan hingga kini: Sepandai-pandai tupai melompat, sekali waktu gamang jua. Ini berlaku pula bagi Huntington. Huntington, sang Tupai ini akhirnya gamang juga, oleh berita yang dikutip di atas itu. Apabila kita sedikit jeli, berita tersebut mengungkapkan bahwa teori tentang ancaman fundamentalisme Islam yang membahayakan demokrasi barat, tidak membumi. Teori tersebut ditolak oleh realitas dari dunia empiris.

Selama ini saya menyangka bahwa sistem pemerintahan negara yang berbentuk republik hanya dua jenis: Kabinet persidensial dan kabinet parlementer. Itulah demokrasi barat. Lalu bagaimana dengan sistem pemerintahan Republik Islam Iran? Cobalah baca penggalan berita: Sedemikian jauh tidak segera ada indikasi dari kalangan konservatif (dalam majelis) apakah mereka akan menerima seluruh menteri yang diusulkan oleh Rafsanjani tersebut.

Rafsanjani mengusulkan menteri ke majelis. Apa artinya itu? Proses pembentukan pemerintahan dilakukan presiden bersama-sama dengan majelis. Terus terang belum pernah saya dengar sebelumnya proses pembentukan pemerintahan seperti itu dalam ilmu tatanegara. Demikian pula melalalui berita itu dapat kita lihat bagaimana Syari'at Islam "wa amruhum syura baynahum", dan urusan mereka dimusyawarakan di antara mereka, dijabarkan ke dalam Ilmu Fiqh dalam ruang lingkup ketatanegaraan oleh ummat Islam yang Syi'ah. Sebelum membaca berita itu saya belum tahu tentang penjabaran Syari'at ke dalam Fiqh di kalangan Syi'ah itu, karena saya bukan Syi'ah, namun saya sangat berterima kasih kepada Syi'ah oleh karena ilmu saya bertambah (terlepas dari perbedaan theologi antara Ahlu sSunnah dengan Syi'ah).

Semestinya pers kita merengguk keluar menjadi milik kita istilah fundamentalis Islam dari tata-komunikasi barat dengan memberikannya konotasi yang positif. Sebab bukankah fundamentalis berarti Ahlu sSunnah? Fundamentalis Islam adalah ahlu sunnah, bukan teokrasi dan bukan pula diktator, terlebih-lebih lagi bukan terroris yang berkonotasi negatif. Huntington perlu belajar dari fundamentalis Islam tentang proses yang sangat demokratis dalam pembentukan kabinet. Bagaimana tuan Huntington dan para pengagumnya yang ada di kampus-kampus Perguruan Tinggi di Indonesia? WaLlahu a'lamu bishsshawab.

*** Makassar, 22 Agustus 1993