TST biasanya dipakai untuk singkatan tahu sama tahu dalam kongkalikong (persekongkolan). Tetapi dalam kolom ini bukan itu maksudnya, melainkan itu kependekan dari tahu sama tempe, yang sementara ini dalam pemberitaan sedang naik daun, akibat melangitnya harga kedelai, bahan baku industri rumah (home industry). Ini akibat ketergantungan kita pada impor kedelai transgenik yang diekspor oleh Amerika Serikat, yang dari asalnya ini harga kedelai transgenik itu bergerak naik, beruhubung lahan untuk tanaman itu diambil sebahagian untuk menanam jagung. Di Amerika Serikat hanya naik 30 persen, tetapi ketika dijual di Indonesia naik 146 persen, yaitu dari Rp 2.950 per kilogram yang pada awal Januari 2008 melonjak menjadi Rp 7.250 per kilogram. Menurut Aip Syarifudin, yang Ketua Dekopin, melonjaknya harga kedelai itu akibat permainan importer. Namun pada pihak lain, seakan-akan lonjakan harga mendadak ini seperti luput dari perhatian Menteri Perdagangan, dan baru “disadarkan” oleh demo para pemilik industri rumah TST di depan istana Negara, sehingga seakan-akan bertindak impulsif tiba masa tiba akal. Kalaulah seandainya kebijakan ekonomi yang populis dituangkan dalam strategi “agro based home industry”, tidak akan sampai pada taktik tiba masa tiba akal tersebut.
Boleh jadi banyak di antara kita sudah lupa, atau tidak pernah tahu bahwa pada era Orde Baru Indonesia pernah menjadi pengekspor beras dan mendapat penghargaan internasional. Kesuksesan Pak Harto sebagai nakhoda Orde Baru terkhusus dalam beras ini terlupakan karena terkubur oleh blunder Orde Baru yaitu KKN. Blunder HM Suharto ini tidak terlepas dari kebijakan ekonomi yang dibidani oleh para konseptor dalam lembaga Center for Strategic and International Studies (CSIS), yang pada awal-awal berdirinya pernah membuat kesimpulan bahwa, Islam adalah faktor penghambat pembangunan bangsa. Kesimpulan itu dituangkan di dalam buku rencana kerja CSIS yang berjudul Master Plan Pembangunan Bangsa. Strategi pembangunan Orde Baru yang diotaki oleh para ekonom dari madzhab Berkely, menghasilkan pelaku ekonomi berat ke atas (170 konglomerat) yang membuahkan kolusi, korupsi, nepotisme yang bersimbah utang. CSIS sebagai konseptor strategi pembangunan akselerasi modernisasi, yaitu mempercepat (acceleration) petumbuhan ekonomi yang diukur dalam gross national product (GNP). Perbesar kuenya dahulu baru dibagi-bagi. Maka muncullah para taipan, konglomerat yang dekat istana (baca: nepotisme), yang disusul oleh anak cucu Suharto. Para taipan yang konglomerat ini bersama-sama dengan anak cucu Suharto memberikan imbas pada birokrat yang menumbuh suburkan kolusi dan korupsi. Demikianlah madzhab Berkeley ini yang tidak menghiraukan kebijakan yang populis dalam strategi pembangunan, yang bersinergi dengan gerakan "sikap kebulatan tekad" di bidang politik menjelang pemilihan presiden, itulah sesungguhnya yang bertanggung-jawab secara moral dan intelektual tumbuhnya KKN dalam era Suharto.
***
Gajah mati meningglkan gading, harimau mati meninggalkan belang. Gading adalah simbol dari perbuatan baik bagi seseorang yang menimbulkan kesan baik terhadapnya, yang kemudian dituliskan dalam wujud ungkapan: mengukir sejarah emas. Sedangkan belang adalah sebaliknya, yaitu perlambang perbuatan buruk seseorang, yang menimbulkan kesan buruk terhadapnya, yang kemudian dituliskan dalam wujud ungkapan: mengotori sejarah. Di atas sudah dikemukakan gading, yaitu sukses dalam produksi beras dan belang yaitu KKN dari Orde Baru yang dinakhodai oleh Pak Harto itu.
Ada gading Orde Baru yang oleh sementara orang mencoba untuk meretakkannya. Menurut alinea ke-4 UUD-1945 salah satu tugas pemerintah ialah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Maka dalam rangka melindungi itu pemerintah Orde Baru menumpas pemberontakan Partai Komunis Indonesia. Inilah gading Pak Harto yang tidak boleh dilupakan dan tidak boleh dihapuskan.
Marxisme-komunisme sangat berbeda dari paham-paham yang lain. Yaitu, dari segi teoritis, marxisme bukan hanya sebagai buah pikiran tok. Marx berkata: The philosopher have only interpreted the world; the point is however to change it. Demikianlah Karl Marx mengeritik semua buah pikiran para filosof yang hanya menafsirkan dunia. Pada pokoknya buah pikiran itu menurut marxisme harus diupayakan untuk dibumikan dalam dunia nyata dengan gerakan revolusioner yang radikal untuk mengobrak-abrik menumbangkan tatanan sosial secara menyeluruh. Kemudian dari segi empiris, agitasi "Communist Manifesto", membuahkan gerombolan marxis-komunis yang di Indonesia ini sudah dua kali menyulut pemberontakan: Madiun dan Gestapu.
Menjadi pemimpin mengandung risiko berhutang kepada mereka yang tidak bersedia secara ikhlas memaafkan keputusan politik yang membawa kesengsaraan bagi mereka. Makin tinggi kedudukan makin tinggi pula risiko. Namun dibalik itu makin tinggi pula nilai kebajikan yang akan didapatkan, apabila keputusan politik lebih banyak membawa manfaat bagi orang banyak ketimbang mereka yang dirugikan olehnya. Alhasil, siapapun mereka pelaku sejarah itu patut diungkap mana gading gajahnya, mana belang harimaunya. Barulah kita menghargai dengan penuh hormat gading yang ditinggalkannya dan kita maafkan belang yang ditinggalkannya, bagi mereka yang sudah mampu menahan amarahnya dan memaafkan sesamanya. Sedangkan kepada mereka yang belum mampu untuk memaafkan, tentulah tidak boleh kita memaksakan kepada mereka untuk memaafkan:
-- LA YKLF ALLH NFSA ALA WS’AHA (S. ALBQRt, 2:286), dibaca:
-- la- yukallifuLla-hu nafsan illa- wus’aha-, artinya:
--Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.
Maka mereka yang tidak sanggup untuk memaafkan, biarlah hutang-piutang diselesaikan di Hari Pengadilan kelak, oleh karena Allah SWT memberikan hak kepada mereka untuk menagihnya di Hari Pengadilan. WaLlahu a’lamu bisshawab.
***