27 Januari 2008

812. Demokrasi Alat Atau Tujuan ?

Dewi Fortuna dari The Habibie Centre menyatakan: "Saya tidak setuju Wapres Jusuf Kalla yang menyebutkan demokrasi sekadar alat untuk tujuan sejahtera. Demokrasi suatu tata nilai. Nilai ini berkaitan dengan penghargaan kepada perbedaan, mengontrol kekuasaan pada upaya menjadi sejahtera. Dengan pernyataannya itu seakan-akan Dewi Fortuna menganggap demokrasi itu adalah tujuan (goal). Saya beri penjelasan dengan "goal", karena tujuan itu bisa berarti "objective" bisa pula berarti "goal". Objective menyangkut taktik yang berjangka pendek, sedangkan goal menyangkut strategi yang berjangka panjang.

Sebelum membahas subyek ini lebih lanjut, maka sebermula akan dikemukakan dahulu Piagam Jakarta, Pembukaan UUD-1945, Proklamasi 17 Agusuts 1945 dan Dekrit 5 Juli 1959. Karena ruangan terbatas tidak dituliskan keempat-empatnya, cukup dengan penjelasan tentang kaitannya yang satu dengan yang lain. Piagam Jakarta itu "nyaris" sama dengan Pembukaan UUD-1945, yang sebermula merupakan keinginan atau dalam bahasa Bugis-Makassarnya das Sollen (diucapkan daz zollen) untuk dijadikan teks Maklumat atau Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Tetapi karena sehari sebelumnya proklamator "diculik" oleh pemuda ke Rengas Dengklok, sehingga naskan Piagam Jakarta itu tercecer tidak sempat dibawa, sehingga berdasar atas "ingatan' maka diambil saja bagian terakhir dari alinea ketiga Piagam Jakarta: maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya. Itu diubah sedikit lalu menjadi kalimat pertama dari teks Proklamasi, yaitu Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakana kemerdekaan Indonesia. Secara historis apa adanya, yang dalam bahasa Bugis-Makassarnya das Sein (diucapkan daz zain, bukan zein), Piagam Jakarta pada 18 Agusutus 1945 dijadikan Pembukaan UUD-1945, yang "nyaris" sama hanya berbeda dalam hal Muqaddimah diganti dengan Pembukaan dan Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya diubah menjadi Ketuhanan yang Maha Esa. Di luar dari kedua diktum tsb, semuanya sama, sehingga disebutkan di atas dengan "nyaris' sama. Selanjutnya secara historis das Sein, Dekrit 5 Juli 1959 yang menjadi sumber hukum RI kedua (sumber hukum RI pertama yaitu Proklamasi), dimulai dengan diktum bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD-1945.

Secara das Sein, dalam alinea keempat termaktub bahwa Republik Indonseia berdasar kepada: KetuhananYang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia. Jadi ada empat dasar (sila) dan satu tujuan (goal).
Diktum kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan, itulah ditafsirkan sebagai demokrasi atau kedaulatan rakyat. Kalau kita berbicara das Sein, maka kedaulatan rakyat itu dijiwai oleh Syari'at Islam, sehingga kedaulatan itu tidaklah 100 %, yakni hal-hal yang bertentangan dengan Syari'at Islam itu berada di luar kekuasaan kedaulatn rakyat untuk meng-"halal"-kannya, seperti misalnya faham liberalisme tentang perekonomian kapitalistik yang tidak pupulis, homoseksual / lesbian, pornografi, porno-aksi dlsb.,
Maka pernyataan Dewi Fortuna itu perlu direvisi bahwa demokrasi atau kedaulatan rakyat yang bukan tanpa reserve adalah dasar dan yang menjadi tujuan (goal) adalah mewujudkan suatu keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia. Dan kalau dijiawai oleh Syariat Islam, maka:
-- BLDt ThYBt WRB GhFWR (S. SBAa, 34:15), dibaca:
-- baldatun thayyibatun wa rabbun ghfu-r, artinya:
-- negeri sejahtera yang mendapat maghfirah dari Yang Maha Pemelihara.
***

Dalam hubungannya dengan Pilkada, yang ongkosnya yang sangat-sangat mahal baik dari segi nilai finansial, nilai sosial dan nilai psikologis, mengapakah tidak surut langkah dan mengikuti saja apa yang diisyaratkan oleh diktum permusyawaratan / perwakilan dalm alinea ke-4 UUD-1945, yaitu pemilihan gubernur dan bupati melalui proses permusyawaratan perwakilan, jadi cukup sekali saja serempak melaksanana Pemilu untuk memilih wakil-wakil rakyat yang nantinya bermusyawarah menetapkan gubernur ataupun bupati. Seperti kita sksikan das Sein pemilihan langsung ini menternakkan demo-demo yang tidak produktif (yang katanya salah satu instrument demokrasi), sebab menjadi SunatuLlah, bahwa jika terjadi kumpulan massa yang meliwati batas jumlah tertentu akan terjadi hiruk-pikuk (crowded) yang membuahkan tindakan anarkis. Penunjukan gubernur dan bupati secara musyawarah oleh wakil-wakil rakyat, ongkosnya jauh, jauh, jauh lebih murah secara financial, sosiologis dan psikologis, ketimbang pemilihan langsung. Kalau musyawarah itu dijiwai oleh Syari'at Islam, insya Allah jalannya akan mulus tanpa terjadinya konflik yang potensial:

-- WAMRHM SyWRY BYNHM (S. ALSYWRY, 42:38), dibaca:
-- wa amruhum syu-ra- bainahum, artinya:
-- urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka

Musyawarah akar katanya dari Syin-Waw-Ra, [Sy-W-R], yang artinya mengambil madu dari sarang lebah. Mendapatkan hasil yang manis tanpa disengat lebah (baca: konflik yang potensial). WaLlah a'lamu bisshawab.
***
Makassar, 27 Januari 2008