17 Agustus 2008

841. Bukan Hukuman Mati, Melainkan Sanksi Potong Tangan bagi Koruptor

Firman Allah:
-- WALSARQ WALSARQt FAQTh'AWA AYDYHMA JZAa BMA KSBA NKLA MN ALLH WALLH 'AZYZ hKYM (S. ALMaDt, 5:38), dibaca:
-- wassa-riqu wassa-riqatu faqtha'u- aidiyahuma- Jaza-am bima- kasaba- naka-lan minalla-hi walla-hu 'azi-zun haki-m, artinya:
-- Terhadap pencuri laki-laki dan pencuri perempuan, maka potonglah tangan keduanya sebagai balasan pekerjaan keduanya, dan sebagai siksaan dari Allah, dan Allah Maha Perkasa dan Maha Bijaksana.

Tidak seperti biasanya kolom ini ditutup dengan ayat, maka sekali ini kita mulai dengan ayat. Mengapa? Hari ini tepat 2008 – 1945 = 63 tahun bangsa Indonesia "merdeka". Merdeka di antara dua tanda kutip sebab kita ini pada hakikatnya belum merdeka, di bidang politik, ekonomi, membuat dan menjalankan hukum positif. Tetapi bukan itu yang akan dibahas, melainkan seperti ayat (5:38) dan judul di atas, sanksi bagi koruptor kelas kakap.

Karena para koruptor kelas kakap itu lebih banyak yang beragama Islam, maka agama Islamlah yang disalahkan. Saya pungut dari cyber space. Seorang yang memakai nama leonardo rimba (tentu ini nama samaran, sebab di cyber tidak banyak yang berlaku jantan yang memakai nama sebenarnya) yang menulis seperti berikut: Nggak usah jauh-jauh, lihat saja semua Wakil Rakyat itu. Lihat saja semua Hakim-Hakim itu. Apakah mereka itu bukan orang beragama ??? Apakah mereka bukan beragama ISLAM ??

Ada yang mengaggap agama dan sanksi hukum itu tidak ada gunanya, seperti pernyataan Anak Bangsa (ini jelas nama samaran juga): Jadi permasalahannya bukan hukum yang di gunakan atau sangsinya (saya tidak ubah ejaannya-HMNA-) tapi kembali pada individu tersebut mempunyai itikad tidak baik (=berniat jahat -HMNA) dalam melakukan kesaharian meraka, terus kalo mereka beragama kenapa juga melakukan tindakan tercela yang sudah jelas jelas dilarang agama.

Leo menyalahkan agama Islam, Anak Bangsa menyepelekan agama dan sanksi hukum. Siapapun juga yang berpandangan demikian, jawabannya sangat sederhana: Apakah Syari'at Islam sudah dijalankan di Indonesia ini sesuai dengan amanat Konstitusi, Dekrit 5 Juli ???

Dekrit 5 Juli 1959
Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut;
Maka atas dasar-dasar tersebut di atas,
KAMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN PERANG,
Menetapkan pembubaran Konstituante;
Menetapkan Undang-undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah-darah Indonesia, terhitung mulai hari tanggal penetapan dekrit ini, dan tidak berlakunya lagi Undang-undang Dasar Sementara.
Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, yang terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan serta pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara, akan diselenggarakan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.

Ditetapkan di Jakarta.
Pada tanggal 5 Juli 1959.
Atas nama rakyat Indonesia :
Presiden Republik Indonesia/Panglima Tertinggi Angkatan Perang

Piagam Jakarta alinea keempat:
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Hanya yang berpikiran picik saja yang menyepelekan sanksi hukum. Ya memang kalau sanksi hukum tidak memberikan efek jera baik yang melakukan korupsi maupun bagi masyarakat luas, iya-iyalah wajar-wajar saja disepelekan yang demikian itu. Akan tetapi kalau amanat Konstitusi Dekrit 5 Juli dilaksanakan dengan diterapkannya sanksi hukum menurut Syari'at Islam seperti ayat (5:38) yang membuka Seri 841 ini, sanksi potong tangan laki-laki dan perempuan yang pencuri (koruptor itukan pencuri, mengambil harta yang bukan haknya), apa tidak ngeri kemana-mana dengan tangan buntung?, mana tahan, orang akan ngeri !

Dalam kaitannya dengan Orang yang beritikad tidak baik, tegasnya berniat jahat, ada rumus:
berbuat kejahatan = niat jahat + kesempatan. Fungsi agama secara internal, yaitu energi iman memperbaiki niat individu, dan fungsi agama secara eksternal, yaitu mekanisme hukum Syari'at potong tangan bagi koruptor menghalangi kesempatan bagi yang berniat jahat. Dari mana datangnya niat jahat? Itu dari energi iblis.

Alhasil, tanpa pelasanaan Syari'at Islam kita tidak bisa berharap mendapat kebaikan dari agama Islam yang diyakini datang untuk membawa rahmat. Lalu mengapa kita masih suka berlama-lama hidup seperti sekarang, dimana korupsi sudah menirbudaya (kalau pakai ungkapan korupsi sudah membudaya, itu salah sama sekali). Itu sama saja dengan seseorang yang marah-marah ketika tubuhnya didera penyakit, tapi obat di tangan hanya dilihat-lihat saja. Mana bakal sembuh?

Tentu tidak semua pencuri harus dihukumi potong tangan. Harus dikenali dahulu apa penyebabnya. Di zaman khalifah Umar RA seorang pencuri yang diketahui karena keluarganya kelaparan bahkan diberi santunan oleh negara. Sanksi potong tangan itu sangat efektif untuk memberantas korupsi kelas kakap yang triliunan rupiah. Tentu saja kriteria korupsi kelas kakap itu perlu dijabarkan ke dalam fiqh konpemporer. WaLlahu a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 17 Agustus 2008