6 Desember 2009

900. Kondomisasi Bukan Solusi Cegah Penyebaran HIV/Aids

Acquired Immunodeficiency Syndrome (Aids) merupakan kumpulan gejala penyakit akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh oleh virus yang disebut Human Immunodeficiency Virus (HIV). Menurut EYD singkatan HIV seluruhnya dituliskan dengan huruf kapital, karena singkatan itu semuanya diambil dari huruf pertama, sedangkan Aids tidak demikian halnya, sehingga hanya huruf pertama saja yang ditulis dengan huruf kapital. HIV menyerang sistem kekebalan tubuh manusia yang menimbulkan Aids. HIV menyerang salah satu jenis dari sel-sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi. Sel darah putih tersebut termasuk limfosit yang disebut "sel T-4" atau disebut juga "sel CD-4".

Yang patut disesalkan seperti apa yang saya pernah saksikan sendiri, dalam rangka kegiatan penyuluhan HIV/Aids, panitia pelaksana (LSM) mempertontonkan kondom di luar ruangan sidang, bahkan ada anggota panitia yang membagi-bagikan kondom kepada para remaja. Aktivitas ini patut dihentikan karena dapat merusak akhlaq remaja utamanya bagi para ABG (anak baru gede), mereka diberi keberanian untuk berzina. Kalau di barat itu bukan masalah, yaitu bagi mereka yang menganut filsafat permissiveness, kebebasan sex.

Proteksi dengan kondom (kondomisasi)sama sekali tidak aman, karena teknologi kondom dibuat dari karet lateks, di mana pori-pori karet lateks itu berdiameter 0,003mm, sedangkan ukuran virus jenis HIV diameternya 0,000001mm (data ini dari Dokter Dadang Hawari). Perbandingan keduanya adalah seperti pintu gerbang yang besar dengan seekor tikus. Logikanya "tikus" dengan sangat mudah bisa mondar-mandir di pintu gerbang yang sangat besar itu tanpa halangan sedikitpun.

Di samping refernsi dari pak Dadang, ini saya tambah referensi lagi:
http://www.arrahmah.com/index.php/news/read/2715/mer_c_tolak_pekan_kondom_nasional
MER-C mengingatkan bahwa data menunjukkan bahwa ukuran pori-pori kondom adalah 1/6 mikron, sedangkan virus HIV 1/250 mikron, itu sebabnya virus HIV bisa sangat leluasa menembus kondom.

Di lapangan untuk menujukkan keampuhan kondom, penganjur kondomisasi mengisi kondom dengan air, atau meniupnya seperti balon. Tidak ada air ataupun air yang keluar. Ini jawabannya: Coba simpan ban sepeda lama-lama, insya-Allah itu akan kempes sekempes-kempesnya, alias semua udara di dalamnya habis sehabis-habisnya !!!

***

Grafik pertumbuhan HIV/Aids yang menanjak harus dipatahkan dengan filosofi: kejahatan terjadi karena bertemunya niat dan kesempatan. Alhasil, memperbaiki niat dan membuat mekanisme penghalang kesempatan.

Memperbaiki niat dengan Firman Allah:
-- WLA TQRBWA ALZNY ANH KAN FAhSyt WSAa SBYLA (S. BNY ASRAaYL, 17:32), dubaca:
-- wala- taqrabuz zina- innahu- ka-na fa-hisyatan wasa-a sabi-lan, artinya:
-- Janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu keji dan jalan yang amat jahat.
Mendekati saja dilarang, terlebih-lebih larangan melakukannya. Inilah metode preventif yang paling efektif untuk memperbaiki niat.

Dan mengenai membuat mekanisme penghalang kesempatan, yaitu:
Pertama, menurut pasal 284 KUHP, yang diancam pidana paling lama 9 bulan hanya yang bermukah (overspel = keliwat main), yaitu laki-laki ataupun perempuan yang telah kawin yang melakukan zina (ayat 1), hanya delik aduan artinya tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami ataupun isteri yang tercemar (ayat 2), pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belum dimulai (ayat 4).

Pasal 284 tersebut harus diganti dengan undang-undang yang lebih efektif untuk mencegah hubungan seks secara liar. Betapa tidak! hubungan seks suka sama suka bagi yang masih gadis/bujang tidak dapat disentuh oleh pasal 284 KUHP. Juga uu itu bukan pezina saja yang mesti dituntut, akan tetapi orang ataupun badan usaha yang berbisnis seks harus pula mendapat sanksi yang keras untuk penggentar. Yaitu yang masih gadis/bujang dan pelacur yang belum bersuami dicambuk 100 kali, serta muncikari dan pengusaha bisnis seks selain dicambuk 100 kali ditambah pula dengan sanksi hukuman penjara minimal 10 tahun. Hidung belang yang telah diikat tali perkawinan serta pelacur yang bersuami dirajam.

Kedua, arus globalisasi memperlancar datangnya wisatawan manca-negara (Wisman) yang menghasilkan devisa, tetapi membawa HIV. Jika terdapat dua kriteria yang saling bertentangan, yang dalam hal ini penghasil devisa dengan pembawa HIV, maka pendekatannya melalui tinjauan skala prioritas, yaitu sesuai dengan qaidah dalam ilmu fiqh, "menolak mudharat lebih diprioritaskan ketimbang menarik manfaat". Menolak HIV lebih diprioritaskan ketimbang memperoleh devisa.

Ketiga, Pemda harus selektif mengeluarkan izin tempat-tempat hiburan malam dan memperketat pengawasannya, agar tempat hiburan malam tidak merupakan tempat maksiat pelacuran berselubung. Aktivitas ini tetap berlangsung, karena tidak ada aturan sanksinya menurut hukum dalam batas kewenangan Pemda. DPRD harus menterjemahkan nilai moral ke norma hukum ke dalam Peraturan Daerah yang mempunyai kekuatan yang mengikat dengan sanksi yang keras dan penutupan usaha maksiyat itu.

Keempat: Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi dengan sanksi yang keras. WaLlahu a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 6 Desember 2009