Marilah kita mulai memperbincangkan yang enteng saja dahulu, yaitu kata awak. Kalau kita membaca ungkapan urang awak, maksudnya adalah orang Minang. Kalau kita di Makassar dan di Sul-Sel ini lebih populer dengan mengatakan orang Padang. Ini adalah pergeseran pengucapan, berhubung dipengaruhi oleh kenyataan bahwa Makassar itu sekali-gus nama kota dan nama etnik. Padahal yang ada cuma kota Padang tidak ada etnik Padang, melainkan etnik Minangkabau. Keceknyo, konon menurut legenda nama Minangkabau itu berasal dari menang kerbau, karena pada waktu Majapahit datang untuk menyerang daerah Sumatera Barat ini, disambut dengan diplomasi: Kalau berperang, menang jadi arang, kalah jadi abu. Dan disepakatilah mengadu kerbau saja. Orang Majapahit melepas kerbau jantan yang kuat, orang di Sumatera Barat ini melepas anak kerbau yang sudah tiga hari dipisah dari induknya yang di ujung moncongnya dilekatkan pisau beracun. Waktu dilepas dalam arena anak kerbau yang lapar ini berlari langsung mencari susu di bawah perut kerbau jantan Majapahit itu. Matilah kerbau jantan Majapahit itu. Menanglah orang Minang.
Kalau wong Palembang bilang: "Nak kemano awak," itu artinya hendak ke mana engkau, awak = engkau. Kalau orang Melayu Deli (Medan dan sekitarnya) dan orang Langkat berucap: "Palak kali awak," maksudnya saya gusar sekali, awak = saya. Kalau pelaut mengatakan awak perahu, itu maksudnya kelasi. Itulah dia arti awak yang bermacam-macam.
Bagaimana dengan Pluralisme? Juga bermacam-macam interpretasi/maknanya !
Tokoh sufi Ibnu Arabi (560-638H/1165-1240M): Wihdatu al-Adyan (integrasi agama-agama)
John Harwood Hich dalam bukunya God and the Universe of Faiths (1973): the Universe of Faiths.
Komunitas Utan Kayu (sarangnya Jaringan Islam Liberal) dalam situs ww.islamlib.com: semua agama itu sama dan paralel. Kita tidak boleh memandang agama lain dengan kacamata agama kita sendiri, tidak boleh ada truth claim dan salvation claim
Fatwa MUI no.7: haram hukumnya dalam konteks pemahaman JIL
Gus Dur: semua agama adalah benar.
Secara samar-samar dapat dibaca, bahwa ungkapan Gus Dur itu sesungguhnya secara halus maksudnya setiap agama mengandung truth claim dan salvation claim. Setiap penganut agama dengan kacamata agamanya sendiri memandang agama lain, maka agamanyalah yang benar. Ini dapat dijabarkan dari segi theologi. Islam meng-klaim : Tawhidlah yang benar, Kristen meng-klaim: Trinitas (Tuhan Bapa-Tuhan Anak-Roh Suci)-lah yang benar, Hindu Dharma meng-klaim: Trimurti (Brahma-Wishnu-Shiwa)-lah yang benar.
Melalui buku Islamku, Islam Anda, Islam Kita, seperti dijelaskan Ahmad Suaedy (Direktur Eksekutif The WAHID Institute), Gus Dur mengusulkan keharusan pluralitas dalam melihat Islam dan kehidupan, dengan bersandar pada etika dan spiritualitas, termasuk untuk mengelola dunia yang terus bergerak ke arah globalisasi ini. Ini ditujukan untuk perdamaian abadi dan saling menghormati antar bangsa dan antar manusia, ujarnya.
Sebenarnya istilah pluralitas (dari plurality, the state or fact of being numerous, dikutip dari The Random House Dictionary of the English Language, p.1022 = keberagaman) itu lebih elok dipakai ketimbang pluralisme istilah yang sama nasibnya dengan awak yang punya banyak makna/interpretasi. Ya, pluralitas, keberagaman yang sebenarnya tidak terlalu musykil difahami jika mengacu pada Firman Allah SWT:
-- LKM DYNKM WLY DYN (S. ALKFRWN, 109:6), dibaca: lakum di-nukum waliya di-n, artinya:
-- Untuk kamu agamamu, dan bagiku agamaku.
Keberagaman sebagai suatu kenyataan harus disikapi dengan kesadaran dan kesepakatan dalam hal adanya perbedaan, bukan integrasi. Keberagaman yang menerima eksistensi kelompok lain namun tidak berarti membenarkan pemahaman yang berbeda dari pemahaman kita. Dalam bingkai kesadaran perbedaan yang tidak mungkin berintegrasi itu, mari kita hidup rukun dan damai terhadap pemeluk agama mana pun. Selama mereka berbuat baik kepada kita, kita balas dengan adil yaitu dengan kebaikan pula, ataupun kalau sanggup dengan ihsan, yaitu kita balas yang lebih baik. Selama mereka tidak mengusik / merusak agama dan memerangi kita, selama itu pula kita pantas menjaga perdamaian dan kebersamaan. Hanya saja, jika ada yang mengusik kita, kita hadapi dengan "asyidda-u" (tegas). Kebersamaan dalam kesatuan dalam satu bangsa Bhinneka Tunggal Ika, aqbulo sibatang (membuluh sebatang), yang terdiri dari ruas-ruas yang berbeda yang bersatu dalam satu batang, aqlemo sibatu (melimau sebuah), yang terdiri dari keping-keping limau berbeda yang dibungkus kulit limau). Kebersamaan dan kesatuan dalam membangun negeri ini, memberantas korupsi, memberantas narkoba, memberantas pelacuran yang nyata dan tersembunyi dan menanggulangi HIV/Aids tanpa kondom. Ya, lebih elok istilah Pluralitas ketimbang Pluralisme. WaLlahu a'lamu bisshawab.
*** Makassar, 10 Januari 2010