Pertanyaan:
Mengapa koruptor di akhirat harus dihukum Allah? Bukankah semua itu hanya bisa terjadi atas izin Allah? Jadi misalnya saya jadi koruptor juga karena atas izin Allah? Mengapa diakhirat saya akan dihukum Allah? Bukankah Allah Maha Adil? Jadi cukuplah demi keadilan saya dihukum di dunia ini saja!
Dari Hamba Allah.
Mengapa koruptor di akhirat harus dihukum Allah? Bukankah semua itu hanya bisa terjadi atas izin Allah? Jadi misalnya saya jadi koruptor juga karena atas izin Allah? Mengapa diakhirat saya akan dihukum Allah? Bukankah Allah Maha Adil? Jadi cukuplah demi keadilan saya dihukum di dunia ini saja!
Dari Hamba Allah.
***
Masya-Allah pemahaman ini sungguh berbahaya. Orang tidak akan takut korupsi karena tidak akan mendapat hukuman di akhirat kelak. Bisa berbisnis bermodalkan korupsi. Korupsi 50 triliyun dibayar misalnya 5 tahun penjara.
Masya-Allah pemahaman ini sungguh berbahaya. Orang tidak akan takut korupsi karena tidak akan mendapat hukuman di akhirat kelak. Bisa berbisnis bermodalkan korupsi. Korupsi 50 triliyun dibayar misalnya 5 tahun penjara.
Ada dua aliran filsafat yang saling bertentangan. Di pihak yang satu berfaham bahwa manusia itu sama sekali tidak mempunyai ikhtiar apa-apa, Tuhanlah Yang aktif. Aliran ini menempatkan manusia dalam keadaan pasif sebenar-benarnya. Inilah Jabariyah, Fatalisme. Sedangkan pada pihak yang lain, adalah faham Qadariyah. Faham ini menganggap Tuhan dalam keadaan pasif, manusialah yang aktif dalam berkeinginan dan berikhtiar. Jadi setingkat di bawah faham Deisme, yang mengingkari adanya wahyu (komunikasi antara Tuhan dengan makhlukNya).
-- YHDY ALLH LNWRH MN YSyAa (S. ALNWR, 24:35), dibaca: yahdiLla-hu linu-rihi- may yasya-u (tanda - dipanjangkan membacanya), artinya:
YHDY = memberi hidayah
ALLH = Allah
LNWRH = dengan CahayaNya
MN = siapa
YSyAa = yang mau
ALLH adalah mubtada' (subyek) sekaligus fa'il (Pelaku). YHDY adalah khabar (predikat), LNWRH adalah keterangan, MN YSy adalah maf'ul (obyek) dalam wujud anak kalimat (anak kalimat yang menjadi obyek). Kalau anak kalimat itu diuraikan pula, maka MN (=siapa) adalah mubtada' sekaligus pula fa'il dan YSyAa (= yang mau) adalah khabar (predikat). Maka ayat itu berarti:
-- Allah memberi hidayah dengan CahayaNya kepada siapa yang mau.
Menjelang akhir Ramadhan 1417 / Februari 1997 di Pesantren Putera Pendidikan Quran IMMIM Tamalanrea. Al Ustadz Drs H.Saifullah (guru bahasa Arab, sekarang sudah almarhum) dan Al Ustadz Drs H. Hasnawi Marjuni (hafiz, penghapal Al Quran) dalam diskusi terbatas berpendapat pelaku Yasya-u adalah Allah, sedangkan menurut pendapat saya pelaku Yasya-u adalah Man.
YHDY = memberi hidayah
ALLH = Allah
LNWRH = dengan CahayaNya
MN = siapa
YSyAa = yang mau
ALLH adalah mubtada' (subyek) sekaligus fa'il (Pelaku). YHDY adalah khabar (predikat), LNWRH adalah keterangan, MN YSy adalah maf'ul (obyek) dalam wujud anak kalimat (anak kalimat yang menjadi obyek). Kalau anak kalimat itu diuraikan pula, maka MN (=siapa) adalah mubtada' sekaligus pula fa'il dan YSyAa (= yang mau) adalah khabar (predikat). Maka ayat itu berarti:
-- Allah memberi hidayah dengan CahayaNya kepada siapa yang mau.
Menjelang akhir Ramadhan 1417 / Februari 1997 di Pesantren Putera Pendidikan Quran IMMIM Tamalanrea. Al Ustadz Drs H.Saifullah (guru bahasa Arab, sekarang sudah almarhum) dan Al Ustadz Drs H. Hasnawi Marjuni (hafiz, penghapal Al Quran) dalam diskusi terbatas berpendapat pelaku Yasya-u adalah Allah, sedangkan menurut pendapat saya pelaku Yasya-u adalah Man.
Maka perbedaan penafsiran itu harus diujicoba, dan rujukannya tentulah juga semata-mata pada Ayat Qawliyah pula. Marilah kita rujukkan kedua penafsiran yang tidak sama itu terhadap ayat-ayat di bawah ini:
-- AN ALLH LA YGhYR MA BQWM hTY YGhYRWA MA BANFSHM (S.ALR'AD, 13:11), dibaca: innalla-la la- yughayyiru biqaumin hatta- yughayyiru- ma bianfusihim, artinya:
-- Sesunggunya Allah tidak akan mengubah apa (yang ada) atas suatu kaum, hingga mereka mengubah apa atas diri mereka.
(Kata mengubah ada yang menulis dengan merubah. Asal katanya ubah, mendapat awalan me÷sengau ng menjadi mengubah, sedangkan rubah adalah binatang sejenis keluarga anjing).
-- AN ALLH LA YGhYR MA BQWM hTY YGhYRWA MA BANFSHM (S.ALR'AD, 13:11), dibaca: innalla-la la- yughayyiru biqaumin hatta- yughayyiru- ma bianfusihim, artinya:
-- Sesunggunya Allah tidak akan mengubah apa (yang ada) atas suatu kaum, hingga mereka mengubah apa atas diri mereka.
(Kata mengubah ada yang menulis dengan merubah. Asal katanya ubah, mendapat awalan me÷sengau ng menjadi mengubah, sedangkan rubah adalah binatang sejenis keluarga anjing).
-- DzLK BAN ALLH LM YK MGhYRA N'AMt AN'AMHA 'ALY QWM hTY YGhYRWA MA BANFSHM (S.ALANFAL, 8:53), dibaca: dza-lika biannalla-ha lam yaku mughayyiran ni'matan an'amaha- 'ala- qaumin hatta- yughayyiru- ma- bianfusihim, artinya:
-- Sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan mengubah sesuatu nikmat yang dianugerahkanNya kepada suatu kaum, hingga kaum itu mengubah apa atas diri mereka.
-- Sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan mengubah sesuatu nikmat yang dianugerahkanNya kepada suatu kaum, hingga kaum itu mengubah apa atas diri mereka.
Ayat-ayat rujukan di atas itu berhubungan dengan makna ayat. Berikut ini dikemukakan rujukan ayat mengenai pola redaksionalnya.
-- AN ALLH YDhL MN YSyAa WYHDY ALYH MN ANAB (S.ALR'AD, 13:27), dibaca: innalla-ha yudhillu man yasya-u wayahdi- ilaihi man ana-ba, artinya:
-- Sesungguhnya disesatkan Allah orang yang menghendaki (kesesatan) dan memberi petunjuk kepadaNya siapa yang tobat. Pola secara redaksional ini jelas. Man adalah pelaku perbuatan Yasya-u dan Ana-ba.
-- AN ALLH YDhL MN YSyAa WYHDY ALYH MN ANAB (S.ALR'AD, 13:27), dibaca: innalla-ha yudhillu man yasya-u wayahdi- ilaihi man ana-ba, artinya:
-- Sesungguhnya disesatkan Allah orang yang menghendaki (kesesatan) dan memberi petunjuk kepadaNya siapa yang tobat. Pola secara redaksional ini jelas. Man adalah pelaku perbuatan Yasya-u dan Ana-ba.
Alhasil penafsiran yang dikukuhkan oleh hasil ujicoba di atas adalah Allah aktif dan manusia aktif, yaitu pola pikir Ahlussunnah (bukan Jabariyah, bukan Qadariyah).
Allah aktif memancarkan CahayaNya berupa hidayah dan manusia harus pula aktif membersihkan qalbu (hati nuraninya) dari kotoran yang menutup qalbunya akibat perbuatan iblis. Dengan aktif membersihkan kotoran yang menutup qalbu maka manusia itu dapatlah memperoleh Cahaya Allah yang menerangi hati nuraninya itu.
Allah aktif memancarkan CahayaNya berupa hidayah dan manusia harus pula aktif membersihkan qalbu (hati nuraninya) dari kotoran yang menutup qalbunya akibat perbuatan iblis. Dengan aktif membersihkan kotoran yang menutup qalbu maka manusia itu dapatlah memperoleh Cahaya Allah yang menerangi hati nuraninya itu.
Dalam Al-Quran dibedakan Cahaya Allah yang menerangi dengan sinar yang menerangi (dhiya). Cahaya Allah adalah berupa hidayah dalam hubungannya dengan spiritualisme, sedangkan dhiya adalah sinar dari sumber panas seperti matahari, obor yang berupa gelombang panas, yang menerangi benda-benda fisik.
Allah memberi kebebasan kepada manusia untuk memilih:
-- WQL ALhQ MN RBKM FMN SyAa FLYWaMN WMN SyAa FLYKFR (S. ALKHF, 18:29), dibaca: wa qulil haqqu mir rabbikum faman sya-a falyu'min wa man sya-a falyakfur (s. Al Kahfi), artinya:
-- dan katakanlah Kebenaran dari Maha Pengaturmu, siapa yang mau maka berimanlah, siapa yang mau maka kafirlah.
-- WQL ALhQ MN RBKM FMN SyAa FLYWaMN WMN SyAa FLYKFR (S. ALKHF, 18:29), dibaca: wa qulil haqqu mir rabbikum faman sya-a falyu'min wa man sya-a falyakfur (s. Al Kahfi), artinya:
-- dan katakanlah Kebenaran dari Maha Pengaturmu, siapa yang mau maka berimanlah, siapa yang mau maka kafirlah.
Dengan kebebasan memilih itu manusia memikul tanggung jawab penuh atas hasil pilihan dan perbuatannya. Janganlah pula koruptor itu mengatakan mengapa ia harus dihukum, bukankah ia menjadi koruptor itu atas izin Allah? Memang kehendak Allah memberikan izin kebebasan memilih, jadi menjadi koruptor itu adalah pilihan, Allah tidak turut campur dalam pilihan itu, karena atas kemauan Allah sendiri telah memberikan wewenang sepenuhnya kepada manusia untuk bebas memilih seperti dinyatakan ayat (18:29). Jadi Allah aktif memberikan kebebasan memilih kepada manusia dan manusia aktif menentukan pilihannya. Allah Maha Adil, Yang menghukum manusia atas hasil pilihaan manusia itu sendiri. Manusia harus mempertanggung-jawabkan hasil pilihannya itu kepada MLK YWM ALDYN, Pemilik Hari Keadilan. WaLlahu a'lamu bishshawab.
*** Makassar, 2 Mei 2010