9 Mei 2010

922 Cowboys in Paradise

Video Cowboys in Paradise menyoroti gigolo Kuta Bali. Apa itu gigolo? Itu adalah pelacur berjenis kelamin laki-laki (Bld, een ploert, een mannelijke hoer). Secara gradual tidak beda dengan pelacur berjenis kelamin perempuan. Namun dalam keadaan sehari-hari istilah pelacur itu bias gender, karena kalau dikatakan pelacur itu bermakna berjenis kelamin perempuan. Saya sendiri lebih suka pakai istilah pelacur ketimbang penjaja (tidak pakai h) seks komersial (PSK). Tidak semua hal mesti dihaluskan. Seperti misalnya banci atau bencong tidak perlu dihaluskan menjadi wanita-pria (waria), pemabuk tidak dihaluskan menjadi tuna sakring.
 
Salah seorang warga Bali yang tinggal di Denpasar selatan tidak jauh dari wilayah Kuta mengatakan bahwa dia sendiri tidak aneh menonton film Cowboy in Paradise Bali movie ini karena dia, yang tinggal hanya butuh waktu sekitar sepuluh menit menggunakan motor sudah sampai di wilayah Pantai Kuta, sudah tahu setidaknya sudah 20 tahun, jejak gigolo tercetak di Bali khususnya, di Pantai Kuta. Gigolo itu mulai bermunculan ketika Kuta mulai berkembang menjadi ikon wisata. Profesi gigolo (juga kerap disebut Beach Boys) dikupas jelas di film dokumenter Cowboy in Paradise yang dibuat Amit Virani, warga Singapura keturunan India. Di kawasan itu, beragam profesi berkumpul, mulai pedagang minuman, penyewa papan selancar, tukang pijat, guide atau pramuwisata, hingga instruktur surfing atau selancar. Profesi "itu" memang terselubung. Tak ada yang berani terang-terangan mengaku sebagai gigolo. Perkenalan gigolo dengan turis perempuan, biasanya terjadi saat sang turis berjemur, berlatih selancar, atau sedang mencari objek wisata. Tak jarang dari hubungan "bisnis" itu berujung pada pernikahan. Bahkan, ada yang akhirnya tinggal di negara asal turis perempuan yang menjadi istrinya.
 
Kini, gigolo Bali yang disorot melalui film dokumenter tersbut menyebabkan beberapa warga setempat kecewa, terutama, para pemuda Bali yang mencari nafkah tanpa harus menjadi gigolo. Razia langsung digelar. Pria-pria di pantai menjadi sasaran. Parwisata Bali jadi taruhan. Namun, Kementrian Kebudayaan dan Parawisata tak berdaya. Kini, setelah difilmkan, barulah pemerintah sadar. Ternyata, ada yang salah dalam parawisata Bali. Ya, bukan di Bali saja melainkan di mana ada industri parawisata niscaya melekat secara sistemik yaitu dunia mesum pelacuran.
 
Celakanya, pelacuran tidak dapat dijaring oleh sistem hukum kita. Dan disinilah biasa terjadi pergesekan/bentrokan antara para aparat vs pemuda Islam (biasanya FPI) yang bertindak bukan hanya sebagai hakim sendiri, melankan menjadi hakim beramai-ramai, setelah sebelumnya berlangsung negosiasi. Para pemuda Islam itu bersemangat menjalankan nahi mungkar dengan tindakan (bilyad). RasuluLlah bersabda: Barangsiapa yang melihat kemungkaran mestilah dia mengubah dengan tangannya (falyughayyiru biyadihi), apabila ia tak sanggup, hendaklah diubahnya dengan lisannya (fabilisa-nihi), apabila itupun tak sanggup cukup dengan kalbunya (biqalbihi), namun yang terakhir ini pertanda yang terlemah imannya. Dalam kata "falyughayyiru" ada Lam al-amar, Lam yang menyatakan perintah, sehingga mengubah dalam Shahih Bukhari itu bermakna wajib hukumnya mengubah.
 
Ini sebuah kasus yang menunjukkan kelemahan sistem hukum kita:
Sebuah kasus yang sangat memalukan dan memilukan. Hari Rabu, 9 Oktober 2002 pada halaman muka Harian FAJAR dengan garis kepala (maksudnya head line): "DELAPAN OKNUM POLISI GILIR SISWI SMU. Mereka Bantah Memperkosa Karena Membayar." Terlalu panjang dan mengambil tempat jika seluruhnya saya salin berita itu. Cukup yang relevan saja: "Namun menurut Kapolres Sidrap, sesuai dengan pemeriksaan dan pengakuan kedelapan anggotanya itu, bila apa yang dilakukan terhadap gadis tersebut, bukanlah pemerkosaan, sebab mereka membayar. Tetapi korban, kata Kapolres, tetap membantah, dirinya telah dibayar."
 
Coba lihat, secara hukum kedudukan sang gadis sangat lemah. Delapan lawan satu. Delapan mengatakan membayar (apa lagi polisi) satu mengatakan tidak dibayar. 8 >< 1. Tentu 8 yang menang, artinya gadis itu secara hukum TIDAK diperkosa. KUHP tidak dapat menjaring ke-8 polisi itu, sebab kalau dibayar berarti bukan perkosaan, melainkan mau sama mau. Sedangkan pasal 284 KUHP, yang disebut zina hanyalah delik aduan, artinya hanya bisa dijaring hukum jika isteri dari yang bersanggama atau suami dari yang bersanggama keberatan.
 
Alhasil, pasal 284 KUHP yang dasar filosofinya warisan dari barat: "jangkauan hukum berakhir di depan kamar tidur," itu harus diubah, sebab perbuatan zina itu keji, bahkan mendekatinya saja sudah dilarang:
 
-- WLA TQRBWA ALZNY ANH KAN FhSyt WSAa SBYLA (S. ASRY, 17:32), dibaca: wala- taqrabuz zina- innahu- kana fa-hisyatan wasa-a sabi-lan, artinya:
--  dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji, dan suatu jalan yang buruk.
WaLlahu a'lamu bisshawab.
 
*** Makassar, 9 Mei 2010