16 November 1997

298. Sinar Matahari, Energi Alternatif di Abad 21?

Matahari adalah sumber energi yang tak-terhabiskan oleh manusia. Dalam proses reaksi thermonuklir penyusunan (fusi) inti atom di matahari setiap detik sekitar 650 juta ton hidrogen (H) tersusun menjadi sekitar 646 juta ton helium (He). Selisih 4 juta ton materi setiap detik itu berubah wujud menjadi energi radiasi berupa sinar gamma, sesuai dengan sunnatuLlah yang diungkapkan oleh Einstein dalam rumus kesetaraan massa dengan energi: E = mc2. Matahari kehilangan massanya akibat reaksi fusi itu dalam 1,5 miliyar tahun hanya sekitar 1%. Para pakar astro fisika (astro = bintang) memperkirakan matahari sudah berumur sekitar 10 miliyar tahun, yang berarti matahari baru kehilangan massanya sekitar 6 % dari massanya yang semula.

Sinar gamma itu mengalami degradasi tatkala menembus matahari hingga ke permukaan matahari. Sinar gamma yang berdegradasi itu menjadi yang dikenal sebagai photon, yang dipancarkan oleh matahari ke ruang angkasa sekelilingnya. Bumi sesuai dengan taqdirnya dari Allah SWT dengan ukuran tertentu dalam diameter dan jaraknya dari matahari hanya menerima sekitar seper 2000 miliyar bahagian dari energi photon yang dipancarkan oleh matahari tersebut. Bumi hanya menerima energi photon itu setiap jam sekitar 175 milyar megawatt-jam (MWJ).

Energi photon matahari itu memungkinkan zat hijau pohon menangkap air dan CO2 kemudian menyusunnya menjadi senyawa hidrokarbon (baca: makanan dan bahan bakar) dan melepaskan 02 ke udara. Andaikata tidak ada pohon, maka 02 akan habis dikonsumsi oleh mesin, binatang dan manusia dengan jalan bernafas. Untunglah zat hijau pohon senantiasa bekerja melepas 02 ke udara, sehingga mesin, binatang dan manusia senantiasa mendapat pemulihan persediaan 02 untuk dapat bernafas. Dalam proses bernafas itu terjadi reaksi kimia antara senyawa hidrokarbon hasil jerih payah zat hijau pohon dengan 02. Reaksi kimia tersebut dari jenis exoterm, mengeluarkan panas. Jadi makan dan bernafas menyebabkan mesin, tubuh binatang dan manusia menjadi panas.

Di atas dipergunakan istilah zat hijau pohon bukan istilah ilmiyah zat hijau daun (chlorophyl, chloros = hijau dan phyllon = daun), sebab sebagai seorang Muslim yang beriman kepada Al Quran, di dalam Al Quran dipakai istilah AsySyajaru lAkhdharu (asy Syajaru = pohon dan al Akhdharu = hijau). Firman Allah SWT:

Alladzy Ja'ala laKum mina sySyajari lAkhdhari Na-ran faIdza- Antum minHu Tuwqiduwna (S. Yasin, 80). Yaitu (Allah) Yang menjadikan api bagimu dari (zat) hijau pohon maka dengan itu kamu membakar (36:80).

Dalam inti sel tumbuh-tumbuhan terdapat bintik-bintik pigment pembawa zat warna (chromatophore). Yang terpenting ialah pigment
warna hijau, yang dengan bantuan photon dapat melakukan proses photosynthesis (synthese = menyusun), artinya pigment hijau ini menyusun persenyawaan hidrokarbon dengan memakai energi photon dari matahari. Pigment hijau ini dalam istilah ilmiyahnya disebut chlorophyl, zat hijau daun. Istilah ilmiyah ini tidak tepat, oleh karena pigment hijau itu terdapat pada seluruh bahagian pohon yang masih hijau warnanya, di akar yang tersembul di atas tanah, di batang, di cabang, di dahan, di ranting, di daun, si pucuk, di ulam, di kelopak bunga dan di buah. Jadi yang betul ialah istilah zat hijau pohon.

Pada waktu langit bersih permukaan bumi yang menerima gempuran photon dalam arah tegak lurus akan menerima energi setiap jam sekitar 870 watt-jam (WJ) per satu meter persegi pada ketinggian yang sama dengan permukaan laut. Makin tinggi dari muka laut energi yang tertampung itu makin banyak pula, berhubung udara yang menghalangi makin tipis. Pada ketinggian sekitar 4400 meter di atas muka laut, energi yang diterima setiap jam per satu meter persegi sekitar 1,16 kilowatt-jam (KWJ). Satelit-satelit komunikasi pada GSO-nya (apa itu GSO lihat Seri 289) menerima setiap jam energi per satu meter persegi sekitar 1,36 KWJ.

Secara kasar dapat dihitung bahwa gurun pasir Sahara akan dapat menghasilkan energi sejumlah 8 kali kebutuhan energi ummat manusia pada tahun 2000. Perhitungan ini berasumsikan bahwa efisiensi mesin matahari sekitar 20%. Sebagai bahan perbandingan dengan yang telah lama diaplikasikan, yaitu laboratorium-angkasa Skylab mempunyai 130 meter persegi luas dari pelataran sel-matahari yang terbuat dari silicium sejumlah 272642 biji sel. Dengan efisiensi sekitar 11 - 12%, sel-sel itu menghasilkan daya listrik sekitar 12,65 - 13,8 KW. Sel-matahari itu diperkembang pula supaya efisiensinya meningkat, dari silicium ke cuprum sulfida-cadmium sulfida, gallium arsenida, indium fosfida- cadmium sulfida, dan selenium.

Di samping sistem sel-matahari dipakai pula sistem kolektor panas. Sekarang ini dipakai untuk memanaskan rumah di daerah yang beriklim dingin. Dalam sejarah sistem kolektor panas ini telah diaplikasikan dalam peperangan oleh Hannibal (247 - 183) sebelum Miladiyah (SM) dalam Perang Finiqi ke-2 (218 - 201) SM. Hannibal membawa bala tenteranya dari Spanyol melalui pegunungan Alpen menyerang kota Roma. Ia membinasakan pasukan Romawi di Cannae (216 SM) dengan mengumpulkan photon melalui cermin cekung yang difokuskan kepada pasukan Romawi tersebut. Teknologi kolektor panas dengan cermin cekung ini didapatkan oleh Archimedes (287? - 212) SM. Pada reruntuhan Ninive dan pada kota-kota lain di Mesopotamia telah didapatkan cermin cekung yang dipakai sebagai kolektor panas.

Sistem kolektor panas secara optik tersebut (teknologi cermin cekung) dewasa ini dipakai dalam teknologi generator (M)agneto (H)ydro (D)dynamic, MHD. Photon difokuskan secara optik ke ketel (boiler, al-ghallayah) yang berisi gas yang dipanaskan hingga suhu sekitar 2500o C. Gas yang keluar dari ketel dipacu dengan laju 1000 meter/detik (di atas laju kritis) dalam tabung expansi yang berbentuk konvergen-divergen. Gas yang dipacu ini difokuskan oleh magnet ke kutub elektrode, sehingga menghasilkan aliran listrik. Selanjutnya gas itu dipakai pula untuk menggerakkan turbin gas yang dikoppel dengan generator, yang juga menghasilkan aliran listrik.

Apa yang diceritakan mengenai teknologi pemanfaatan photon melalu sistem sel-matahari dan sistem kollektor tersebut masih dalam skala kecil. Adalah tantangan teknologik dalam abad ke-21 untuk memanfaatkan photon dalam skala besar. Mampukah ummat manusia memanfaatkan energi photon, yang tanpa polusi gas rumah kaca, menjadi energi alternatif untuk memenuhi keserakahan peradaban manusia mengkonsumsi energi di abad ke-21? WaLlahu A'lamu bi shShawab.

*** Makassar, 16 November 1997