23 November 1997

299. Penggerebekan Jajaran Poltabes Ujungpandang Mengganggu Privasi Tamu Hotel?

Seperti diketahui jajaran Poltabes Ujungpandang menggerebek semua kamar di sebuah hotel di Jalan Pelita Raya, pada hari Selasa, 18 November 1997 yang lalu. Konon salah seorang pengurus (P)erhimpunan (H)otel dan (R)restoran (I)ndonesia menyesalkan tindakan itu. "Di mana lagi privasi tamu-tamu yang menginap di hotel? Saya yakin, tidak akan ada lagi orang yang mau menginap di hotel kalau tindakan petugas kepolisian seperti itu," katanya. Sejalan dengan buah pikiran pengurus PHRI yang tidak ingin disebutkan namanya itu, salah seorang praktisi hukum Ridwan J. Silamma,SH mengatakan: "Kalau tujuannya hanya untuk mencari pasangan yang tidak resmi, mengapa harus menggerebek hotel? Di mana lagi privasi para tamu?"

Privacy (Privasi)! Apa itu privasi? Dalam bingkai apa dan di bumi mana? Pengertian privasi atau keleluasaan pribadi menjadi rancu, karena umumnya orang tidak menyadari bahwa kakinya berpijak di Indonesia, tetapi kepalanya di Eropah. Ini tidak wajar. Di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Kalau kaki berpijak di Indonesia maka kepalapun harus ada di Indonesia, menjunjung langit Indonesia. Kalau kepala ada di Eropah, maka privasi itu adalah bagian dari humanisme yang sangat liberal, yang menjiwai semboyan Revolusi Perancis: liberte', egalite' et fraternite' (kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan). Asal tahu saja Hak Asasi Manusia menurut Barat berlandaskan pandangan hidup humanisme tersebut.

Demikian liberalnya sehingga demi privasi itu kekuasaan negara cq kehakiman berakhir di ambang pintu masuk kamar tidur. Di dalam kamar tidur, siapapun tidak berhak menggangu privasi orang-orang ataupun pasangan yang ada di dalamnya, kecuali jika salah seorang ataupun keduanya dari pasangan itu isteri atau suami seseorang. Yang laki-laki melanggar privasi suami perempuan teman sekamarnya dan yang perempuan melanggar privasi isteri laki-laki teman sekamarnya itu. Pemahaman privasi yang demikian itu (kepala di Eropah, kaki di Indonesia) terikut masuk ke Indonesia melalui Wetboek van Straftrecht voor Nederlandsch Indie. Setelah kita merdeka, menurut pasal VI UU 1946 no.1, diubah menjadi Wetboek van Strafrecht, atau (K)itab (U)ndang-Undang (H)ukum Pidana.

Pemahaman privasi itu kita jumpai dalam KUHP pasal 284: ayat (1) menyatakan bahwa diancam pidana seorang pria kawin yang melakukan zina, seorang wanita kawin yang melakukan zina; ayat (2) menyatakan bahwa tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/isteri yang tercemar. Secara tersurat yang dilarang oleh undang-undang adalah bermukah (perzinaan yang dilakukan oleh laki-laki dan atau perempuan yang sudah kawin, bahasa Makassarnya, assangkili', bahasa Belandanya overspel, keliwat main), dan itupun cuma delik aduan. Sesungguhnya pasal 284 tersebut substansinya bukanlah larangan bermukah, melainkan pada hakekatnya yang tersirat adalah pelanggaran privasi bagi suami dari isteri yang bermukah atau pelanggaran privasi bagi isteri dari suami yang bermukah.

Secara normatif (baca: norma hukum) memang benar apa yang dikatakan oleh Ridwan J. Silamma bahwa kalau sebuah hotel dicurigai menjadi tempat terjadinya tindak kriminal atau tempat persembunyian orang-orang yang diduga terlibat dalam perbuatan kriminal, maka wajar saja jika polisi melakukan penggerebekan. Artinya secara tersirat Ridwan J. Silamma ingin mengatakan bahwa polisi tidak wajar melakukan penggerebekan jika dalam sebuah hotel tidak terjadi tindak kriminal atau tempat bersembunyi orang yang diduga terlibat tindak kriminal. Memang aktivitas "esek-esek" dalam kamar-kamar hotel yang digrebek polisi itu bukanlah tindak kriminal, karena aktivitas mereka itu tidak melanggar pasal 284 KUHP. Konon kabarnya dalam konsep KUHP yang baru substansi dalam pasal 284 itu akan dihapus dan diganti dengan yang sesuai dengan hukum yang masih hidup dan tetap hidup dalam masyarakat Indonesia yaitu Hukum Islam dan Hukum Adat.

Sambil menanti KUHP yang baru itu, kita dukung jajaran Poltabes Ujungpandang menggerebek tempat "esek-esek" di Kota Makassar ini, tidak terkecuali hotel-hotel tak-berbintang dan berbintang yang disinyaler menjadi rahasia umum dipakai untuk aktivitas "esek-esek", karena:

Pertama, memang tugas polisi untuk meredam keresahan masyarakat yang diakibatkan oleh menjamurnya tempat "esek-esek".

Kedua, patut sekali jika polisi melindungi para (A)nak (B)aru (G)ede yang masih labil jiwanya. Sudah menjadi rahasia umum sejumlah hotel menyediakan kamar-kamarnya untuk aktivitas "esek-esek." Tewasnya 2 pasang ABG baru-baru ini yang begitu berani menyewa kamar hotel secara jam-jaman dalam dua tahapan, menjadi cermin yang membuka mata kita semua betapa perlunya kita lebih memperhatikan nasib tunas-tunas bangsa itu. Kita tidak menuduh kedua pasangan itu melakukan "esek-esek" karena tidak ada bukti, akan tetapi buat apa mereka itu menyewa kamar hotel secara jam-jaman dalam dua tahapan? Tentunya bukan untuk bermain domino!

Ketiga, dalam rangka memerangi menyebarnya virus yang memangsa kekebalan tubuh manusia (HIV) yang menimbulkan sindrom hilangnya kekebalan tubuh (Aids) tindakan jajaran Poltabes Ujungpandang tersebut sangat mendukung, oleh karena lebih 90% HIV itu menyebar melalui hubungan seksual secara liar dan secara berganti-ganti pasangan.

Mau merasa aman masuk kamar hotel? Gampang sekali, bawalah Surat Nikah. Merasa berat bawa surat nikah? Itu alasan yang dicari-cari, oleh karena tidak seorang juapun yang merasa berat membawa SIM dan STNK!

Sebenarnya lebih terpuji jika PHRI menghidupkan kembali tata-tertib yang harus ditaati oleh para tamu, yaitu memperlihatkan Surat Nikah. Kalau perlu mengadakan kerja-sama antara PHRI dengan jajaran Poltabes untuk menertibkan hotel-hotel yang tidak menolak pasangan tamu yang tidak memperlihatkan Surat Nikah. Karena sebenarnya alasan privasi yang dilontarkan itu bukanlah alasan filosifis, melainkan alasan komersial, mendapatkan untung di atas segala-galanya.

Untuk itu kiranya perlu dikemukakan Firman Allah: WaTtaquw Fitnatan La- Tushiybanna Lladziyna Zhalamuw Minkum Kha-shshatan wa'lamuw Anna Llaha Syadiydu l'Iqa-bi (S. Al Anfa-l, 8:25). Hindarkanlah bencana yang tidak khusus ditimpakan atas orang aniaya saja di antara kamu, sesungguhnya Allah amat keras sanksiNya. WaLlahu A'lamu bi shShawab.

*** Makassar, 23 November 1997