Kehendak rakyat yaitu reformasi politik, ekonomi dan hukum yang digaungkan oleh gerakan moral mahasiswa telah bersambut, baik oleh Pemerintah maupun DPR. Reformasi politik, ekonomi dan hukum bukan hanya seharusnya dilaksanakan secara simultan belaka, melainkan haruslah pula terkait antara satu dengan yang lain, yakni merupakan satu kesatuan sistem, tidak lepas satu dengan yang lain.
Kita sengaja tidak menyebutkan reformasi kebudayaan, oleh karena menurut hemat saya, tidak ada yang salah dalam kebudayaan kita yang dijiwai oleh nilai-nilai agama. Korupsi-kolusi-nepotisme (KKN) terjadi atas sebahagian orang disebabkan oleh penyimpangan budaya. Apabila dikatakan bahwa perlu reformasi kebudayaan karena terjadinya KKN, itu berarti mengakui bahwa KKN sudah menjadi kebudayaan. Saya tidak sependapat bahwa kita sebagai suatu bangsa sudah bergelimang berbudaya KKN. Sehingga menyangkut KKN tidaklah betul jika obatnya adalah reformasi kebudayaan, melainkan obatnya adalah merujuk kembali pada budaya kita yang dijiwai oleh nilai-nilai agama.
Reformasi politik, ekonomi dan hukum tujuannya tentu saja untuk menyelesaikan akar permasalahan poly-krisis, menuju keadaan yang lebih baik, sesuai dengan Firman Allah:
- Wa lalA-khiratu Khayrun Laka Mina lUwlay (S.adDhuhay, 93:4). Yang akhir itu lebih baik dari yang dahulu. Catatan: menurut penafsiran yang jumhur (main stream) yang dimaksud dengan alA-khirah adalah akhirat dan alUwlay adalah dunia, namun melihat konteks dengan ayat-ayat lain dalam surah tsb. maka baik alA-khirah maupun alUwlay adalah peristiwa di dunia ini. Lihat saja:
- Yu'thiyka Rabbuka faTardhay (93:5), Maha Pemeliharamu memberi engkau, maka engkau senang;
- Yatiyman faA-ay (93:6), dalam keadaan yatim lalu dilindungi;
- Dhaallan faHaday (93:7), dalam keadaan bingung lalu ditunjuki;
- 'Aailan faAghnay (93:8), dalam keadaan miskin lalu diberi kekayaan.
***
Pada hari akhir-akhir ini bertambah pula tuntutan gerakan moral mahasiswa yaitu turunkan harga bahan bakar dan minyak pelumas (BBM). Di samping itu dari pihak DPR terdengar suara kesal karena Pemerintah menurunkan jumlah subsidi BBM dan tarif dasar listrik (TDL), artinya menaikkan harga komoditi tersebut, tanpa musyawarah dahulu dengan DPR. Pada waktu kolom ini ditulis Menteri Pertambangan dan Energi (Mentamben) sedang memenuhi panggilan Komisi V DPR untuk memberikan penjelasan. Rupanya dalam forum tersebut beberapa anggota Komisi V memperlihatkan nyalinya, boleh jadi karena dirangsang oleh gerakan moral mahasiswa.
Sebenarnya secara obyektif DPR tidak perlu kesal karena Pemerintah tidak ada waktu untuk itu. Seperti diketahui para anggota DPR baru saja selesai reses, padahal Pemerintah sudah terdesak waktu, yaitu timing untuk mengambil keputusan menurunkan jumlah subsidi harus mendahului sidang International Monetary Fund (IMF). Tak dapat disangkal bahwa keputusan IMF untuk mengucurkan dana dalam sehari dua hari ini, yang kemudian akan disusul oleh World Bank dan dari negara-negara sahabat, banyak-banyak dipengaruhi oleh keputusan Pemerintah yang telah memperlihatkan kesungguhan dalam memenuhi komitmen dengan IMF tentang penurunan subsidi dari Rp.26,7 triliun menjadi Rp.6 triliun. IMF tentu saja tidak ingin dana yang dikucurkan itu sebagian besar lari ke subsidi. Jika dilihat dari aspek keputusan IMF mengenai pengucuran dana tsb., maka timing penurunan subsidi BBM dan TDL sudah tepat, yaitu sehari sebelum sidang IMF. Akan tetapi dilihat dari aspek derita rakyat akibat poly-krisis ini, timing untuk penurunan jumlah susbsidi BBM (baca: menaikkan harga BBM) sungguh tidak tepat. Pemerintah betul-betul terpojok oleh dua kriteria yang bertentangan, yaitu komitmen dengan IMF dengan derita rakyat, ibarat bertemu buah simalakama.
***
Walaupun Mentamben telah berusaha memperhitungkan agar rakyat kecil paling sedikit yang kena dampak kenaikan harga BBM, namun dengan pencabutan subsidi untuk premium, maka rakyat kecil, karyawan kecil, pegawai negeri bergaji kecil, tidak terlepas dari dampak kenaikan harga BBM dalam hubungannya dengan angkutan kota (Angkot). Inilah akibat Mentamben yang bekerja sendiri. Mestinya departemen lain ikut dilibatkan secara meja bundar. Bukan seperti yang telah terjadi Mentamben berjalan dahulu baru kemudian disusul oleh Menteri Perhubungan (Menhub) bersama-sama dengan Pemerintah Daerah (Pemda) dan Organisasi Angkutan Darat (Organda) untuk menentukan tarif Angkot.
Tuntutan gerakan moral mahasiswa untuk menurunkan harga BBM patut diperhatikan, dengan jalan meninjau kembali status premium. Subsidi untuk premium hendaknya tidak dicabut secara keseluruhan, melainkan mesti ada reserve subsidi untuk Angkot. Untuk itu di bawah koordinasi Menteri Dalam Negeri (Mendagri) perlu adanya pertemuan meja bundar antara Mentamben, Menhub menyangkut data Angkot, Menteri Perindustrian dan Perdagangan (Memperdag) menyangkut penyaluran distribusi premium yang bersubsidi. Pertemuan meja bundar itu dimaksudkan untuk membicarakan secara teknis mengenai efisiensi dan penyaluran distribusi premium yang disubsidi untuk Angkot, sehingga tarif Angkot untuk rakyat kecil, karyawan kecil, dan pegawai negeri bergaji kecil, kembali pada tarif semula. Dengan demikian komitmen dengan IMF tetap dipenuhi dan dalam pada itu rakyat kecil terlepas dari beban naiknya tarif Angkot. Mengenai Angkot taxi, premium tetap tidak diberikan subsidi, karena konsumen jasa ini adalah golongan menengah ke atas. WaLlahu a'lamu BisShawab.
*** Makassar, 10 Mei 1998