31 Mei 1998

324. Undang-Undang Anti Korupsi dan Anti Kolusi

Dalam Seri 120 tanggal 20 Maret 1994, yang berjudul: Nuku vs Wieling, Membuktikan Diri Bersih, vs Praduga Tak Bersalah, antara lain tertulis:

"Perselisihan antara Nuku dengan Wieling perihal asas tersangka harus membuktikan dirinya bersih bertentangan dengan asas praduga tak bersalah betul-betul pernah terjadi dalam sejarah yang merobek gencetan senjata menjadi perang yang tidak dimaklumkan pada tahun 1805.

Nuku adalah Sultan Tidore yang membebaskan kerajaannya dari bagian-bagian wilayah tiga gubernuran Kompeni Belanda (de drie Oostersche Provintien van Gouvernementen): Ternate, Ambon dan Banda. Nama lengkapnya Nuku Sulthan Said alJihad Muhammad alMabus Amiruddin Syah Kaicil Paparangan Gelar Tuan Barakat Sultan Tidore, Papua dan Seram.

Syahdan, 2 orang penghuni istana Tidore, yaitu dayang-dayang puteri Boki Fathimah yang bernama Sulasi dan Barunarasa mencuri emas, intan-berlian puteri itu dan melarikan diri ke Ternate. Nuku bersurat kepada Wieling pada 28 Muharram 1220 (18 April 1885) supaya kedua tersangka itu diextradisikan ke Tidore.

Wieling menolak permintaan extradisi itu oleh karena kedua tertuduh itu adalah penduduk Ternate, bukan penduduk Tidore, jadi tidak tergolong di bawah jurisdictie kerajaan Tidore (en dus in geen opsigte tot de Jurisdictie van het Tidorsche Rijk behooren).

Nuku dapat memahami penolakan itu, namun yang Nuku tidak mau mengerti ialah bahwa hasil pengadilan Belanda di Ternate menyatakan kedua tersangka tidak bersalah karena penuntut tidak dapat membuktikan kesalahan mereka. Seseorang tidak dapat dikatakan bersalah apabila tidak dapat dibuktikan kesalahannya, yakni asas praduga tak bersalah. Kejaksaan bukan saja bertugas memberantas kejahatan, tetapi juga melindungi siapa yang tidak bersalah (om zoo wel de ontschuld te beschermen als het quaad te beteugelen).

Sedangkan dalam Kerajaan Tidore sejak Kolano Kaicil Cire raja Tidore yang mula-pertama masuk Islam (1450), berlaku hukum acara sesuai yang diletakkan asasnya oleh Khalifah 'Umar ibn Khattab RA: Anna- laka ha-dza-, dari mana milikmu ini, tersangka harus membuktikan kebersihan dirinya."

Setiap kali Nabi Zakaria AS, yang mengasuh dan membesarkan Maryam binti 'Imran, masuk ke mihrab senantiasa telah tersedia makanan di hadapan Maryam. Bertanyalah Nabi Zakariya AS: YMRYM ANY LK HDZA QALT HW MN 'IND ALLH (S. AL 'IMRAN, 37), dibaca: ya- maryamu anna- laki ha-dza- qa-lat huwa min 'indiLLa-h (s. Ali 'imran), artinya: hai Maryam, dari manakah engkau mendapatkan ini, Maryam menjawab, itu dari sisi Allah (3:37).

Tatkala 'Umar ibn Khattab RA menjadi khalifah, ia memperkembang pertanyaan Nabi Zakaria AS menjadi "Anna- laka ha-dza-. Pertanyaan tersebut ditujukan Khalifah 'Umar kepada umara, yaitu aparatur negara. [Laki dalam ayat dikembangkan Khalifah 'Umar menjadi Laka, oleh karena Maryam adalah perempuan, sedangkan aparat adalah laki-laki]. Khalifah 'Umar mengharapkan (dan harapannya itu terkabul) bahwa seluruh aparat memberikan jawaban yang sama dengan jawaban Maryam, bahwa kekayaan para aparat itu adalah rezeki yang halal dari Allah SWT, bukan harta yang haram dari setan.

***

Dalam rangka reformasi Ekonomi dan Hukum, yaitu pembuatan Undang-Undang Anti Korupsi, maka kolom ini memberikan saran kepada lembaga pembuat undang-undang (DPR dan Pemerintah) supaya diperlengkap menjadi Undang-Undang Anti Korupsi dan Anti Kolusi (UUAKK) dengan sistem pembuktian terbalik Ana- laka ha-dza-.(*) Berdasarkan UUAKK itu dibentuk pula Lembaga Anti Korupsi dan Kolusi (LAKK) yang independen. Para mahasiswa sebagai ujung tombak reformasi damai mulai sekarang hendaknya mengalihkan aktivitasnya pada pendataan kekayaan para pejabat dan para pengusaha kaya. Apabila insya Allah UUAKK telah diundangkan, maka data itu sangat berguna bagi LAKK yang dibentuk berdasarkan UUAKK. Pemerintah lalu "mengamankan" harta-harta kekayaan itu. Maka tinggallah pejabat yang bersangkutan yang harus membuktikan bahwa hartanya itu bersih dari korupsi dan pengusaha kaya itu hartanya bersih dari kolusi melalui sogokan ataupun nepotisme. Kalau ada sisanya yang kotor, maka yang sisa tersebut dirampas oleh negara. WaLla-hu a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 31 Mei 1998

(*) UU No.31 Tahun 1999 (UU No.31/1999) tentang Pemberantasan Tindakan Pidana Korupsi, masih lemah karena dinyatakan bahwa terdakwa hanya mempunyai hak (bukan) kewajiban untuk membuktikan dirinya bersih dari korupsi.