Setelah 70 tahun Sumpah Pemuda, maka: Berbangsa satu, bangsa Indonesia, mendapat terpaan hebat, yang menyebabkan sikap anak-anak bangsa ini terkelompok menjadi tiga: negara kesatuan, negara federasi dan separatis. Kelompok pertama dan kedua masih dalam kerangka Sumpah Pemuda, sehingga tidak begitu mengkhawatirkan. Namun kelompok ketiga sudah keluar dari kerangka Sumpah Pemuda. Kelompok ketiga pernah besuara nyaring dari Irian Jaya dan Timtim, yang mengatakan, jika Megawati tidak terpilih jadi presiden akan memisahkan diri. Tentu tidaklah semua rakyat dalam kedua daerah itu yang separatis, tetapi karena bersuara nyaring gaungnya terdengar jauh. Daerah ketiga yang ingin memisahkan diri ialah Bali, karena mereka menganggap agamanya dihina, yaitu agama Hindu Bali. Tentu saja seperti rakyat di kedua daerah yang tersebut pertama itu tidaklah semuanya ingin memisahkan diri, yang berunjuk rasa belum tentu mewakili seluruh rakyat di daerah Bali.
Penguasa Orde Baru disamping mensakralkan UUD-1945 juga membuat sebuah monster yang disebut Sara. UUD-1945 tidak boleh disakralkan, boleh diubah, diamandemen sesuai kebutuhan zaman. Yang tidak boleh diubah ialah pembukaannya, bukan karena disakralkan melainkan karena pembukaan itu pada alinea ketiga terkait dengan proklamasi kemerdekaan. Artinya mengubah pembukaan berarti membubarkan Negara Republik Indonesia yang diprokalamsikan pada 17 Agustus 1945. Adalah hal yang sangat mubadzdzir jika negara ini, yang dipertahankan dengan berkuah darah dan berlinang air mata akan dibubarkan begitu saja. Demikian pula mengenai Sara. Rakyat Indonesia oleh Orde Baru dijadikan ibarat anak kecil dipertakut-takuti dengan hantu. Sara tidak boleh sekali-kali disentuh harena sensitif. Padahal justru sebaliknya, Sara menjadi sensitif karena tidak boleh disentuh.
Adat kebiasaan suku-suku perlu sekali dimasyarakatkan dalam hal menyangkut pergaulan sehari-sehari. Semisal perbedaan dalam tatakrama bertamu. Ada adat kebiasaan yang berorientasi kualitas. Tamu yang disuguhi minuman harus meminumnya sampai habis. Ini mengandung nilai bahwa demikian enaknya (berkualitas) minuman yang disuguhkan sehingga sang tamu meminum suguhan itu sampai habis. Akan tetapi ada pula yang berorientasi pada kuantitas, maka tamu harus menyisakan minumannya. Ini mengandung nilai, demikian banyaknya (kuantitas) minuman yang disuguhkan sehingga sang tamu tidak sanggup meminumnya sampai habis.
Demikian pula dengan agama. Perbandingan agama jangan hanya dalam ruang lingkup akademis, melainkan dimasyarakatkan, sehingga penganut agama yang satu mengetahui hal-hal yang pokok mengenai agama lain dari saudara-saudaranya sebangsa. Dengan demikian timbullah saling pengertian bahwa memang ada perbedaan pokok di antara agama-agama yang dianut oleh para penganut masing-masing agama di antara saudara-saudara sebangsa yang berlainan agama, sehingga tidak mudah tersinggung. Inilah yang disebut dengan sepakat untuk tidak sama, di antara saudara sebangsa setanah air. Itulah hakekat Bhinneka Tunggal Ika.
***
Maka dalam kolom ini akan dikemukakan keyakinan ummat Islam dalam hal kepemimpinan, untuk diketahui oleh saudara-saudara sebangsa dan setanah air yang tidak beragama Islam dan juga untuk para remaja dan pemuda Islam yang kurang mengenal ajaran agamanya sendiri.
Firman Allah dalam Al Quran:
-- FLA TTKHDZWA MNHM AWLYAa HTY YHAJRWA FY SBYL ALLH (S. ALNSAa, 4:89), dibaca: fala- tattakhidzu- minhum awliya-a hatta- yuha-jiru- fi- sabi-li Lla-hi, artinya: Maka janganlah kamu angkat mereka menjadi wali (pemimpin), kecuali jika mereka telah berhijrah ke jalan Allah.
-- ALRJAL QWAMWN 'ALY ALNSAa (S. ALNSAa, 4:34), dibaca: arrija-lu kawwa-mu-na 'alan nisa-i, artinya: Laki-laki itu tulang-punggung (pemimpin) atas perempuan.
Jadi menurut keyakinan ummat Islam berdasarkan agamanya, dilarang mengangkat kepala negara yang tidak beragama Islam (4:89) dan tidak boleh pula menjadikan perempuan sebagai pemimpin (4:34). Mengenai ayat (4:34) ini ada dua penafsiran, yang jumhur (main stream) menafsirkannya secara tekstual, perempuan tidak boleh diangkat jadi kepala negara. Hanya sedikit yang menafsirkannya secara kontekstual, yaitu laki-laki itu pemimpin perempuan dalam konteks kehidupan berumah tangga.
Ahmad Muflih Saefuddin yang menyatakan siap mencalonkan diri menjadi presiden, ketika ditanya apakah ia siap bersaing dengan Megawati, ia mantap meyatakan kesiapannya. "Diakan agamanya Hindu. Saya Islam. Relakah rakyat Indonesia presidennya beragama Hindu." Ketika para wartawan menyebutkan Megawati seorang Muslim, Saefuddin menukas: "Di koran-koran masa anda tidak tahu, saya lihat (fotonya) sembahyang di pura." Ketika wartawan mendesak: "Tapi ia menikahkan anaknya secara Islam", dengan enteng Saefuddin menjawab: "Mungkin dia agamanya dua."
Pada waktu saya masih di SMA saya mempunyai adik kelas bernama Jalu, anak R. Marjatmo alias Jatmo yang direktur SMA tersebut. Jalu pernah berkata kepada saya: "Nur, saya itu sudah sembahyang di mesjid, juga di gereja, juga di pure." Saya menjadi heran waktu itu, lalu sepulangnya ke rumah saya bertanya kepada ayah saya, mengapa ada orang tiga agamanya. Ayah saya menjawab pendek: "Itu yang disebut sinkretisme."
Jawaban Saefuddin yang spontan secara singkat atas pertanyaan-pertanyaan wartawan, bagi saudara-saudara kita sebangsa dan setanah air yang beragama Hindu, terkesan menghina agama Hindu dan diskriminatif: "Relakah rakyat Indonesia presidennya beragama Hindu." Semestinya ia menjawab: "Menurut ajaran agama saya, ummat Islam dilarang memilih presiden yang bukan Islam, dan perempuan tidak boleh jadi presiden. Sehingga saya yakin dapat menyaingi Megawati, karena Megawati saya lihat gambarnya sembahyang di pura, jadi ia beragama Hindu, lagi pula ia perempuan sehingga rakyat Indonesia yang beragama Islam yang jumlahnya jauh lebih banyak tentu tidak akan memilihnya menjadi presiden."
Secara substansial kalimat pendek Saefuddin dengan uraian panjang itu adalah sama. Memang orang biasa menjawab pendek-pendek dalam menjawab wawancara. Saefuddin telah menyadari terkesan menghina agama Hindu dengan kalimat pendeknya itu, makanya itu ia telah minta maaf. Andaikan tidak diperpolitiser sesungguhnya hal itu telah selesai. WaLlahu a'lamu bisshawab.
*** Makassar, 1 November 1998