8 November 1998

347. Antara Legitimasi Formal dengan Legitimasi Riel

Karena Winters menjadi tersangka, ia mencerca sistem hukum Indonesia, yang katanya itu hukum kolonial yang digunakan oleh pemerintah Habibie. Mencerca sistem hukum negara Republik Indonesia yang dikatakannya hukum kolonial, berarti Winters menghina bangsa Indonesia. Tidak percaya? Bacalah hasil wawancara yang berikut ini:

Kalau memang pemerintah Habibie mau menjadikan saya tersangka, maka itu berarti bahwa sebenarnya pemerintah Habibie ingin tetap menggunakan suatu instrumen hukum yang sebenarnya punya sejarah kolonial, yaitu dari zaman Belanda. Negara demokrasi tidak punya hukum kolonial seperti itu. Jadi itu hukum yang dipakai, kemudian dipakai Suharto dan sekarang dipakai oleh Habibie.

Winters boleh saja tidak mengakui legitimasi sistem perundang-undangan kita, karena ia warga-negara Amerika. Akan tetapi rakyat Indonesia harus melaknat Winters sekeras-kerasnya, karena ia menghujat sistem hukum kita yang dikatakannya hukum kolonial warisan Belanda. Selanjutnya rakyat Indonesia sangat patut meminta pertanggungan-jawab kepada meraka yang telah mendatangkan Winters ke Indonesia ini. Bagaimanpun juga mereka yang terlibat dalam aktivitas mendatangkan Winters itu, harus bertanggung jawab, oleh karena kedatangan Winters itu mengakibatkan keluarnya hujatan Winters yang menghina bangsa Indonesia.

"Gara-gara berita anda, orang-orang Barisan Nasional (Barnas) di sini geger. Mereka semua saling menebak siapa calon satria piningit," kata Syamsul, stafhumas Barnas kepada Bangkit, tabloid yang beralamatkan Jl Palmerah Barat 29-33, Jakarta. Menurut Bangkit kantornya kebanjiran telepon menanyakan siapa itu satria piningit, mulai dari bapak-bapak hingga orang tua, yang menurut tabloid itu pula menjadi bahan perembukan para pengurus Barnas. Menurut Mbah Giman alias Sultan H Joko Lelono sang Ratu Adil satria piningit itu kini telah berumur 56 tahun dan berasal dari militer, berpangkat letnan jenderal dan pensiun menjelang Soeharto lengser keprabon.

Kalau keterangan stafhumas Barnas benar demikian, bahwa satria piningit itu menjadi bahan diskusi para pengurus Barnas, saling menebak siapa itu satria piningit di antara mereka, maka Masya-Allah, dalam era globalisasi yang membuang jauh-jauh yang berbau tahyul dan khurafat, pengurus Barnas yang berdiskusi itu masih percaya tahyul dan khurafat dan ingin mendapatkan legitimasi dari tahyul satria piningit tersebut. Kalau memang benar demikian, maka maklumlah kita mengapa Barnas tidak mau mengakui legitimasi pemerintahan Habibie.

Negara Republik Indonesia yang penduduknya hampir 200 juta orang, ditambah pula dengan wilayahnya yang luas, tentu tidak mungkin dapat melakukan musyawarah secara langsung. Sehingga harus menempuh tehnik permusyaratan perwakilan. Orang sekarang digiring ke arah dikhotomi, yaitu legitimasi formal (konstitusional) versus legitimasi informal (legitimasi riel). Ada yang menganggap wakil-wakil rakyat hasil Pemilu yang baru lalu (dan Pemilu-Pemilu sebelumnya) tidak mempunyai legitimasi riel, oleh karena wakil-wakil rakyat yang terpilih itu melalui proses pemilihan yang curang. Ada yang menganggap wakil-wakil rakyat itu mempunyai legitimasi formal, karena telah terpilih secara konstitusional. Golongan pertama menolak SI MPR dan golongan kedua mendukung SI MPR. Kalau kita memakai kriteria pengerahan massa maka sampai kolom ini ditulis, golongan pendukung SI MPR lebih dominan ketimbang dengan yang menolak. Forum Silaturrahim Ulama-Habaib dan Tokoh Masyarakat yang menggelar apel akbar ummat Islam se-Jabotabek hari Kamis, 5 November 1998 di Istora Senayan, merupakan sebagai bentuk unjuk-rasa ummat Islam yang mendukung SI MPR. Ummat Islam peserta rapat akbar itu menumpah-ruah stadion terbesar di Asia Tenggara itu, yang kapasitasnya 110.000 orang. Lagi pula Kongres Ummat Islam di Jakarta mendukung SI MPR.

Kalau kita sedikit rasional sesungguhnya kedua sikap yang dikhotomis itu dapat diakomodasikan. Secara jujur harus diakui kenyataan bahwa dalam Pemilu yang baru lalu terjadi kecurangan di sana sini. Namun kalau kita berpikir secara jernih ada wakil-wakil rakyat yang terpilih yang tidak jadi-jadian, yaitu betul-betul wakil-wakil rakyat yang sesungguhnya. Wakil-wakil rakyat dari PPP dan PDI, kedua kontestan yang dicurangi, tentu mereka yang terpilih itu betul-betul wakil rakyat yang mempunyai legitimasi riel. Dalam pada itu wakil-wakil rakyat dari Golkar harus pula diakui bahwa tidak semuanya yang jadi-jadian, sebab tidak juga masuk akal sehat jika dikatakan terjadi kecurangan 100%, katakanlah hanya puluhan persen. Karena belum ada penelitian tentu tidak dapat disebutkan secara eksak dalam persen kuantitas kecurangan itu, maka kita katakan saja puluhan persen. Jadi wakil-wakil rakyat hasil Pemilu yang tidak jadi-jadian yang mempunyai legitimasi riel adalah semua wakil rakyat dalam PPP + semua wakil rakyat dalam PDI + (100% - puluhan%) dari wakil rakyat dalam Golkar. Mereka inilah wakil-wakil rakyat yang sekali-gus mempunyai legitimasi formal dan legitimasi riel.

Alhasil jika mau berpikir jernih, tidak emosional, tidaklah logis jika menolak SI MPR. Karena SI MPR ini adalah koridor menuju sasaran tercapainya Pemilu yang luber, jurdil dan bersih, yang insya-Allah akan dilaksanakan pertengahan tahun 1999 yang akan menghasilkan wakil-wakil rakyat yang 100% mempunyai legitimasi formal dan riel, yang akan mengadakan SU MPR yang insya-Allah akan bersidang dalam akhir tahun 1999. Secara hakikat SU MPR tersebut tidak lain merupakan konsiliasi nasional yang sesungguhnya. Aspirasi-aspirasi yang sebanyak itu yang dilontarkan dalam unjuk-rasa tentu saja tidak dapat semuanya ditampung dalam agenda SI MPR yang hanya berlangsung dalam tiga hari itu. Namun SI MPR patut memperhatikan betul rekomendasi politik Kongres Ummat Islam utamanya pencabutan ketentuan asas tunggal. Dalam pada itu kelompok-kelompok pengunjuk rasa yang belum tertampung aspirasinya, cobalah bersabar sedikit menunggu SU MPR, karena
-- WALLH YHB ALSHBRYN (S. AL 'AMRAN, 3:146), dibaca: waLla-hu yuhibbush sha-biri-n, artinya: Sesungguhnya Allah mengasihi orangorang sabar. WaLlahu a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 8 November 1998