Ada yang menarik dengan bincang-bincang di TVRI malam Jumat yang lalu. Riyas Rasyid mengeluh tetapi juga menganggap lucu mengapa banyak teman-temannya yang pakar berpikir tidak istiqamah (konsisten). Katanya, ini menurut Riyas Rasyid, mereka itu berpendapat bahwa presiden, gubernur dan bupati mestinya dipilih secara langsung, harus otonomi yang luas bahkan ada yang berpendapat lebih baik negara ini berbentuk federasi, akan tetapi mereka itu tidak setuju dengan sistem distrik dalam Pemilu. Padahal bukankah dengan sistem distrik itu wakil rakyat dipilih secara langsung. Dalam sistem proporsional wakil rakyat itu dipilih secara tidak langsung, karena yang menentukan wakil rakyat itu adalah partai. Dengan sistem distrik begitu perhitungan suara di suatu daerah pemilihan selesai dilakukan, maka wakil rakyat dari daerah berangkutan langsung dapat diketahui.
Apa yang dikatakan oleh Riyas Rasyid itu ada benarnya. Para pakar yang tidak setuju dengan sistem distrik, artinya yang setuju dengan sistem proporsional, kalau mereka itu berpikir konsisten seharusnya tidak pula setuju dengan sistem desentralisasi. Karena sistem proporsional itu sinkron dengan sistem sentralisasi, yaitu wakil rakyat ditentukan di pusat (baca: Jakarta) oleh pimpinan partai.
Riyas Rasyid kemudian menjawab sendiri keluhannya itu mengapa para pakar itu berpikir tidak istiqamah. Rencana UU Pemilu yang menyebutkan sistem distrik itu dibuat oleh pemerintah. Dewasa ini berkembang pendapat umum bahwa semua yang dari pemerintah itu salah dan patut dicurigai.
Menurut hemat saya mengapa terjadi alergi umum bahwa semua yang dari pemerintah itu serba salah dan patut dicurigai, karena trauma terhadap peristiwa yang dialami rakyat Indonesia selama pemerintahan Orde Baru, utamanya kecurangan yang dilakukan oleh Lembaga Pemilihan Umum yang anggotanya melulu terdiri atas para birokrat yang notabene kader-kader Golkar. Para birokrat itu menjadi wasit sekali gus pemain sehingga bebas berlaku curang. Gencarnya tuntutan untuk menghapuskan dwifungsi ABRI adalah juga karena trauma terhadap perlakuan ABRI terhadap rakyat di beberapa daerah seperti DOM di Aceh, peristiwa Lampung dan Tanjung Priok selama Orde Baru, serta banyaknya anggota ABRI yang dikaryakan menjadi gubernur, bupati dll. (Sebenarnya ungkapan menghapuskan dwifungsi ABRI tidak tepat, seharusnya menghapuskan peran sospol ABRI, karena kalau kedua fungsi ABRI dihapus, berarti fungsi pertahanan kemananpun turut dihapus).
Sehubungan dengan penghapusan peran sospol ABRI ini, menurut hemat saya tidak perlu sikap mutlak-mutlakan, oleh karena secara obyektif masih ada fungsi sosial ABRI yang bermanfaat, seperti ABRI masuk desa. Jembatan-jembatan runtuh yang perlu dibangun kembali cepat-cepat, jalan-jalan yang tertutup tanah longsor, apa mesti semuanya itu ditanggulangi oleh PU? Aspirasi ABRI dalam menyusun undang-undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, tidaklah mungkin dikemukakan oleh mantan-mantan ABRI dalam parpol yang duduk dalam DPR, oleh karena anggaran yang dibutuhkan ABRI hanya mungkin secara rasional dapat dikemukakan oleh anggota ABRI yang masih aktif duduk dalam struktur organisasi ABRI. Mengenai tidak adanya dalam UUD-1945 perihal penunjukan anggota ABRI dalam DPR, itu dapat saja dicari jalan keluarnya. Yaitu dengan cara MPR membuat amandemen atas UUD-1945 bahwa sekian persen dari jumlah anggota DPR terdiri atas anggota ABRI. Sekian persennya itu ditentukan oleh undang-undang.
Namun, tidaklah semua yang bersikap bahwa semua dari pemerintah itu serba salah disebabkan oleh trauma. Tokoh-tokoh Barisan Nasional (Barnas) dan tokoh-tokoh "kritis" lainnya, yang bersikap menolak lembaga-lembaga formal, yang sekarang menjadi tersangka makar, bukanlah karena trauma, melainkan ingin menjerumuskan reformasi damai yang dipelopori anak-anak kita para mahasiswa ke arah revolusi yang radikal dengan membentuk komite rakyat dan presidium.
Sekarang ini sedang ramai dibicarakan tentang pro atau kontra tentang apakah ke-17 orang yang telah dinyatakan tersangka itu berbuat makar atau tidak. Para pakar hukum mengemukakan teori subyektif dan obyektif. Menurut teori subyektif kalau ada niat itu berarti sudah makar, sedangkan menurut teori obyektif baru dikatakan makar jika memenuhi dua unsur, adanya niat yang kemudian disusul oleh perbuatan permulaan. Yang melakukan penyelidikan dan penyidikan adalah kepolisian, sedangkan para pakar itu, siapapun dia, tidak menyelidik dan tidak menyidik. Lalu bagaimana para pakar yang tidak setuju tentang adanya makar dapat mengetahui belum ada perbuatan permulaan? Oleh sebab itu untuk menghemat energi lebih baik kita tunggu saja proses hukum selanjutnya, ke-17 tersangka itu diserahkan ke kejaksaan, selanjutnya ke pengadilan untuk divonis oleh hakim. Yang penting penegak hukum menjaring tersangka dengan KUHP, bukan UU Subversi seperti yang dilakukan oleh rejim Orde Lama dan Baru.
Dalam Seri 344 telah dibicarakan juga tentang makar, namun titik beratnya pada segi etimologi (asal-usul kata). Kita angkat beberapa kalimat dari Seri 344 mengenai kata makar secara etimologis:
Makar berasal dari bahasa Al Quran, dibentuk oleh akar kata yang terdiri atas tiga huruf Mim, Kef, Ra, MaKaRa yang berarti merencanakan pembinasaan, kata bendanya Makr(un). Diriwayatkan dalam Al Quran Allah mengutus Nabi Shalih AS kepada bangsa Tsamud, yang ahli dalam bangunan. Bangsa Tsamud berbuat makar untuk menyerang dan membunuh Nabi Shalih AS beserta keluarganya di malam hari.
Akibat makar bangsa Tsamud itu terhadap Nabi Shalih AS beserta umatnya, Allah merobohkan bangunan-bangunan bangsa Tsamud.
FANZHR KYF KAN 'AAQBT MKRHM ANA DMRNHM WQWMHM AJM'AYN (S. AL NML, 27:51). Dibaca: fanzhur kayfa ka-na 'a-qibatu makriHim anna- dammarna-hum wa qawmahum ajma'i-n. Artinya: Maka perhatikanlah bagaimana akibat makar mereka itu, sesungguhnya Kami binasakan mereka dan kaumnya (Tsamud) sekalian.
Mulai seri ini penulisan ayat-ayat Al Quran ditransliterasikan secara huruf demi huruf demi pertimbangan keotentikan, kemudian disusul cara membacanya, terakhir baru artinya. Ini atas saran para pakar dosen senior IAIN seperti mantan Rektor IAIN Muh.Saleh Putuhena dan ananda Kasim Mathar. Walla-hu a'lamu bishshawa-b.
*** Makassar, 22 November 1998