Pada layar kaca saya lihat rektor Universitas Atmajaya mengomel mengapa petugas sampai ke dalam kampus Atmajaya menindaki mahasiswa. Sebelumnya saya saksikan bom molotov dilemparkan keluar ke arah pasukan penjaga keamanan dari dalam pekarangan kampus Atmajaya. Inilah ekses unjuk-rasa "damai" yang yang bernuansa show of force. Juga Kiyai Haji Abdul Qadir Jailani yang pernah dihukum rejim Orde-Baru (kalau saya tidak salah ingat) selama dua setengah tahun, menyaksikan dengan matanya sendiri mahasiswa dari kampus Atmajaya melempari batu kepada mobil yang mengangkut rombongan pengunjuk rasa yang mendukung SI MPR yang dijuluki Pam Swakarsa. Dari mana batu itu diambil kalau tidak disediakan terlebih dahulu. Sebagai senjata tentu tidak ada bedanya antara peluru karet, bom molotov dan batu.
Tiga hari sesudah Suharto lengser keprabon, kolom ini tanggal 24 Mei 1998 menyajikan Seri 323 yang berjudul: MensucikanNya, MemujiNya dan Minta Ampun KepadaNya. Judul ini diangkat dari:
-- FASBh BhMD RBK WASTGHFRH AnH KAN TWABA (S. ALNSHR, 310:3),
dibaca: fasabbih bihamdi rabbikan wastaghfirhu innahu- ka-na tawwaba-, artinya: Maka sucikanlah serta pujilah dan minta ampunlahkamu kepada Maha Pemeliharamu sesungguhnya Dia Maha Penerima taubat.
Surah [310:3] tersebut diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dalam hubungannya dengan kemenangan pendudukan atas kota Makkah secara damai oleh pasukan Islam dari Madinah.
Setelah kita mencapai kemenangan disuruh tasbih (FASabBiH), mensucikan Allah, hanya Allah Yang Maha Suci, suci dari kesalahan. Manusia tidak luput dari kesalahan, terutama yang berwatak impulsif emosional.
Setelah kita mencapai kemenangan disuruh tahmid, memuji Allah Yang Maha Pengatur dan Pemelihara (bihamdi Rabbika). Inilah ajaran berakhlak terhadap Allah SWT. Bahwa yang patut dipuji dalam hasil kemenangan melengserkan Suharto keprabon adalah Allah SWT, tidak boleh memuji manusia, apa pula memuji menyombongkan diri sendiri: "Kalau bukan jasa si anu, kalau bukan jasa saya, kemenangan ini tidak mungkin tercapai."
Setelah mencapai kemenangan disuruh istighfar, minta ampun kepada Allah SWT (wastaghfirrhu), berhubung dalam proses mencapai kemenangan itu memperbuat kesalahan-kesalahan, terutama kesalahan yang dapat mengaburkan tujuan reformasi, yaitu dengan membelok pada kesibukan pro dengan kontra terhadap Presiden Habibie.
Yang terakhir setelah mencapai kemenangan disuruh tawbat kepada Allah SWT (innahu- ka-na tawwa-ba-), karena dirinya telah dimanfaatkan oleh golongan yang mencoba mengeruhkan kemurnian gerakan moral reformasi damai ini.
Namun setelah mencapai kemenangan melengserkan Suharto keprabon, umumnya orang lupa mensucikan Allah, lupa memuji Yang Maha Pengatur dan Pemelihara, lupa minta ampun kepadaNya dan lupa tawbat kepada Allah SWT, sehingga menjadi mabuk kemenangan.
***
Suatu kenyataan yang tak dapat disangkal, setelah Suharto lengser keprabon mahasiswa tidak satu visi lagi, melainkan terpolarisasi menjadi kelompok pro dengan kontra terhadap Presiden Habibie, yang kemudian menjelma menjadi kubu yang menerima dengan yang menentang SI MPR. Padahal SI MPR adalah koridor menuju sasaran terselenggaranya Pemilu yang insya Allah akan menghasilkan wakil-wakil rakyat yang mempunyai letigimasi penuh baik secara formal maupun riel.
Bukan hanya mahasiswa yang pecah menjadi dua kubu. Masyarakat di luar mahasiswapun terpecah pula menjadi kubu yang mendukung dengan yang menentang SI MPR. Secara realitas masyarakat yang mendukung SI MPR jauh mengungguli yang menentang baik secara kuantitas maupun secara kualitas. Secara kuantitas kita dapat lihat tatkala pendukung SI MPR Forum Silaturrahim Ulama-Habaib dan Tokoh Masyarakat menggelar apel akbar ummat Islam se-Jabotabek hari Kamis, 5 November 1998 di Istora Senayan. Unjuk-rasa ummat Islam yang mendukung SI MPR peserta rapat akbar itu menumpah-ruah stadion terbesar di Asia Tenggara itu, yang kapasitasnya 110.000 orang. Secara kualitas pendukung SI MPR tersebut dapat kita lihat Kongres Ummat Islam di Jakarta yang dihadiri oleh seluruh golongan ummat Islam dari seluruh pelosok wilayah Republik Indonesia. Masyarakat yang menentang SI MPR hanya terdiri atas Barisan Nasional (Barnas) dan golongan nasional sekuler lainnya. Mereka ini takut kalah bertarung dalam Pemilu secara demokratis. Mereka berorientasi pada ideologi yang dianut oleh Partai Sosialis Indonesia, yang para pakarnya bertanggung-jawab dalam meletakkan dasar strategi pembangunan Orde Baru yang berat ke atas, rapuh ke bawah yang menyebabkan anak-anak bangsa ini terpuruk ke dalam jurang serba krisis.
Sesungguhnya unjuk-rasa mahasiswa yang menuju ke gedung MPR sudah bercampur-baur antara yang menerima dan yang menentang SI MPR. Mahasiswa yang menerima SI MPR adalah reformis yang membawakan aspirasi secara damai dengan tema pokok: hapuskan dwifungsi ABRI, hapuskan asas tunggal Pancasila, adili Suharto. AlhamduiLlah, ketiga tuntutan itu telah terpenuhi dalam SI MPR, dengan catatan bahwa anggota ABRI dalam DPR akan dihilangkan secara bertahap.
Sayang sekali mahasiswa reformis yang menyuarakan aspirasi secara damai itu dibawa larut dalam arus radikal oleh mahasiswa penentang yang berupaya menggagalkan SI MPR yang bernuansa bukan lagi reformasi melainkan revolusi ingin membentuk komite rakyat, atau MPR Reformasi menurut istilah S.E.Swasono seorang tokoh Barnas. Mahasiswa radikal ini beriintikan Forkot, yang menjadi ujung tombak Barnas, tidak mau tahu dengan UUD-1945, ingin memebentuk komite rakyat. Gerakan Forkot yang radikal ini didanai oleh Arifin Panigoro sebagaimana diakuinya sendiri.
Gerakan radikal yang berupaya menggagalkan SI MPR tersebut membawa larut mahasiswa lain, yang pada mulanya reformis, turut terpancing menjadi radikal pula, sehingga terjadi adu fisik dengan aparat keamanan. Maka timbullah ekses, korban berjatuhan. Ekses korban berjatuhan ini memancing rasa solidaritas mahasiswa, sehingga sasaran menggagalkan SI MPR berubah menjadi isu anti Polri dan menurut pengakuannya sendiri dalam debat melawan Sayidiman di SCTV dijadikan alasan oleh S.E.Swasono (baca Barnas) untuk membentuk komite rakyat. Insya Allah, skenario Barnas ini tidak akan berhasil, Allah SWT melindungi bangsa Indonesia! WaLlahu a'lamu bisshawab.
*** Makassar, 15 November 1998