29 November 1998

350. Tragedi Ketapang

Tragedi Ketapang mengungkapkan kejengkelan yang terpendam selama ini terhadap kebijakan pemerintah kota mengeluarkan izin perjudian. Betapa banyak mendatangkan kesengsaraan atas kehidupan berumah tangga akibat kepala rumah tangga yang ketagihan bermain judi. Tiga sekawan: tempat bermain judi, bermain sex dan bermain mabuk-mabukan (baca: minuman keras, perangsang dan narkotika), merupakan titik rawan meletusnya konflik semacam di Ketapang itu. Benturan fisik yang terjadi akibat konflik itu membawa ekses yang tidak kurang dahsyatnya, karena birokrat yang mengeluarkan izin tempat maksiyat itu tidak memperhatikan adanya tempat ibadah yang berdekatan dengan rumah judi seperti di Ketapang itu. BL yang mengerahkan sekitar 200 orang preman berwarna kulit legam untuk menyerang pemukiman yang masyarakatnya tidak senang dengan adanya tempat perjudian itu menyebabkan terjadinya bentrokan fisik yang merusak mushalla. Kita dengan gampang saja mengatakan supaya masyarakat jangan mudah timbul emosinya. Kita lupa bahwa bahu memikul lebih berat dari sekadar mata memandang atau telinga mendengar. Dalam situasi yang demikian itu jika ummat secara spontan bereaksi di atas batas kewajaran akibat timbulnya ghirah untuk membela hak asasinya, tidaklah bijakasana untuk mengutuk reaksi spontan itu. Sikap yang wajar terhadap spontanitas itu adalah tidak membenarkan akan tetapi dapat memahaminya.

Tragedi Ketapang menunjukkan masih aktifnya aktor intelektual (aktel) yang terpendam sosoknya namun muncul pula menunggangi tragedi Ketapang ini. Aktel itu mengelurkan dan menyebarkan isu ada mesjid dibakar di Ketapang sehingga membakar kemarahan ummat dengan bertindak di atas batas kewajaran. Aktel yang masih tersembunyi ini terus-menerus berupaya untuk menimbulkan khaos sebagai sasaran antara dan revolusi sosial sebagai sasaran utama. Aktel ini tidak menginginkan Pemilu karena melalui Pemilu aktel tersebut tidak yakin dirinya akan mampu mendapat pasaran dalam bursa Pemilu.

Siapa tahu, hanya Allah Yang Maha Tahu, para tersangka makar dari tokoh-tokoh Barnas, Pudi dan PDI perjuangan yang mengklaim atas nama rakyat (entah dari mana mereka mendapatkan legitimasi untuk mengklaim itu) untuk membubarkan MPR dan menggantinya dengan MPRS atau komite rakyat dan mengganti Pemerintahan Habibie dengan presidium, boleh jadi mereka sang tersangka itu hanya sekadar pion-pion dari seorang atau sekelompok kecil aktel tersebut. Mudah-mudahan konstatering ini tidak benar, sebab jika benar kasihan sekali para tersangka yang pakar-pakar dan mantan-mantan petinggi ABRI itu tidak menyadari diri mereka itu dijadikan hanya sekadar pion-pion belaka.

Kita lihat bagaimana liciknya aktel ini mengirim pion-pionnya mengeruhkan kemurnian gerakan moral reformasi damai anak-anak kita mahasiswa yang berunjuk-rasa membawakan aspirasinya untuk didengarkan oleh anggota SI MPR yang sedang bersidang. Artinya anak-anak kita mahasiswa yang masih murni itu tidak menginginkan untuk menggagalkan SI MPR, sebab kalau gagal lalu bagaimana aspirasinya itu dapat tertampung. Yang sangat perlu digaris bawahi bahwa hampir semua substansi dari Tap MPR hasil SI MPR tersebut tidak mungkin sedemikan hasilnya tanpa unjuk-rasa anak-anak kita mahasiswa. Sayang sekali dan sangat disesalkan terjadinya bentrokan fisik yang disebabkan oleh pion-pion yang dikirim oleh aktel ikut mengambil bagian pada baris terdepan, yang tatkala berhadap-hadapan dengan petugas keamanan menggoda, menghasut, melempari batu bahkan kotoran, sehingga memancing emosi petugas keamanan. Pada saat petugas keamanan terpancing emosinya pion-pion tersebut membuka barisannya, sehingga anak-anak kita mahasiswa yang membawakan aspirasi murni itulah yang menanggung akibat tindakan represif di atas batas kewajaran dari petugas keamanan. Namun harapan atau keinginan aktel itu untuk menciptakan khaos dengan sasaran menggagalkan SI MPR tidak tercapai.

Ada satu hal yang patut dicatat tentang unjuk-rasa. Apabila jumlahnya puluhan ribu, maka sukar sekali bagi pimpinan pengunjuk-rasa itu untuk dapat mengetahui masuknya kelompok kecil pendompleng. Akan tetapi jika jumlahnya relatif kecil maka pimpinan pengujuk-rasa ataupun yang ikut memantau dari luar barisan dapat mengetahui dengan gampang adanya pendompleng yang menyusup. Contoh yang dekat dan baru saja terjadi ialah long march aksi keprihatinan mahasiswa UMI pada hari Selasa, 24 November 1998 ybl. Komite Masyarakat Sulawesi (Komas) mendompleng ikut bergabung yang membagi-bagikan selebaran berisikan seruan aksi. Mahasiswa UMI yang yakin gerakannya itu murni langsung mengumpulkan selebaran berwarna kuning dan merah itu kemudian merobek-robeknya.

Dari segi masih adanya aktivitas pion-pion aktel ini yang mencoba menimbulkan khaos dalam masyarakat, kita dapat memahami gagasan Agum Gumelar untuk mengadakan dialog nasional. Ini penting diselenggarakan walaupun tidak mungkin untuk dapat menyatukan pendapat antara pendukung pemerintah dengan oposan, namun sekurang-kurangnya dapat timbul saling pengertian (ta'arruf), disertai dengan sikap tidak ingin saling memaksakan kehendak. Jika saling pengertian ini telah terjalin, maka setiap kelompok dapat menjaga diri dari hasutan kelompok kecil aktel yang selalu menghendaki khaos sebagai suatu strategi untuk menimbulkan revolusi sosial. Lalu terciptalah keamanan dan rasa aman yang sangat kita butuhkan menjelang Pemilu yad.

Firman Allah:

W J'ALNKM SY'AWBA W QBA"L LT'AARFWA (S.ALHJRAT 49:13), dibaca: wa ja'alna-kum syu'u-ban wa qaba-ila lita'a-rafu- (s. alhujura-t, 13), artinya: dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa (bermacam-macam ummat) supaya kamu berta'arruf.

LA AKRAH FY ALDYN (S. ALBQRT, 2:256) dibaca: la- ikra-ha fiddi-n (s. albaqarah, 256), artinya: tidak ada paksaan dalam agama.

Ta'arruf ialah saling kenal pendapat dan argumentasi antara satu dengan yang lain, serta saling tidak memaksakan kehendak dalam arti sadar akan aturan main (baca: konstitusional). Sedangkan agama tidak boleh dipaksakan, mengapa pula akan memaksakan kehendak!

Mulai seri 349 penulisan ayat-ayat Al Quran ditransliterasikan secara huruf demi huruf demi pertimbangan keotentikan, kemudian disusul cara membacanya, terakhir baru artinya. Ini atas saran para pakar dosen senior IAIN. Walla-hu a'lamu bishshawa-b.

*** Makassar, 29 November 1998