1 Agustus 1999

383. Jangan Lekas Berbangga, Pemilu Bukan Permainan Sepak Bola

Sejak keadaan fisik saya tidak memungkinkan menyetir jauh-jauh, sedangkan saya tidak mampu menggaji sopir pribadi, lagi pula anak-anak yang dapat menyetir sudah mempunyai kesibukan sendiri-sendiri, ditambah pula sewa taksi yang mahal, maka kalau bepergian di dalam kota saya naik kendaran umum pete'-pete' (bagi orang yang masih asing dari suasana Sulawesi Selatan itu istilah untuk oplet). Saya dapat belajar dan merasakan hidup berdemokrasi dengan naik pete'-pete' ini. Dari berpete'-pete' ini saya belajar dan merasakan bahwa berdemokrasi itu tidaklah identik dengan suara lebih/terbanyak. Apabila orang naik pete'-pete' bergaris kuning, yaitu jalur Sentral - Ujung Pandang Baru, tatkala tiba di simpang tiga di depan Masjid Syura Ujung Pandang Baru, sang supir pete'-pete' selalu bertanya: "Ada yang mau terus?". Apabila ada satu orang saja, tidak perduli siapa orangnya, laki-laki atau perempuan, anak-anak, remaja atau orang tua mengatakan: "terus", maka biarpun semua penumpang lain yang memenuhi pete'-pete' itu, ingin memintas dengan belok kanan di sisi Kantor Kecamatan Tallo', namun sang supir pete'-pete' akan jalan terus, tidak berbelok ke kanan. Terkadang ada pula penumpang yang merasa malu kalau hanya dirinya seorang, pete'-pete' akan jalan terus, lalu ia minta diturunkan di simpang tiga itu, untuk kemudian berjalan kaki sepemanah atau sepelempar lembing jauhnya. Inilah demokrasi, kedaulatan rakyat di atas pete'-pete'. Rakyat yang banyak tidak bersikap tirani mayoritas, mengalah kepada satu orang warga. Rakyat yang sedikit "tahu diri" merasa malu untuk menjadi tirani minoritas.

Itulah yang saya katakan di atas itu belajar dan merasakan kedaulatan rakyat di atas pete'-pete'. Rakyat yang lebih banyak jumlahnya yang ingin belok kanan mengalah secara ikhlas, tidak menggerutu, menuruti keinginan rakyat yang jumlahnya lebih kecil. Mengapa yang mayoritas itu secara ikhlas mengalah kepada minoritas? Karena memang jalur Sentral - Ujung Pandang Baru itu mesti terus. Jalur itulah yang merupakan konstitusi bagi rakyat dalam "negara" kecil yang berwilayah pete'-pete' itu. Sebaliknya yang minoritas yang jumlahnya tidak signifikan (hanya seorang-dua) "tahu diri", merasa malu untuk menjadi tirani minoritas.

***

Para elit partai-partai gurem perlu belajar bersikap "tahu diri" dari penumpang pete'-pete' yang minoritas yang tidak signifikan yang merasa malu itu menjadi tirani minoritas. Dengan adanya 27 orang anggota KPU dari partai-partai gurem itu yang tidak mau bertanda-tangan itu, berarti mereka yang hanya sekitar 6 % suaranya itu memaksakan kehendak, alias tidak malu menjadi tirani minoritas. Dalam acara pro-kontra di TPI alasan yang dikemukakan oleh seorang peserta dari partai gurem untuk menjustifikasi mengapa tidak mau bertanda-tangan, dengan mengulur-ulurkan kitab UU, ia merepet bahwa Pemilu ini tidak Jurdil karena banyak terjadi kecurangan. Namun ia tidak menjelaskan banyaknya berapa, jenis kecurangannya bagaimana. Apakah orang dapat mengatakan bahwa ras negro itu berkulit putih karena Michael Jackson berkulit putih dan boleh juga ditambah lagi dengan semua orang negro berkulit putih karena karena kuku dan gigi mereka itu putih?

***

Sejak perhitungan suara masih berlangsung dan tatkala terlihat kecenderungan PDIP mendapatkan suara yang menempatkannya pada kedudukan nomor satu, maka masyarakat dibentuk opininya oleh kebanyakan pers bahwa secara de facto Megawati telah menjadi presiden, tinggal hanya diformalkan melalui Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat. Pernyataan kuantitatif gradual "nomor satu" itu diterjemahkan ke dalam pernyataan kualitatif "menang". Bahkan Megawati sendiri dalam pidato politiknya mempunyai pandangan yang demikian itu pula. Seharusnya sebagai calon presiden mesti faham bahwa kemenangan dalam Pemilu tidaklah selamanya identik dengan de fakto menjadi presiden, seniora el presidente. Kesengajaan mempergunakan pernyataan kualitatif "kemenangan" sesungguhnya adalah sebuah rekayasa yang menghasilkan sebuah kepalsuan (fallacy, misleading). Betapa tidak! Cobalah pakai pernyataan kuantitatif yang dapat menunjukkan obyektivitas, yaitu PDIP menempati posisi nomor satu dengan mengumpul suara 33,7%. Dengan angka 33,7% itu untuk lembaga DPR saja, apatah pula MPR, Megawati belum boleh berbangga diri seperti yang diekspresikannya dalam pidato politiknya. Megawati haruslah "tahu diri", PDIP menempati posisi nomor satu itu disebabkan oleh simpati yang didapatkannya karena "dianiaya" oleh rejim Orde Baru. Megawati, seperti para elit partai-partai gurem itu, perlu belajar kepada penumpang pete'-pete' dalam konteks sikap "tahu diri".

Pernyataan kualitatif "menang" tidak mempunyai arti sama sekali jika diterjemahkan dalam pernyataan kuantitatif 33,7% < 50% dalam forum DPR, apatah pula dalam forum MPR. Lain halnya dengan permainan sepak bola, kemenangan dalam pernyataan kualitatif, apakah itu skor 1 - 0, atau 7 - 0, atau secara umum m - n (m > n). Pemilu tidak sama dengan permainan sepak bola.

Megawati selayaknya jangan lekas berbangga sebagai pemenang dengan angka 33,7%. Nabi Muhammad RasuluLlah SAW sewaktu berhasil memenangkan penduduk Makkah dalam nuansa kedamaian lahir dan bathin, diperintahkan Allah untuk tidak berbangga diri, seperti FirmnanNya:
-- FSBh BhMD RBK WASTGHFH (S. ALNSHR, 3), dibaca: fasabbih bihamdi rabbika wastaghfirhu, artinya maka bertasbihlah, bertahmidlah dan istighfarlah. Sedangkan kepada seorang Nabi yang mulia disuruh demikian, apatah pula hanya seorang biasa seperti Megawati. Tidaklah pantas Megawati berbangga diri seperti dinyatakannya dalam pidato politiknya itu. Masih sangat jauh untuk dapat meraih kedudukan sebagai seniora el presidente. WaLlahu a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 1 Agustus 1999