29 Agustus 1999

387. Bukan Marxisnya Yang Rusak, Melainkan Leninisme dan Stalinisme?

Mardiadi Amin dalam tulisannya di Fajar, edisi Kamis 19 Agustus 1999, dalam meluruskan tulisan Hamka Haq mengenai Marxisme, menulis seperti yang dikutip berikut: "Marxisme secara sederhana dapat dikatakan sebagai paradigma teori yang menghantam pertama kali pemikiran kapitalisme dengan segala macam efek negatifnya, yaitu penindasan dan dominasi ekonomi oleh kelas atas terhadap kelas bawah. Oleh karena itu Maxisme bersifat emansipatif bagi kaum lemah, khususnya kaum buruh yang terampas haknya (untuk) keuntungan kalangan borjuis. Hanya saja belakangan ini isme itu dirusak oleh Leninisme dan Stalinisme yang semakin otoriter tanpa kritik, dan menimbulkan bencana di Rusia dan Korea sehingga dibenci orang. Jadi, bukan Marxis-nya yang rusak, melainkan Stalinisme dan Leninisme yang mengadopsi penafsiran Engels dari gagasan Marx", sekian kutipan dengan catatan sisipan (untuk) dari saya, supaya kalimat itu tidak rancu.

Awwalan, saya akan meluruskan secara langsung pelurusan Mardiadi Amin tersebut mengenai "Penafsiran Engels dari Gagasan Marx". Engels bukanlah penafsir ajaran Marx, melainkan mitra (collaborator) Marx. Das Kapital (3 jilid, 1867, 1885, 1895) tak mungkin terselesaikan tampa mitranya, Friedrich Engels. Communist Manifesto (1874) ditulis bersama oleh Karl Marx dan Friedrich Engels.

Tsanian, proses perkembangan ilmu menempuh dua jalan; pertama penumpukan pengetahuan berdikit-dikit yang bertumpu pada paradigma (kerangka) yang sudah ada, kedua ilmu itu berkembang melalui perubahan paradigma. Inti paradigma tersebut ialah pandangan filsafat yang diakui ataupun yang diterima oleh masyarakat ilmuwan untuk kelanjutan aktivitas keilmuan mereka.

Mengenai ilmu ekonomi ada dua pendapat; yaitu perkembangan ilmu ekonomi terutama berlangsung dalam paradigma yang sudah ada, ini menutut George Stigier, sedangkan menurul Wesley Mitchell perkembangan limu ekonomi terutama melalui rentetan perubahan paradigma. Kalau kita kaji Marxisme kelihatannya pendapat Wesley Mitchell lebih benar.

Dalam Das Kapital Marx menghantam sistem kapitalisme dengan teori nilal surplus (surplus value), yang bagi kaum penganut wetenschappeiijke socialisme merupakan sumbangan ilmiyah dari Marx dalam bidang ilmu pengetahuan sosial. Pekerja karena tidak mempunyai apa-apa untuk mempertahankan hidup, menjual dirinya (baca: tenaganya) sebagai komoditas kepada pengusaha. Dalam sistem kapitalisme pengusaha dengan leluasa membeli komoditas itu dengan harga yang serendah-rendahnya. Pekerja dibeli tenaganya seharga misalnya empat sen untuk enam jam, namun pengusaha mempekerjakan buruhnya selama sepuluh jam untuk upah empat sen. Extra yang empat jam dicuri oleh kaum kapitalis dari buruhnya. Inilah nilai surplus itu. Demikianlah menuntut teori nilai surplusnya itu Marx mengatakan bahwa sistem kapitalis itu sangat jahat mengexploitasi ataupun merampok kelas pekerja. Teori ini hanya cocok untuk dipakai dalam bidang propaganda dan agitasi. Namun dari segi ilmiyah, teori itu tidak memperhitungkan teknologi. Para pakar kimia yang membuat pupuk untuk menyuburkan tanah dan para insinyur pertanian yang mengolah tanah, itulah yang dapat melipat-gandakan produksi bahan makanan, ketimbang nilai surplus. Artinya nilai surplus Marx ketinggalan oleh perkembangan teknologi.

Marx membangun paradigma dengan menyontek dari filosof Hegel metode dialektika: these, anti-these, synthese, walaupun Marx penganut filsafat materialisme, sedangkan Hegel penganut aliran idealisme. Metode dialektika ini diaplikasikan Marx dalam mentafsirkan sejarah. Inilah yang disebut dengan materialisme historis (historische materiausme), yaitu tafsiran sejarah dari segi ekonomi.

Sejarah dari semua masyarakat yang eksis menurut Marx dan Engels adalah sejarah pertikaian kelas. Kelas merdeka dengan kelas budak, kelas patrisi melawan kelas plebeyer, bangsawan melawan pelayan, kapitalis melawan proletar, singkat kata antara kelas penekan dengan kelas petekan. Dalam taraf akhir pertikaian itu akan dimenangkan oleb kaum proletar dengan hancurnya negara sebagai lembaga yang diperalat oleh kaum kapitalis untuk menindas kaum proletar. Setelah itu akan terbentuklah masyarakat yang tidak berkelas, merdeka dan sederajat, tanpa adanya negara, semua bekerja menurut kemampuannya dan semua mendapatkan sesuai dengan kebutuhannya, suatu masyarakat utopia (khayal) yang hanya ada dalam angan-angan Marx. Masa antara dari hancurnya negara dengan masyarakat tak berkelas merupakan masa transisi yang dikendalikan oleh diktator proletar yang otoriter.

Memang dalam sejarah ada terjadi proses dialektis seperti misalnya kolonialisme Inggris di benua baru sebagai these, revolusi kemerdekaan Amerika sebagai anti-these dan berdirinya USA sebagai synthese, namun sesudahnya itu USA sebagai negara kapitalis sebagai these, lalu mana anti-thesenya yaitu kaum proletar yang akan menghasilkan synthese terakhir berupa masyarakat tak berkelas? Tidak sampai dalam benak Marx dan Engels tentang beragamnya orang-orang dalam tahap perkembangan ekonomi yang sama, sepenti ras, agama dan kebangsaan. Marx dan Engels tidak memperhitungkan personalitas manusia. Adalah suatu fakta bahwa sejarah tidak pernah dapat ditafsirkan seluruhnya dengan teori wetenshappelijke socialisme Marx dan Engels yang bertumpu pada paradigma filsafat historische materialisme.

Alhasil kegagalan komunisme di Uni Sovyet bukanlah karena Leninisme dan Stalinisme melulu, karena keduanya adalah sub-sistem dari Marxisme dalam hal diktator proletar. Kegagalan komunisme di Uni Sovyet, adalah kegagalan Marxisme. Paradigma historische materialisme invalid dalam mentafsirkan sejarah. Karena paradigma itu invalid, seluruh bangunan teori yang bertumpu pada paradigma tersebut menjadi ambruk, antara lain masyarakat tak berkelas, diktator proletar dan nilai surplus. Pelurusan Mardiadi Amin menjadikan persepsi Marxisme dari Hamka Haq yang telah lurus, malahan menjadi bengkok. Paradigma historische materialisme tempat wetenshappelijke sosialisme bertumpu, sesungguhnya bathil.

-- AN ALBATHL KAN ZHWK (S. BNY ASRAaYl, 17:81), dibaca: innal ba-thila ka-na
zahu-ka (s. bani- isra-i-l), artinya: Sesungguhnya yang bathil itu niscaya lenyap. WaLlahu a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 29 Agustus 1999