15 Agustus 1999

385. Masalah Aceh

Aceh di zaman kolonial Belanda merupakan basis pertahanan terakhir. Bahkan sampai perang dunia kedua masih ada bagian yang belum pernah dijamah Belanda dan juga Jepang. Setelah proklamasi kemerdekaan kabarnya ditemukan komunitas sisa-sisa pejuang yang bermukim di tengah rimba yang belum tahu bahwa Indonesia sudah merdeka, mereka tidak tahu Belanda telah dikalahkan Jepang, dan juga mereka itu tidak tahu bahwa Jepang pernah menduduki Indonesia. Pada zaman revolusi, pedalaman Aceh merupakan satu-satunya daerah yang tidak diduduki Belanda. Rakyat Aceh pernah menyumbangkan kapal terbang kepada Republik Indonesia. Kapal terbang itu diberi nama oleh Bung Karno menurut nama sebuah gunung di Aceh, yaitu Seulawah.

Nilai sub-kultur Aceh sangat menghargai apa yang telah diberikan kepadanya, walaupun hanya sekadar sirih sekapur, sebagai dinyatakan oleh pantun Aceh:

Taek ugle tajakko kaye.
Tinggai peureudeu tempat leuk kutru.
Mebek ta beh-beh rakan teh dile
Tempat ta lake ranup sigapu.
(Bunyi t diucapkan seperti bunyi t-nya orang Bali. Bunyi eu seperti eu-nya orang Sunda dan bunyi S seperti abjad ke-4 huruf Arab, atau bunyi th dalam bahasa Inggeris think).

Pergi ke gunung memotong kayu,
Tinggal perdu tempat balam menekur.
Jangan membuang sahabat yang dulu,
Tempat memperoleh sirih sekapur.

***

Panglima Syamaun Gaharu berhasil mempersuasi Teungku Daud Beureueh turun gunung melalui tawaran (baca: iming-iming) Aceh dijadikan daerah istimewa. (Di Aceh gelar Teungku adalah untuk ulama, sedangkan di Sumatera Timur, yaitu Deli dan Langkat gelar Tengku adalah untuk bangsawan, yang di Aceh disebut Teuku). Kalau Jakarta adalah Daerah Istimewa (DI) dengan ciri-khas ibu kota Republik lndonesia, Yogyakarta adalah daerah istimewa dengan ciri-khas kesultanan, maka Aceh diiming-iming menjadi daerah istimewa dengan ciri-khas Syari’at Islam. Tengku Daud Beureuch pernah menjadi Gubemur Militer Aceh pada zaman Revolusi, kemudian menjadi pimpinan DI-TII (seperti Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di Jawa Barat, Abdul Qahhar Mudzakkar di Sulawesi Selatan dan Ibnu Hadjar di Kalimantan Selatan). Dikatakan di atas Aceh diiming-iming dengan Syari’at Islam, oleh karena tawaran itu tidak pernah dikukuhkan dengan Undang-Undang. ltulah utang lembaga eksekutif dan legislatif terhadap Aceh dan yang paling bertanggung-jawab adalah tentu saja lembaga eksekutif yang memberikan iming-iming itu, yang dalam hal ini adalah Presiden yang pertama, Bung Karno. Jadi isak dan linangan air mata Megawati waktu menyinggung Aceh dalam pidato politiknya mudah-mudahan terbit dari dalam lubuk hati yang dalam, bukan hanya sekadar permainan watak, alias isak dan tangis politik. Sesungguhnya penyebab kemalangan rakyat Aceh, berakar dari tawaran ayahnya sendiri yang hanya dalam kualitas iming-iming.

Seterusnya Presiden yang kedua bahkan melupakan tawaran itu pula. Selanjutnya Presiden yang ketiga, yang menurut Megawati adalah pemerintahan transisi (sebagai Capres sangatlah naif berkata demikian, karena semestinya Megawati harus tahu bahwa itu transisi tidak ada dalam konstitusi), sekarang sedang diusahakan rencana Undang-Undang yang dapat menampung aspirasi rakyat Aceh dalam hal Daerah Istimewa yang berciri-khas Syari’at Islam. Alangkah eloknya usaha yang sedang ditempuh sekarang ini dengan pendekatan politik yang dikukuhkan dengan hukum (baca: Undang-Undang tentang otonomi yang khas bagi DI Aceh) dapat diselesaikan sebelum SU MPR yang akan datang, walaupun, sekali lagi walaupun, banyak kritikan yang dilancarkan bahwa pemerintahan Habibie bersama dengan DPR mengobral pembuatan Undang-Undang.

Undang-Undang mengenai pengukuhan ciri khas provinsi Aceh, sangat perlu dipercepat keluarnya, karena disitulah akar permasalahan kemalangan rakyat Aceh. Perimbangan keuangan pusat dan daerah yang wajar itu perlu, tetapi belum cukup. Itu hanya sekadar upaya taktis, bukan strategis. Kalau Timor Timur, apabila kelompok pro-integrasi yang menang, statusnya adalah provinsi dengan otonomi yang luas, yang secara tersirat mempunyai ciri-khas Katolik Roma, mengapa provinsi Aceh tidak dapat mengatur dirinya dengan ciri-khas Syari'at Islam. Inilah upaya penyelesaian yang strategis.

Bahkan dengan ciri-khas Syari’at Islam itu, dapat menjadi bahan kajian dalam hal sistem perbankan. 0leh karena dengan ciri-khas Syari’at Islam itu di provinsi Aceh kelak hanya diperbolehkan mendirikan bank dengan ciri-khas bank syariah yang bukan dengan sistem bunga melainkan dengan sistem bagi hasil, bank dengan nasabahnya sama-sama menikmati keuntungan dan sama-sama didera oleh kerugian. Dengan kualitas manajerial yang sama dapatlah dibandingkan antara provinsi Aceh dengan provinsi yang lainnya, yang mana lebih sehat antara bank sistem bagi hasil dengan sistem bunga. Yang jelas bank syari'ah tidak memungkinkan dikembangkan perusahaan-perusahaan maksiyat seperti night club, panti pijat, pabrik minuman keras dan lain lain yang berbau maksiyat.

Sekali lagi lembaga eksekutif dan legislatif hendaknya dengan segera mengeluarkan Undang-Undang tentang otonomi yang khas bagi DI Aceh, dan tidak perlu risih dengan kritikan mengobral Undang-Undang. Biarkan ombak kritikan menerpa batu-karang, biarkan anjing menggonggong kafilah lalu, buat Undang-Undang sebelum SU MPR, oleh karena semakin berlarut, situasi semakin bertambah kusut, penyelesaian akan semakin musykil, rakyat Aceh semakin menderita. Insya Allah pemberian status daerah istimewa yang berciri-khas Syari’at Islam dapatlah mengetuk hati petinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) untuk surut langkah kembali ke pangkuan Republik Indonesia dalam iklim Bhinneka Tunggal lka, yang ditekankan pada substansi Bhinnekanya. Sekali lagi secepatnya, sebelum nasi menjadi bubur, sebelum pintu hati petinggi GAM tertutup sama sekali untuk surut langkah.

Allah SWT memerintahkan kepada kita untuk segera mendamaikan dua kelompok yang sedang bertikai, seperti FirmanNya:
-- ANMA ALMWaMNWN AKHWT FASHLhWA BYN AKHWYKM WATQWA ALLH L'ALKM TRhMWN (S. AL hJRAT, 10), dibaca: innamal mu‘minu-na ikhwatun faslihu- baina akhawaikum wattaquLla-ha la'allakum turhamu-n (s. alhujura-t), artinya: Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara, maka damaikanlah kedua (kelompok) saudaramu (yang bertikai). WaLlahu a'lamu bishshawab.

*** Makassar, 15 Agustus 1999