3 Oktober 1999

392. The Singer not the Song

Para demonstran yang menolak RUU PKB produk DPR yang belum disahkan oleh Presiden sesungguhnya tidaklah solid, melainkan terdiri dari beberapa golongan yang mempunyai kepentingan masing-masing.

Golongan pertama, terdiri atas sebagian (bukan semuanya) mahasiswa yang alergi terhadap apa saja yang dianggapnya berasal dari militer. Walaupun RUU PKB (baca: the song) adalah produk DPR, akan tetapi RUU PKB itu dianggap metamorfose (transformasi) dari RUU KKN, sedangkan RUU KKN itu sendiri walaupun secara formal berasal dari pemerintah, namun dianggap dapurnya dari militer (baca: the singer). Jadi dalam hal ini seperti dinyatakan oleh judul di atas the singer not the song. Bukti yang lain bahwa substansi yang diaspirasikan (the song) tidak dperhatikan ialah tuntutan untuk mencabut dwifungsi ABRI. Tuntutan ini sangat menggelikan dan pandir, sebab jika dwifungsi ABRI dicabut, artinya ABRI tidak berfungsi lagi, artinya fungsi ABRI untuk membela negara ikut dicabut pula.

Golongan kedua, terdiri atas kubu Megawati yang menjadikan RUU PKB yang belum disahkan itu sebagai kuda tunggangan politik untuk membidik Habibie. Buktinya, Arifin Panigoro yang dedengkot PDIP terlibat dalam aksi demonstrasi ini, yaitu rumahnya dipakai sebagai markas logistik (termasuk pula batu-batu dan botol-botol berminyak tanah alias bom molotov). Maka dalam hal ini bukan RUU PKB (the song) yang penting, melainkan siapa yang dibidik (the singer). Apapun dan bagaimanapun pidato pertanggung-jawaban (the song) Presiden Habibie, kelak nanti akan ditolak oleh PDIP, karena yang penting bagi mereka ialah menolak Habibie (the singer). Buktinya, ucapan "huuu" yang diucapkan oleh sebagian yang tidak beradab, yang diprotes AM Fatwa menjelang penutupan Sidang Pleno MPR, adalah dari PDIP walaupun mereka secara pengecut menyangkal. Itu menunjukkan benarnya ungkapan the singer not the song. Boleh jadi ada benarnya ucapan Bailusi yang mengatakan bahwa adanya aliran kekuatan komunisme yang kini sedang mencari posisi penguatan dalam tubuh PDIP tanpa mereka sadari memunculkan dirinya dengan gaya preman kampungan yang berteriak huuu itu.

Golongan ketiga, terdiri atas LSM-LSM yang dari dulu memposisikan diri anti pemerintah, berdasar atas pesanan his master's voice yang mendanai mereka. Misalnya seperti Kontrasnya Munir mengapa gerangan hanya berkoar tentang korban-korban orang hilang oleh Prabowo saja? Mengapa menjadi diam seribu bahasa mengenai korban-korban dan orang-orang hilang pada peristiwa Tanjung Priok yang berdarah dan tragis itu yang dilakukan oleh anak buah Trisutrisno sebagai Pangdam Jaya waktu itu? Mengapa memakai nilai ganda? Jawabannya gampang, yaitu berdasar atas pesanan his master's voice yang mendanai (baca: money politics) mereka. Jadi turut sertanya golongan ketiga ini dalam aksi demonstrasi menentang RUU PKB yang sekarang belum disahkan itu juga termasuk dalam hal the singer not the song.

Golongan keempat, terdiri atas golongan radikal kaum kiri (baca: Marxis gaya baru) yang sejak SI MPR yang lalu meneriakkan komite rakyat yang akan membentuk presidium (baca: diktator proletar). Dengan demikian golongan radikal ini tidak menghendaki reformasi melainkan revolusi, sesuai dengan manifesto komunisnya Karl Marx. Golongan radikal inilah yang menjadi biang kerok terjadinya bentrokan dengan petugas keamanan. Dalam hal ini yang patut dipuji Front Pembela Islam yang turun ke lapangan membantu petugas keamanan. Mereka dengan berani terjun di antara demonstran dengan membentuk saf
-- KANHM BNYAN MRSHWSH (S. ALSHF, 61:4), dibaca: kaannahum bunya-num marshu-sh (s. ashshaf), artinya: laksana mereka itu bangunan tembok yang kokoh. Golongan radikal inilah yang mengubah wajah demontran menjadi bringas, sehingga menyebabkan terjadinya bentrokan fisik dengan petugas keamanan, sehingga terjadi korban baik dari pihak demonstran maupun dari pihak petugas keamanan. Bahkan dari semula golongan radikal ini telah mempersiapkan bentrokan fisik yang menimbulkan korban mati dan luka dari kedua pihak. Buktinya, kaum radikal ini telah mempersiapkan ransel di punggung berisi batu-batu dan bom molotov. Kaum radikal ini berhasil menciptakan pertentangan kelas (baca: ajaran Marx) antara mahasiswa dengan militer. Mengenai golongan radikal ini berlaku pula hal the singer not the song. Akan tetapi the singer di sini berbeda. Yang menjadi the singer itu adalah kaum radikal itu sendiri, karena mereka menolak reformasi, menghendaki revolusi sesuai dengan manifesto komunisnya Karl Marx.

Kaum komunis pandai main susup-susupan. Tahun dua puluhan dengan menggunakan saluran "Gerakan Sosialis" dari negeri Belanda pemimpin komunis antara lain Semaun dan Tan Malaka menyusup masuk Syarikat Islam. Setelah pemberontakan tahun 1926 dan 1927 yang persiapannya asal-asalan (tidak matang), banyak pemimpin Islam dan ulama yang ditangkap, sedangkan Semaun dan Tan Malaka secara pengecut melarikan diri keluar negeri. Siapa saja dari ummat Islam yang melawan penjajah Belanda waktu itu dituduh komunis dan dibuang ke Boven Digul.

Kaum komunis pintar memanfaatkan keadaan kritis untuk bergerak. Tatkala Negara Republik Indonesia terdesak dan dalam keadaan sukar, maka pada 18 September kaum komunis menikam rakyat Indonesia dari belakang, seperti Yahudi Bani Quraizhah menikam Negara Kota Madinah dari belakang dalam Perang Parit (Khandaq). Kaum komunis Front Demokrasi Rakyat menikam dari belakang dalam wujud pemberontakan Madiun yang dipimpin oleh Muso dan Amir Syarifuddin. Inilah pemberontakan komunis yang pertama.

Kaum komunis pintar membonceng kekuasaan, yaitu membonceng pada Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno oleh DN Aidit cs dengan PKI-nya yang berujung dengan pemberontakan Gestapu pada 30 September 1965. Inilah pemberontakan komunis yang kedua.

Ada dua golongan dari demonstran anti RUU PKB yang bukan penganut "filsafat" the singer not the song, yaitu golongan preman yang dibayar dan golongan yang ikut-ikutan, seperti contoh yang dikemukakan Amin Rais. Waktu demonstran itu ditanya:
"apa mengerti isi RUU yang didemo itu," mereka menjawab:
"tidak". Serta ditanya lagi:
"mengapa ikut berdemo?," maka mereka menjawab seenaknya:
"ya, sekarang musimnya demo-demoan, ikut ramai saja."

Oleh sebab itu apapun isi RUU PKB yang belum disahkan itu, yang menurut Yusril Ihza Mahendra lebih lunak dari UU No.23, tahun 1959, menurut saya akan tetap didemo, oleh karena para pendemo itu menganut aluran "filsafat" the singer not the song. WaLlahu a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 3 Oktober 1999