10 Oktober 1999

393. Selamat Atas Pak Amin Rais dan Pak Akbar Tanjung

Sebelum mulai masuk ke dalam perbincangan tentang hal substansi seperti judul di atas, akan dikemukakan dahulu sedikit yang tersisa dari Seri 392 sepekan yang lalu, yaitu the Singer not the Song. Ada seorang yang menurut pengakuannya bernama Abdul Hakim menelepon saya sehubungan dengan penyanyi dan bukan nyanyian tersebut. Katanya ia pimpinan sebuah kelompok diskusi. Ia menyatakan diri dan kelompok diskusinya adalah penganut "filsafat" the Singer not the Song. Katanya ia dan kelompok diskusinya selama ini, sejak mempunyai hak pilih, tidak pernah menusuk Golkar dalam Pemilu. Akan tetapi barulah, demikian katanya, ia dan kelompoknya menusuk Golkar dalam Pemilu 1999. Itu disebabkan karena Pak Habibie. Ia menyebutkan pula empat orang tambun, demikian ia memberikan predikat kepada mereka, penganut "filsafat" the Singer not the Song, yaitu Rizal Ramli, Syahrir, Wimar Witular dan AS Hikam. Saya bertanya kepadanya buat apa ia mengemukakan perawakan tambun itu, ia menjawab bahwa itu menandakan mereka hidup makmur selama Orde Baru, selama Golkar berkuasa, artinya keempat orang itu mendapat percikan kemakmuran dari Golkar. (Beberapa hari yang lalu saya menyaksikan adegan Pro dan Kontra di TPI. Di situ saya perhatikan baik-baik perawakan AS Hikam tersebut. Memang betul-betul tambun, lehernya terbenam masuk ke dalam tubuhnya).

Ada hal yang menarik mengapa saya tulis komentar Abdul Hakim ini. Saya perhatikan betul kalimatnya dalam ucapannya di telepon. "Semua anggota kelompok diskusi kami belum ada yang sarjana, jadi wajar-wajar saja kalau kami melihat the singer bukan the song, akan tetapi keempat orang itu semuanya doktor, mengapa bermental a priori terhadap Pak Habibie, ada apa gerangan? Apakah mereka iri karena Pak Habibie seorang pakar kapal terbang dapat menjadi negarawan?" Saya perlu koreksi bahwa hanya ada tiga orang yang doktor, Witular tidak.

***

Selamat atas Pak Amin Rais dan pak Akbar Tanjung. Ada hal yang menarik mengenai melesatnya Pak Amin menjadi orang nomor satu di Republik Indonesia ini. Orang-orang yang a priori terhadap Golkar beranggapan bahwa Pak Amin sudah tercemar oleh virus status quo, berhubung naiknya Pak Amin menjadi Ketua MPR, karena dukungan Golkar. Mengenai hal ini saya teringat akan dialog antara Muammar Qaddafi dengan seorang wartawan orang barat. Wartawan itu bertanya kepada Qaddafi: "Negara tuan adalah negara Islam, mengapa hanyut dalam arus Uni Sovyet yang komunis?" Lalu apa jawab Qaddafi? "Saya akan mengoreksi pertanyaan tuan. Mestinya tuan bertanya: 'Uni Sovyet adalah negara komunis, mengapa tuan dapat menyeretnya ke dalam arus pengaruh Libia yang negara Islam?'

Alangkah eloknya kalau kita itu bersikap husnuzzhan (prasangka baik). Dengan sikap yang demikian itu kita dapat berpersepsi yang positif terhadap kenyataan Pak Amin mendapat dukungan dari Golkar, dengan mengacu kepada dialog Qaddafi di atas itu. Pak Amin adalah tokoh reformasi. Ia mendapat dukungan dari Golkar, artinya para anggota Golkar yang memberikan suaranya kepada Pak Amin sudah menjadi reformis juga.

Masih ada satu ganjalan terhadap Pak Amin. Ada yang menganggap Pak Amin itu rupanya berambisi juga untuk berkuasa. Allah SWT berfirman: WLTKN MNKM AMT YD'AWN ALY ALKHYR WYAMRWN BALM'ARWF WYNHWN 'AN ALMNKR (S. AL'AMRAN, 104), dibaca: Waltakum minkum ummatun yad'u-na ilal khayri waya'muru-na bil ma'ru-fi wayanhawna 'anil mungkar (S. Ali 'Imra-n), artinya: Mestilah ada di antara kamu golongan yang menghimbau kepada nilai-nilai kebajikan dan memerintahkan berbuat baik serta mencegah kemungkaran (S. Keluarga 'Imra-n, 3:104).

Menghimbau di satu pihak dengan memerintahkan serta mencegah di lain pihak mempunyai perbedaan yang menyolok. Kalau yang dihadapi di luar kekuasaan kita, maka kita tidak dapat memerintahkan ataupun mencegah. Kita hanya dapat memerintahkan ataupun mencegah seseorang apabila kita berkuasa atas mereka. Menghimbau dikerjakan oleh organisasi sosial, sedangkan memerintahkan ataupun mencegah dilakukan oleh organisasi politik yang berkuasa melalui lembaga eksekutif. Politik adalah macht vorming (membina kekuasaan) dan macht aanwending (mempergunakan kekuasaan). WLTKN dalam ayat di atas mengandung lam yang menyatakan perintah. Allah memerintahkan supaya ada golongan yang mempunyai kekuasaan untuk memerintah. Jadi Pak Amin tidak salah jika mempunyai keinginan berkuasa, asal saja kekuasaan itu hanya sasaran antara. Sasaran akhirnya, iya itu, amar ma'ruf nahi mungkar.

Tentang terpilihnya Pak Akbar menjadi ketua DPR ada pula yang menarik. Musyawarah untuk mufakat, metode Orde Lama dicoba dipaksakan oleh Ketua sementara MPR Abdul Majid (baca:PDIP). Abdul Majid merujuk kepada Sila keempat. Apa yang dilaksanakan dengan menghimpun ketua-ketua fraksi untuk musyawarah mufakat, sesungguhnya melampaui batas Sila keempat. Permusyawaratan perwakilan (baca para anggota MPR) diubah menjadi permusyawatan wakil-wakil dari perwakilan (baca: ketua-ketua fraksi). Untunglah fraksi PBB dengan gigih menentang cara Orde Lama tersebut, sehingga akhirnya Abdul Majid menyerah, voting dilaksankan walaupun sudah menjelang dini hari. Dikatakan musyawarah mufakat itu cara Orde Lama, karena itu lahir dalam arena politik pada zaman Demokrasi Terpimpin. Waktu itu dalam proses pengambilan keputusan jika tidak terjadi mufakat, maka keputusannya diserahkan kepada Pemipin Besar Revolusi Bung Karno. Itulah makna Demokrasi Terpimpin. Mengapa Abdul Majid (baca PDIP) menjalankan trik musyawarah perwakilan dari perwakilan, sebenarnya orang sudah tahu, PDIP takut kalah lagi dalam voting. Namun perasaan takut ini dibantah oleh Dimyati Hartono. Katanya PDIP tidak pernah takut, terhadap peluru Orde Barupun PDIP tidak takut. Rupanya Hartono ini tidak faham rasa bahasa. Ada yang tidak takut pada badik, tetapi ia takut kepada ketombe, sebab rasa takut kepada badik atau peluru tidak sama dengan rasa takut kepada ketombe, panau, atapun kalah dalam voting. Jujur saja hai Dimyati Hartono! Walla-hu a'lamu bishshawa-b.

*** Makassar, 10 Oktober 1999