17 Oktober 1999

394. Pengamat Politik dan Pemain Politik

Fakhri Ali dalam diskusi yang ditayangkan RCTI mengenai Pidato Pertanggung-jawaban Presiden Habibie mengatakan bahwa banyak orang sekarang asal yang datang dari Pak Habibie ditolak dahulu, kemudian baru dicari-cari alasannya. Sri Mulyani tersinggung, walaupun ucapan Fakhri itu benar, tetapi pahit dirasa oleh Sri Mulyani yang disindir oleh Umar Juaro sebagai bakal Menteri Keuangan jika andaikata Megawati menang. Apa yang dikatakan oleh Fakhri Ali itu secara substansial sama dengan judul Seri 392: The Singer Not the Song. Kalau pemain politik menganut prinsip tolak dahulu kemudian cari alasan masih dapat difahami, walaupun secara etika tidak terpuji. Namun apabila yang menganut prinsip tolak dahulu baru mencari-cari alasan bukan pemain politik melainkan pemain ilmu seperti Sri Mulyani, Rizal Ramli, Syahrir, AS Hikam dan orang-orang LIPI yang dijuru-bicarai oleh Pabottingi yang menyerukan menolak pertanggung-jawaban Presiden Habibie sebelum pertanggung-jawaban itu dikemukakan, maka mereka itu telah melanggar nilai yang esensial dalam dunia ilmu. Lebih baik orang-orang yang disebut namanya tersebut mengikuti jejak Faisal Basri, Pak Amin Rais dll meninggalkan dunia ilmu pengetahuan, berhenti menjadi pengamat politik, lalu terjun ke dalam kacah politik sebagai pemain poltik.

Ada pepatah yang mengatakan untuk melempar orang mudah didapatkan batu. Hal ini tidak berlaku bagi yang berdemonstrasi secara damai, oleh karena di jalan-jalan raya di kota-kota sukar didapatkan batu. Jadi kalau para demonstran yang melempar petugas keamanan dengan batu, berarti batu itu dicari dan dikumpul terlebih dahulu. Itu berarti maksudnya yang semula memang bukan untuk berdemonstrasi secara damai, apa pula jika telah menyediakan botol berminyak tanah. Bagi Sri Mulyani batu yang dipakai melempar itu berwujud ucapan yang mengatakan utang yang ditumpuk sebagai harga menurunkan inflasi dan menaikkan rupiah baru akan terbayar dalam waktu lebih seratus tahun, yang katanya menurut matematika Habibie. Itu bukan matematika Habibie, melainkan matematika khas Sri Mulyani, yaitu matematika kuda bendi. Mata kuda bendi hanya dapat melihat satu arah, yang dalam konteks matematika khas Sri Mulyani, hanya melihat ke arah privatisasi BUMN. Sangatlah naif, ibarat pandangan kuda bendi, jika untuk membayar utang itu hanya mengandalkan privatisasi BUMN. Masih banyak sumber lain yang dapat dipakai untuk membayar hutang, lebih-lebih jika industri sudah marak kembali. Di zaman Orde Lama utang itu sukar dibayar, karena dana itu dipakai untuk keperluan yang konsumtif, bukan yang produktif. Batu pelempar Abimanyu berupa koreksi data dalam pidato pertanggung-jawaban Presiden Habibie mengenai dana rekapitalisasi perbankan sejumlah tiga ratus sekian triliyun. Menurut Abimanyu seharusnya lima ratus sekian triliyun. Batu pelempar Abimanyu itu dijadikan bola besi oleh Sri Mulyani dengan menuduh ada apa gerangan dibalik upaya menyembunyikan jumlah uang dua ratus triliyun tesebut. Batu pelempar Abimanyu yang dijadikan bola besi oleh Sri Mulyani tersebut luluh lantak menjadi abu setelah Menteri Keuangan mengatakan bahwa yang mengatakan lima ratus sekian triliyun itu tidak tahu membaca. Jumlah yang tiga ratus sekian triliyun dalam pidato pertanggung-jawaban tersebut, benar tidak salah, yaitu dana rekapitalisasi tok. Sedangkan yang lima ratus sekian triliyun itu adalah dana rekapitalisasi ditambah dengan uang jaminan. Ini adalah cerita tentang pengamat politik, pengamat ekonomi yang telah meninggalkan nilai esensial dalam ilmu pengetahuan, yaitu bersih dari sikap prejudice.

Sekarang kita beralih kepada pembicaraan tentang para pemain politik. Kita mulai dahulu dengan juru bicara fraksi PDIP dalam memberi sanggahan terhadap pidato pertanggung-jawaban Presiden Habibie. Prinsip tolak dahulu baru mencari alasan dipakai di sini, buktinya jauh-jauh sebelumnya sudah dilontarkan akan menolak pidato pertanggung-jawaban tersebut. Prinsip ini dipakai pula oleh dua fraksi lain yang menolak yaitu fraksi PKB dan KKI. Namun yang sangat disesalkan ialah bentuk kalimat yang penuh gaya sarkasme, semangat kebencian dan penampilan juru-bicara PDIP yang vulgar menunjukkan akhlaq yang rendah dari penyusun sanggahan itu. Berbeda dengan gaya kedua fraksi yang lain yang menolak itu. Sikap keduanya tidak menunjukkan rasa kebencian, tidak bernuansa sarkasme, tidak vulgar. Yang lebih disesalkan lagi juru bicara fraksi PDIP tersebut membuka dengan salam ditambah dengan hamdalah serta salawat segala, yang sangat bertentangan dengan sarkasme, semangat kebencian, vulgar dan tidak berakhlaq itu. Inilah yang memancing haa, huu, haa itu, sedangkan Presiden Habibie kelihatannya senyum-senyum saja, tetap sabar. AN ALLH M'A ALSHBRYN, dibaca: InnaLla-ha ma'ash sha-biri-n, artinya: Sesungguhnya Allah menyertai orang-orang yang sabar. Yang paling simpatik ialah juru bicara dari fraksi PBB. Walla-hu a'lamu bishshawa-b.

*** Makassar 17 Oktober 1999