24 Oktober 1999

395. Selamat Berlalu dan Selamat Datang

Selamat berlalu kepada Kabinet Reformasi Pembangunan yang hanya seumur jagung. Kepada sahabat saya Rudy Habibie yang telah menakodai bahtera Republik Indonesia selama hanya 518 hari, saya ucapkan selamat menunaikan tugas mulia, telah mencegah karamnya bahtera ini. Pertanggung-jawaban anda telah ditolak oleh MPR hanya permainan lawan-lawan politik anda dengan selisih suara yang tidak signifikan. Insya-Allah, palu godam sejarah akan menilai bakti anda itu dengan adil. Karena sesungguhnya susbstansi yang paling esensial yang anda telah berhasil tunaikan ialah telah mencegah karamnya bahtera ini, bukanlah berupa pidato yang ditolak itu. Dan di atas segalanya Allah SWT Yang Maha Adil niscaya menilai dengan sangat adil di Hari Pengadilan.

Saya teringat akan goresan disket yang pernah ditulis beberapa tahun lalu oleh Ishak Ngelyaratan, yang rupanya seorang pengamat bunga yang teliti, tentang bunga mawar dan bunga melati. Berhubung karena hanya bertumpu pada ingatan, maka matannya (redaksionalnya) tentu berbeda dengan tulisan Ishak, namun isinya tidak menyimpang. Bunga mawar lama bertahan di pohon. Baunya telah lama hilang, namun bunganya tetap segar, lambat layu. Setelah layu bunganya gugur dihadang dan ditusuk oleh duri-duri pohon mawar. Bunga melati tidak lama bertahan di pohon. Namun baunya tetap semerbak walaupun telah gugur. Bunganya dirangkai untuk menghias dan mengharumkan yang memberikan inspirasi tergubahnya sebuah lagu: Rangkaian Melati.

H.M.Soeharto ibarat bunga mawar lama bertahan di pohon kekuasaan. Baunya yang harum berwujud jasa menghancurkan komunisme. Bau itu telah lama hilang ketimbang usianya di atas pohon kekuasaan. Setelah layu dilengserkan, ia ditusuk duri pohon (baca: hujatan rakyat). Sahabat saya Rudy Habibie ibarat bunga melati. Ia dipetik rakyat dalam wujud penolakan Pidato Pertanggung-jawaban oleh MPR, namun baunya tetap semerbak dalam wujud kemerdekaan berserikat dan berkumpul serta kebebasan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan (UUD-45, Bab X, psl 28) dan Pemilihan Umum 1999 yang diukir oleh sejarah.

Bagi mereka yang tidak senang kepada B.J. Habibie dewasa ini, karena menganggap Habbie tidak berhasil memberantas KKN, lamban mengusut KKN Soeharto, kelak insya-Allah dikemudian hari hati nuraninya akan berkata seperti ungkapan kelong (syair Makassar) di bawah ini:

Niyattonja antu sallang,
nanuboya' ri pa'mai'
Nanu paccei,
rewasa le'ba' laloa

Kelak waktunya akan datang,
engkau cari aku dalam hatimu
Engkau kenang,
hari-hari yang telah berlalu

Kepada sahabat saya Rudy Habibie saya sampaikan pesan dari langit: FADZA FRGHT FANSHAB. W ALY RBK FARGHB (S. AL ANSYRAH, 7-8), dibaca: Faidza faraghta fanshab. Wa ila- rabbika farghab (S. Al Insyira-h), artinya: Apabila engkau telah selesai mengerjakan suatu pekerjaan, berupayalah mengerjakan yang lain. Dan kepada Maha Pemeliharamu engkau berharaplah (94:7-8)

***

Kemudian dari pada itu saya ucapkan selamat kepada pendatang baru, Presiden Abdurrahman Wahid dan Wapres Megawati Soekarno Puteri. Sementara saya menulis kolom ini di monumen Mandala Jalan Jenderal Sudirman sekitar antara dua belas sampai enam belas ribu mahasiswa memproklamasikan sebuah negara merdeka. Sesungguhnya ini adalah ekses, puncak kekecewaan mahasiswa di negeri Makasaar ini terhadap sikap ataupun cara pandang kebanyakan anggota MPR dan pengerahan massa PDIP dari luar kota ke Jakarta. Mahasiswa di tanah Makassar ini kecewa karena kebanyakan anggota MPR yang berembuk di dalam ruang hanya memperhatikan pula masyarakat di luar ruang sidang yang dianggapnya itulah suara rakyat di lapangan, yang artinya menganggap Jakarta itu identik dengan Indonesia. Mereka yang bersidang itu lupa bahwa di samping di luar gedung, ada pula yang disebut di seberang laut. Mahasiswa di tanah Makssar ini jengkel kepada demonstran mahasiswa seperti Forkot dan kamerad-kameradnya yang mencaplok mempertas-namakan mahasiswa Indonesia. Mahasiswa di tanah Makassar ini jengkel kepada demonstran PDIP yang dikerahkan dari luar kota menjadi pressure group bagi peserta sidang MPR.

Nasi belum menjadi bubur, pemerintah boleh jadi masih dapat mengadakan upaya persuasif untuk secara meredam emosi yang meluap di tanah Makassar ini. Sayangnya kabinet belum terbentuk untuk mengadakan upaya persuasif itu. Ini merupakan pekerjaan rumah yang pertama yang cukup berat bagi kabinet yang akan dibentuk itu.

Boleh jadi Ketua MPR Prof Amin Rais elok berkunjung ke tanah Makassar ini berdialog dengan mahasiswa di sini untuk mencari penyelesaian, yang berupa win-win solution. Ibarat menarik ramput dalam tepung, rambut tidak putus tepung tidak beserak. Boleh jadi gagasan Marwah Daud Ibrahim waktu menginterupsi merupakan solution yang terbaik, yaitu dua orang Wapres, Megawati dan Hamzah Haz. Supaya konstitional, maka ketentuan MPR sekali setahun bersidang gagasan Marwah Daud dapat dikonstitusionalkan berupa Tap MPR. Pada pihak lain mahasiswa dapat menahan diri kembali ke kampus, dan sekali-sekali keluar berunjuk rasa untuk mengingatkan petinggi-petinggi, elit-elit politik. Adalah tugas Pak Amin Rais untuk melakukan persuasi terhadap anak-anak kita mahasiswa yang tercinta. Walla-hu a'lamu bishshawa-b.

*** Makassar, 24 Oktober 1999