17 Oktober 1993

099. Memerdekakan Sains dari Atheisme dan Agnostisisme.

Menuju Satu Sistem Pendekatan Ayat Qawliyah-Kawniyah
Atheisme adalah faham yang menolak tentang adanya Tuhan. Lembaga pendukungnya berupa negara komunis USSR, yang sekarang sudah mantan, selama sekitar 70 tahun tampil di panggung dunia dan sempat menjadi salah satu raksasa. Sebelumnya di Indonesia lembaga pendukung atheisme yaitu PKI telah hancur 28 tahun lalu. Sungguhpun lembaga pendukung itu sudah lenyap, namun atheisme ini masih kuat kukunya mencengkeram sains tanpa disadari betul oleh para pakar apa lagi yang bukan pakar.

Agnostisisme adalah faham yang tidak mau pusing tentang Tuhan. Bagi mereka yang menganut faham ini adanya Tuhan ataupun tidak adanya Tuhan bukanlah masalah yang harus diseriusi. Faham ini tidak didukung oleh yang melembaga tetapi secara sporadis didukung oleh para filosof seperti misalnya Betrand Russel. Sama dengan atheisme, agnostisisme ini juga erat mencekik sains.

Pokok kepercayaan dalam dunia ilmiyah disebut dengan postulat. Keseragaman di alam raya ini adalah sebuah postulat dan itu merupakan asas filsafat dalam dunia ilmiyah. Postulat tentang keseragaman di alam raya ini dalam dunia ilmiyah yang tidak mau tahu tentang Tuhan, yang diwarnai oleh atehisme dan agnostisisme, sama sekali tidak ada dasarnya, karena diterima begitu saja, tanpa alasan apa-apa.

Sebagai ilustrasi, kalkulasi matematis Einstein tentang gravitasi dengan aljabar tensor, ada 20 koefisien gravitasi yang disebut koefisien kelengkungan (coefficients of curvature). Kalau semua koefisien itu nol berarti geometri ruang-waktu datar, gravitasi tidak ada. Kalau semua harga koefisien kelengkungan itu sembarangan maka gravitasi juga akan bekerja sembarangan, artinya tidak ada keteraturan di alam ini. Einstein memilih tengah-tengahnya, 10 koefisien yang nol, dan 10 koefisien yang sembarangan. Ini memberikan hasil geometri ruang-waktu tidak datar dan gravitasi diikat hukum tertentu dan berlaku di mana-mana di dalam geometri ruang-waktu. Kita mempunyai asusmsi bahwa Einstein percaya akan adanya Allah Yang Maha Pencipta dan Maha Pengatur. Namun Einstein tidak mengaitkan suatu apapun kepada Allah tentang keseragaman dan keteraturan hasil ciptaanNya dalam Teori Relativitas Umumnya, karena Einsteinpun taat pada warna ilmu yang memihak kepada golongan atheist agnostik, tidak boleh menyebut-nyebut Allah dalam sains.

Jika sains itu berasaskan tawhid, Allah Maha Esa dalam zatNya, Maha Esa dalam oknumNya, Maha Esa dalam sifatNya dan Maha Esa dalam PerbuatanNya, maka prinsip keseragaman, keuniversalan dan keteraturan alam semesta di alam raya ini kuat dan logis landasannya. Artinya Allah SWT Yang Maha Esa, sebagai Al Khaliq sebagai Maha Pencipta dan Ar Rabb, Maha Pengatur, Maha Esa dalam perbuatanNya, membawa konsekwensi logis kuatnya landasan tentang keseragaman dan keteraturan alam semesta. Jadi Pendekatan Ilmiyah itu barulah kuat landasan dan titik tolaknya, apabila Pendekatan Ilmiyah berpangkal tolak dari Tawhied. Dunia ilmiyah harus dimerdekakan dari cengkeraman faham-faham atheist dan agnostik.

Pada kutub yang lain pemahaman Al Quran, yatafaqqahu fi ddiyn, sudah berhenti dalam tahap ijtihad di bidang hukum atau penafsiran di luar bidang hukum. Hanya berhenti dalam keadaan status quo, menurut qaul si fulan begini dan menurut qaul si fulan yang lain begitu. Sebagai contoh yang sangat sederhana ialah kasus SDSB. Sudah berhenti dalam tahap perumusan status quo: Ada faqih (pakar di bidang fiqh), yaitu Prof.DR. K.H.Ibrahim Hosen, yang Ketua Komisi Fatwa MUI mengatakan SDSB itu bukan judi, jadi tidak haram. Namun sejumlah faqih lain mengatakan SDSB itu judi, jadi haram. Inilah suatu keadaan status quo, yang tidak memecahkan permasalahan, mengendap dalam qala wa qiela. Di sinilah kelemahan pendekatan yatafaqqahu fi ddiyn dalam Ilmu Fiqh, yaitu tidak melanjutkan tahap ijtihad itu ke tahap ujicoba. Buat penelitian dari segala segi oleh lembaga yang independen dari lembaga pengelola SDSB itu. Penelitian itu harus menyangkut dari banyak segi seperti misalnya antara lain pengaruhnya terhadap prestasi oleh raga, kesehatan mental masyarakat dari penyakit pola pikir spekulatif dan khurafat, peredaran uang, etos kerja keras, kriminalitas dan lain-lain. Kemudian hasil penelitian itu dirujukkan pada kriteria Al Quran. Kalau mudaratnya lebih banyak dari manfaatnya maka itu adalah judi dan dalam hal ini haram hukumnya.

Al Quran tidak membedakan pengertian ayat, baik yang dimaksud dengan isi Al Quran, yang disebut dengan ayat Qawliyah (terucap), maupun yang dimaksud dengan alam, yang disebut dengan ayat Kawniyah (kosmologik). Dalam kedua ayat di bawah ini jelas Al Quran tidak membedakan pengertian ayat, baik sebagai ayat menyangkut isi Al Quran, maupun ayat tentang alam.
-- Wa laa tasytaruw bia-ya-tiy tsamanan qaliylan, dan janganlah engkau menjual ayat-ayatKu dengan harga murah (S. Al Baqarah, 2:41) Wa yunazzilu mina ssama-i ma-an fayuhyiy bihi l.ardha ba'da mawtihaa inna fiy dza-lika laa-ya-tin liqawmin ya'qiluwn, dan diturunkanNya hujan dari langit, dan dengan itu dihidupkanNya bumi sesudah matinya, sesungguhnya dalam hal ini adalah ayat-ayat bagi kaum yang mempergunakan akalnya (S. Ar Ruwm,24).

Jadi baik isi Al Quran maupun alam semesta adalah sumber informasi, suatu fakta yang tak boleh diragukan. Kedua sumber informasi itu berasal dari Allah SWT, Sumber dari segala sumber. Dalam bahasa Indonesia dan juga bahasa lain kata ayat ini tetap dipakai, tidak usah diterjemahkan. Maka orang akan memfokuskan minatnya menghilangkan polarisasi pendekatan terhadap ayat Qawliyah dengan yang Qawniyah, melebur keduanya menjadi satu sistem, yaitu Pendekatan Qawliyah-Kawniyah, seperti berikut:

a. berlandaskan tawhid,
b. bertolak dari sikap ragu terhadap pemikiran manusia,
c. pengamatan,
d. penafsiran,
e. ujicoba.

Hasil pengamatan ditafsirkan. Penafsiran membuahkan teori. Teori adalah hasil pemikiran manusia, dan itu perlu diragukan, artinya belum tentu benar. Jadi harus diujicoba, yaitu dengan jalan merujukkannya pada sumber informasi, yaitu ayat Qawliyah dan Kawniyah. Ujicoba penafsiran Al Quran dirujukkan pada ayat-ayat Al Quran yang lain dan bila mungkin dirujukkan pula pada ayat-ayat alam. Demikian pula ujicoba terhadap penafsiran alam dirujukkan kepada ayat-ayat alam yang lain, dan bila mungkin dirujukkan kepada ayat Al Quran.

Hari Ahad lalu kita sudah tuliskan bagaimana teori evolusi itu diberi nilai tawhid, itu artinya kita sudah memakai metode Pendekatan Qawliyah-Kawniyah tahap awal, berlandaskan tawhid. Juga dalam tulisan tersebut, teori evolusi itu dijadikan ilmu bantu dalam memahami S.Al A'la, 2. Dari sisi lain itu berarti teori evolusi itu diujicoba dengan merujukkannya pada sumber informasi ayat Qawliyah S.Al A'la: Alladziy khalaqa fa sawwa-, yaitu Yang mencipta lalu menyempurnakan.

Namun perlu ditekankan di sini, bahwa tentu tidak semua ijtihad dan penafsiran itu dapat diujicoba, baik itu terhadap sumber informasi wahyu, yang Qawliyah, maupun terhadap sumber informasi alam, yang Kawniyah. Dalam hal ijtihad yang tidak dapat diujicoba merujuk pada ayat Qawliyah dan Kawniyah, maka ijtihad yang berbeda itu ibarat pakaian, dipakai dalam situasi yang cocok, ibarat pakaian tebal dipakai pada musim dingin, dan pakaian tipis dipakai pada musim panas.

Catatan: Seri ini adalah lanjutan dan sasaran akhir dari kedua seri sebelumnya, yaitu Teori Evolusi dan Allah Mencipta lalu Menyempurnakan. Maka eloklah kiranya ketiga seri tersebut dibaca berkesinambungan. WaLlahu a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 17 Oktober 1993