31 Oktober 1993

101. Air Mengalir Sampai Jauh

Utilitarianisme adalah suatu doktrin yang mengajarkan bahwa semua tindak tanduk mestilah bertumpu pada asas kemanfaatan. Bahwa yang asas kemanfaatan ini tidak selamanya seiring, bahkan lebih sering bertabrakan dengan Hak Asasi Manusia, itu banyak terjadi dalam pergolakan dunia.

Sebelum lanjut akan ditulis sedikit catatan pinggir yang menyangkut ejaan. Yaitu huruf A dalam HAM. Sering-sering kita dengar ataupun baca ucapan ataupun tulisan yang hiperkorek: azas, adakalanya azaz, sekali-sekali ajas. Tidak percaya? Bacalah makalah, reportase, artikel, dengarlah ucapan pemakalah, peserta diskusi dan the man on the street. Itu namanya hiperkorek,
keliwat korek. Dikiranya karena asas itu dari bahasa Arab, maka s itu mesti dikoreksi, menjadilah ia z. Padahal dalam bahasa Arab sendiri bukan z, melainkan terdiri atas akar kata yang dibentuk oleh huruf-huruf alif, sin, sin. Maka pakailah bahasa Indonesia yang baik dan benar. Bukan azas, bukan pula azaz dan lebih-lebih lagi bukan ajas, melainkan asas.

Semua mengatakan bahwa perbuatan etnik barbar Serbia itu biadab, melanggar HAM, bahkan kita yakin dalam hatinurani orang Serbia sendiri akan mengakui bahwa perbuatannya itu sesungguhnya biadab, melanggar HAM. Kita tentu sepakat jika mengatakan bahwa tindakan Amerika Serikat berbaju PBB berupa boikot ekonomi terhadap Iraq dan Libia, tindakan rejim Saddam Husain menganeksasi Kuwait bertentangan dengan HAM. Lalu mengapa mesti terjadi juga? Sebabnya ialah oleh karena terjadi benturan antara HAM dengan utilitarianisme yang dikemas dengan atau berbaju kepentingan nasional.

Jadi harus ada hirarki tata-nilai, yang apabila terjadi bentrokan, yang dimenangkan adalah hirarki yang lebih tinggi. Dalam ajaran Islam hirarki tata-nilai itu dapat kita simak dari Firman Allah, S. Al Hjura-t, 13:

Ya-ayyuha nNaasu innaa Khalaqna-kum min Dzakarin wa Untsaa wa Ja'alna-kum Sy'u-ban wa Qabaaila li Ta'aarafuw Inna Akramakum 'inda Lla-hi Atqaakum, ... artinya: Hai manusia, sesungguhnya Kami ciptakan kamu dari laki-laki dan perempun dan kujadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk saling mengenal. Bahwa sesungguhnya yang paling mulia di antaramu di sisi Allah ialah yang lebih taqwa, ...

Jelaslah bahwa dalam hirarki tatanilai menurut Al Quran, nilai kemanusiaan lebih tinggi kedudukannya dari nilai kebangsaan. Dalam nilai kemanusiaan kedudukan laki-laki dan perempuan sejajar.

Nilai kebangsaan lebih tinggi kedudukannya dari nilai etnik. Namun yang paling tinggi dalam hirarki tatanilai itu adalah nilai Tawhid. AlhamduliLlah para perumus Piagam Jakarta mengikuti hirarki tatanilai Al Quran. Piagam Jakarta yang terdiri atas 4 alinea, yang merupakan konsep Pembukaan UUD-1945, memperbaiki hirarki tatanilai yang dikonsepakan Mr Moh. Yamin (1-3-2-4-5),
memperbaiki yang dikonsepkan Ir Soekarno (3-2-4-51).

Maka dengan hirarki tatanilai itu jika terjadi bentrokan antara kepentingan kemanusiaan dengan kepentingan nasional, yang dimenangkan haruslah nilai kemanusiaan. Yang berarti apabila terjadi bentrokan antara HAM dengan doktrin utilitarianisme, yang dimenangkan ialah HAM.

***

Lalu apa hubungannya dengan judul di atas, Air Mengalir Sampai Jauh? Dunia periklanan memakai asas kemanfaatan ini. Promosi tentang pipa PVC (poly-vinyl-chlorid) memanfaatkan kalimat Air Mengalir Sampai Jauh dari Bengawan Solonya Gesagng. Saya tidak tahu apakah perusahaan periklanan yang membuat reklame promosi pipa PVC itu memberikan imbalan kepada Gesang? Kalau tidak, itu berarti pembajakan atau sekurang-kurangnya bertentangan dengan Hak Asasi Seniman, bagian dari Hak Aasasi Manusia.

Padahal kalau kita simak lagu Bengawan Solo gubahan Gesang ini intinya bukan pada Air Mengalir Sampai Jauh, melainkan lebih luas wawasannya, yaitu pada Lingkungan Hidup. Gesang adalah seorang seniman yang sadar, yang berwawasan Lingkungan Hidup. Dengarlah:

Bengawan Solo
Riwayatmu ini
Sedari dulu jadi
Perhatian insani

Di musim kemarau
Tak s'brapa airmu
Di musim hujan
Air meluap sampai jauh

Mata airmu dari Solo
Terkurung Gunung Seribu
Air mengalir sampai jauh
Akhirnya ke laut

Itu perahu
Riwayatnya dulu
Kaum pedagang lalu
Slalu naik itu prahu

Cobalah perhatikan bait maupun bagian-bagin bait yang dicetak tebal. Gesang meratapi keadaan Bengaan Solo di masa kini, riwayatmu ini. Keadaan Gunung Seribu sekarang yang sudah gersang menyebabkan hulu Bengawan Solo tidak lagi mampu menyerap hujan. Kalau musim kemarau air Bengawan Solo sudah kurang karena pada waktu hjan air di hulu Bengawan Solo itu lebih banyak mengalir dari yang diserap Gunung Seribu, sehingga di musim hujan air Bengawan Solo banjir, meluap sampai jauh.

Tidak seperti dahulu riwayatnya dulu. Bengawan Solo menjadi lalu-lintas air, karean sepanjang tahun keadaan air Bengawan Solo, perbedaan antara permukaan air sungai pada waktu kemarau dengan di musim hujan tidak seberapa. Demikianlah Analisis Lingkungan Gesang yang dituangkan dalam syair lagu Bengawan Solo. Kasihan Gesang, apa yang dicoba diungkapkannya tentang perubahan lingkungan Bengawan Solo antara riwayatmu ini dengan riwayatnya dulu terpupus oleh doktrin ultilitarianisme dunia periklanan.

Itu baru sebuah contoh bagaiamana dunia periklanan dengan doktrin asas kemanfaatan itu. Yang paling memuakkan tubuh perempuan untuk promosi, dan juga tak terlepas dari ucapan berselera rendah: "Cowok-cowok pada menempel kaya' perangko".

Lagi-lagi catatan pinggir, mengenai istilah perempuan yang saya pakai di atas, mengapa saya tidak memakai istilah wanita. Perempuan adalah istilah asli Melayu, Batak, Jawa, Luwu, Selayar. Asal katanya empu. Empu jari bagian jari yang utama. Tanpa empu jari kita tidak mampu memegang. Empu dalam bahasa Melayu berarti tuan, perempuan berarti yang dipertuan. Ompu adalah gelar kemuliaan orang Batak. Si Singa Mangaraja juga bergelar Patuan Ompu Pulo batu. 'Mpu adalah gelar kehormatan orang Jawa, seperti 'Mpu Tantular. Opu adalah gelar bangsawan orang Luwu dan Selayar. Jadi perempuan bermakna yang dipertuan, yang dihormati, yang utama, yang memegang peranan. Sedangkan wanita? Berasal dari bahasa Sangsekerta vanita, artinya yang dimiliki. Vanita, wanita, banita lalau terjadi gejala pertukaran konsonan n dengan t, menjadilah betina, yang hanya khusus untuk binatang. Sayangnya makna milik dari vanita ini jadinya merasuk ke dalam empu, yang sekarang sudah bearti milik.

Jadi tidak mesti kebudayaan Hindu (baca Sangsekerta) lebih beradab dari kebudayaan asli Indonesia. Bahasa menunjukkan kemuliaan, keberadaban bangsa.

*** Makassar, 31 Oktober 1993