Ada sebuah alat penggiling tradisional, terdiri atas dua susun batu-giling, bagian atasnya diputar dengan tangan, mempunyai lubang kecil tempat memasukkan butir-butir jagung. Alat itu dipakai untuk anggiling tette’. Perputaran bagian atas menyebabkan butir-butir jagung yang dimasukkan ke dalam lubang tersebut tergiling pecah-pecah di antara kedua batu giling itu.
Tette’ adalah jagung yang digiling dalam butir-butir kecil sebesar butir beras. Tette’ dari jagung pulut dimasak bercampur beras, menghasilkan nasi yang aromanya sedap sekali saya rasa hingga sekarang ini. Oleh-oleh yang paling berharga dari keluarga yang datang dari kampung adalah tette’ jagung pulut dan terasi Selayar, yang diproduksi secara olahan tradisional di kampung nelayan Kahu-Kahu di pulau Pasi’, sebuah pulau kecil di depan Benteng, ibu kota Kabupaten Selayar. Nelayan di kampung Kahu-Kahu sejak dahulu kala telah melaksanakan tri-korisepsi butir ketiga: petik, olah, jual. Tangkap ebi (udang kecil, ambaring), olah menjadi terasi, jual. Nelayan Kahu-Kahu tidak pernah menjual ambaring, mereka menjual terasi. Terasi produksi Kahu-Kahu ini tidak seperti terasi biasa yang pada umumnya dipakai sebagal bumbu, melainkan terasi Kahu-Kahu ini berfungsi sebagai lauk. Cara masaknya, attanakko minynya’, tanaklah minyak, sesudah minyak hampir jadi, masukkanlah terasi Kahu-Kahu ke dalamnya yang telah dilumat bersama bumbu asam, lombok dan bawang. Sangat sedap jika dimakan dengan nasi tette’ jagung pulut dimasak bercampur beras, jauh lebih sedap dari Kentucky ataupun California Fried Chicken.
Tertitip pesan kepada Pemda dan DPRD Selayar, agar industri rumah tangga mengolah terasi dengan teknologi tradisional ini dijadikan cagar budaya, dikukuhkan dengan Perda. Termasuk yang di-Perda-kan ialah lahan-laut dicagar dan nelayan-nelayan pendatang yang mendesak nelayan setempat, seperti liputan RCTI pada han Ahad pagi yang lalu, 22 Desember 1996. Kalau di Jakarta ada cagar budaya di Condet, maka di Selayar juga elok kiranya ada pula cagar budaya di Kahu-Kahu. Lokasi yang disarankan untuk dijadikan cagar budaya itu dekat tempat benda-benda bersejarah gong (nekara) perunggu raksasa, yang dahulu menjadi gaukang (arajang, atribut kerajaan) dari Kerajaan Puta Bangung dan jangkar besar. Cagar budaya dan benda bersejarah adalah obyek wisata-budaya. Di kepulauan Rajuni(Tijger Eilanden) membentang taka’ (tenumbu-karang) yaltu Taka’ Bonerate, Taman Laut Nasional yang masih luas, yang indah permai. Menurut siaran RCTI, Taman Laut Taka’ Bonerate lebih indah dari Taman Laut Bunaken di Sulawesi Utara. Taman laut, adalah obyek wisata-rekreasi yang perlu pula di-Perda-kan untuk mencagar daerah wisata itu dan kontaminasi pelacuran terselubung yang biasa ikut nunut dalam dunia pariwisata.
***
Dalam ilustrasi di atas ada dua ungkapan kita temui: anggiling tette’, menggihing tette’ dan attana’ minynya’, bertanak minyak. Dari kedua ungkapan itu dapat kita simak pola pikir yang empunya bahasa, yaitu berorientasi luaran (output oriented). Bukan pola pikir orang Selayar saja yang demikian. Menanak nasi, mannasu nanre (Bugis), appallu kanre (Selayar, Makassar), miapi ande (Mandar), mannasu bo’bo’ (Toraja), masak airpanas, appallu je’ne’ bambang, mannasu wae pella, miapi wae loppa, semua itu menunjukkan pola pikir yang berorientasi luaran. Pola pikir ouput oriented ini seirama dengan gaya management by obejectives.
Mungkin ada yang menyanggah, bagaimana dengan rumah sakit, bukankah itu berorientasi pada masukan (input oriented)?. Ungkapan rumah sakit, bukanlah ungkapan asli Indonesia, melainkan ungkapan tersebut diserap dari bahasa Belanda, zieken huis (ziek = sakit, huis = rumah): Jadi semestinya kalau mau konsisten berpola pikir Indonesia, bukanlah rumah sakit, melainkan rumah sehat. Orang sakit yang mulai masuk rumah sehat secara psikologis sudah terobati dengan kata sehat.
Dari segi matematika bangsa Indonesia memakai sistem desimal (puluhan), berdasar atas jumlah jari tangan. Hampir semua bangsa di dunia ini memakai sistem puluhan, kecuali suku bangsa yang mendiami pulau-pulau di selat Torres (antara Australia dengan Irian) yang dalam berhitung memakai sistem duaan, berdasar atas jumlah tangan. Nama Torres ini diserap oleh bidang hukum agraria, yaitu Sistem Torres, salah satu sistem pendaftaran tanah. Komputer digital juga memakai sistem duaan (binary sistem), berdasar atas menyala dan padam (on dan off). Dua bilangan sebelum sepuluh menunjukkan pula pola pikir yang sama di antara suku bangsa Indonesia. Angka 9 disebut tsikurieung (Aceh), artinya satu kurangnya (dari sepuluh). Sembilan (Melayu, Indonesia) artinya se-ambil-an, diambil satu (dari sepuluh). Salapan (Sunda), salapang (Makassar), artinya se-alap-an, dialap satu (dari sepuluh). Alap sinonim dari ambil, kelapa sinonim dengan kerambil kalau ditelusuri berasal dari ke-alap dan ke-ambil. Dahulu bahasa surat kabar untuk pencuri sepeda disebut alap-alap sepeda. Asera (Bugis), alai se’di, artinya ambil satu (dari sepuluh), (fonem r dan d dalam kata-kata: sera, se’re, se’di mempunyai makhraj (artikulasi) yang sama, yaltu ujung hidah ke langit-langit,bandingkan gendang dengan ganrang). Kaassa (Selayar), artinya yang keesa (sebelum sepuluh). Amessa (Mandar), alai mesa, ambil satu (dari sepuluh). Kasera (Toraja), artinya yang kese’re (sebelum sepuluh). Angka 8 disebut delapan (Aceh, Melayu, Sunda), artinya dua-alap-an, dialap dua, diambih dua (dari sepuluh), arua (Bugis, Mandar)) artinya alai rua, ambil atau alap dua (dari sepuluh), karua (Toraja, Selayar), artinya yang kedua (dari sepuluh).
Demikianlah kita telah menyimak sekapur sirih dalam hal aktualisasi nilai agama liTa’a-rafuw dalam ayat: wa Jaalnakum Syu’uwban wa Qaba-ila liTa’a-rafuw (S. Al Hujura-t, 13), dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk sahing mengenal (49:13), dalam konteks promosi daerah wisata dan memperkenalkan pola pikir suku-bangsa Indonesia. Suatu cakrawala tersendiri dalam makna beragam suku bangsa dalam kesatuan pola pikir: berorientasi luaran dan pernyataan bilangan 8 dan 9. Berhitung dan memasak adalah berpikir dan berbuat yang mendasar dalam peradaban. WaLlahu A’lamu bi shShawab.
*** Makassar, 29 Desember 1996
29 Desember 1996
[+/-] |
255. Agar Saling Kenal |
22 Desember 1996
[+/-] |
254. Mengapa Iman dan Ilmu, Bukan Iman dan Taqwa? |
Saya telah beberapa kali menerima telpon yang menganjurkan agar ungkapan iman dan ilmu bagian judul kolom ini diganti dengan ungkapan iman dan taqwa supaya lebih kena. Sebermula menurut hemat saya cukup saya layani saja melalui telpon, akan tetapi karena saya menerima beberapa kali anjuran yang sama, maka lebih efisien jika saya menjawab anjuran itu secara terbuka. Jadi tidak perlu lagi saya menyediakan waktu untuk berdialog melalui telpon, sekiranya jika masih ada yang ingin memberikan anjuran mengenai iman dan taqwa. Lagi pula dengan secara terbuka ini, mereka yang mempunyai pendapat yang sama untuk mengubah judul akan tetapi segan untuk memberikan anjuran, dapatlah pula terlayani.
Besar perkiraan saya mereka itu belum sempat membaca Seri 021 berjudul Puasa Meningkatkan Diri dari Beriman Menjadi Taqwa, Mengapa?, Seri 147 berjudul Iman dan Taqwa?, Seri 167 berjudul Beriman dan Beramala Shalih Menuju Taqwa, Apakah Tolok Ukur Keberhasilan Puasa?. Atau barangkali telah membacanya akan tetapi kurang komunikatif baginya, sehingga belum atau tidak memahami pendirian dan pemahaman saya bahwa ungkapan iman dan taqwa yang disingkat dengan Imtaq, yaitu mensejajarkan iman dengan taqwa sesungguhnya tidak benar menurut Al Quran. Maka dengan demikian sudah tentu saya tidak dapat menerima saran yang menganjurkan agar ungkapan iman dan ilmu dari bagian judul kolom ini diganti dengan iman dan taqwa.
Agar jelas, maka berikut ini saya memakai gaya tanya jawab untuk menjelaskan berdasarkan dalil ayat-ayat Al Quran ketidakbenaran ungkapan iman dan taqwa yang mensejajarkan antara iman dengan taqwa. Seperti biasa ayat-ayat itu saya tuliskan pula aslinya dalam bahasa Al Quran. Hal ini perlu saya tegaskan, oleh karena saya juga menerima anjuran agar tidak perlu menuliskan ayat-ayat itu dalam bahasa asalnya, cukup terjemahannya saja. Saya akan tetap menuliskan ayat-ayat itu dalam bahasa asalnya untuk menjaga apabila ada kesalahan dalam terjemahan itu dapat dikoreksi oleh khalayak. Kesalahan terjemahan itu dapat saja terjadi, buktinya pembawa acara Isra dan Mi'raj di Masjid Istiqlal baru-baru ini tidak membaca S. Isra ayat 1 dalam bahasa Al Quran, hanya membacakan terjemahannya saja. Ia menterjemahkan Al Bashiyr dengan Maha Mengetahui, padahal terjemahannya yang benar adalah Maha Melihat.
Adakah ungkapan iman dan ilmu dalam Al Quran?
Ada, bacalah ayat: Yarfa'i Llahu Lladziyna Amanuw Minkum waLladziyna Uwtuw l'Ilma Darajatin (S. Al Mujadalah, 11). Allah mengangkat derajat orang-orang beriman di antaramu dan orang-orang berilmu (58:11).
Apa yang disebut iman?
Iman adalah bahasa Al Quran, sehingga untuk mengetahui maknanya hendaklah Al Quran sendiri yang dijadikan kamus sebagai rujukan.
Ya-ayyuha- Lladziyna Alamnuw Aminuw biLlahi waRusulihi walKitabi Lladzy Nazzla 'alay Rasuwlihi walKitabi Lladziy Anzala 'alay min Qablu waMan Yakfur biLlahi waMlaikatihi waKutubihi waRusulihi walYawmi lAkhiri faQad Dhalla Dhala-lan Ba'iydan (S. An Nisa-u, 136). Hai orang-orang beriman, berimanlah kepada Allah dan Raslnya, kepada Kitab yang diturunkan kepada RasulNya, dan kepada Kitab-Kitab yang diturunkan sebelumnya. Barang siapa yang kafir terhadap Allah, terhadap Malaikatnya, terhadap Kitab-Kitabnya, terhadap Rasul-Rasulnya dan terhadap Hari Akhirat nyatalah ia telah sesat sesesat-sesat dan sejauh-jauhnya (4:136).
Apakah yang disebut Taqwa?
Taqwa juga adalah bahasa Al Quran, jadi dalam hal ini sekali lagi Al Quran berfungsi sebagai kamus.
Alif, Lam, Mim. Dzalika lKitabu La- Rayba fiyhi Huday lilMuttaqiyna. Alladziyna Yu'minuna bilGhaybi waYuqiymuwna shShalawta wamimMa- Razaqnahum Yunfiquwa (S. Al Baqarah, 3). Yaitu yang beriman kepada Yang Ghaib, dan mendirikan shalat), dan dari sebagian yang Kami rezekikan kepada mereka diinfaqkannya (2:3). Infaq yang wajib disebut zakat dan infaq sukarela disebut sadaqah. Menurut ayat ini, orang-orang bertaqwa itu ialah menurut rumus: taqwa = iman + shalat + infaq. Dari rumus itu dapat dilihat bahwa iman, shalat dan infaq kedudukannya sejajar dan ketiga-tiganya merupakan konponen-komponen dari taqwa. Iman itu perlu tetapi belum cukup untuk menjadi taqwa. Shalat itu perlu tetapi belum cukup untuk menjadi taqwa. Infaq itu perlu tetapi belum cukup untuk menjadi taqwa. Orang beriman tetapi tidak shalat dan/atau tidak mengeluarkan infaq belumlah bertaqwa. Barulah perlu dan cukup untuk menjadi bertaqwa apabila ketiganya digabungkan, beriman, mendirikan shalat dan mengeluarkan infaq. Alhasil beriman belum tentu bertaqwa.
Bagaimana penjabaran Rumus: taqwa = iman + shalat + infaq?
Laysa lBirra an Tuwalluw Wujuwhakum Qibla lMasyriqi walMaghribi waLakinna lBirra Man Amana biLlahi walYawmi lAkhiri waMalaikati walKitabi wanNabiyyiyna wa Atay lMa-la 'alay Hubbihi Dzawiy lQurbay walYatamay walMasakiyna waBna sSabiyli wafirRiqa-bi waAqa-ma shShalawta waAtay zZaka-ta walMawfuwna bi'Ahdihim idza- 'A-haduw washShabiriyna fiylBa'sa-i wadhDharra-i waHiyna lBa'si Uwlaika lLadziyna Shadaquw wa Uwlaika Humu lMuttaquwna (S. Al Baqarah, 177). Berbuat kebajikan bukanlah dengan menghadapkan wajah ke timur atau ke barat, melainkan berbuat kebajikan itu ialah barang-siapa beriman kepada Allah, Hari Akhirat, Malaikat, Kitab Suci, Nabi-Nabi, dan memeberikan harta benda yang disukainya bagi kepentingan kaum-kerabat, yatim-piatu, fakir-miskin, kaum-kelana, peminta-minta, memerdekakan hamba-sahaya, dan mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, memenuhi janji apabila berjanji, dan orang-orang sabar atas kesengsaraan, kemelaratan dan penderitaan waktu peperangan, mereka itu adalah orang-orang benar dan mereka itulah orang-orang bertaqwa (2:177).
Adakah ungkapan iman dan taqwa dalam Al Quran?
Secara khusus ada yaitu dalam kontex mendapatkan pahala di sisi Allah. Bacalah ayat: WaLaw Annahum Amanuw waTtaqaw Lamatsuwbatun min 'indi Llahi Khayrun Law Ka-na Ya'lamuwna (S. Al Baqarah, 103). Kalau mereka beriman dan bertaqwa, sesungguhnya pahala dari sisi Allah lebih baik, jika mereka mengetahui (2:103). Ayat ini menjelaskan bahwa orang beriman yang belum bertaqwa dan orang yang bertaqwa masing-masing mendapatkan pahala dari sisi Allah SWT.
Kesimpulannya dalam Al Quran ada ungkapan iman dan ilmu, sedangkan ungkapan iman dan taqwa tidak berlaku umum hanya khusus dalam kontex pahala di sisi Allah SWT. Alhasil iman dan taqwa tidak cocok dipakai sebagai judul kolom ini, oleh karena kolom ini membicarakan hal yang umum. WaLlahu A'lamu bi shShawab.
*** Makassar, 22 Desember 1996
15 Desember 1996
[+/-] |
253. Manusia yang Ulu lAlba-b Sebagai Khalifah Allah [Berfungsi Mengatur Sistem Dunia Dengan Nilai Wahyu] |
Dalam pelaksanaan ibadah haji disyari'atkan antara lain bahwa bila dalam keadaan ihram orang tidak boleh membunuh binatang dan tidak boleh memetik tumbuh-tumbuhan. Ini mengisyaratkan dua hal yang penting. Pertama, pada zaman RasuluLlah SAW padang 'Arafah itu gersang tidak ada tumbuh-tumbuhan. Maka dengan disyari'atkannya tidak boleh orang memetik tumbuh-tumbuhan itu berarti suatu isyarat bahwa kelak di kemudian hari padang Arafah akan tumbuh tanam-tanaman. Dan itu sudah menjadi fakta di zaman kita ini, padang Arafah sudah menghijau oleh pohon-pohonan. Inilah salah satu mu'jizat yang terkandung dalam tata-cara ibadah haji tentang hal pekabaran bagi mereka dahulu bahwa di Arafah akan tumbuh pohon-pohonan kelak. Isyarat yang kedua ialah manusia itu tidak boleh seenaknya saja membunuh binatang dan menebas pohon-pohonan. Adapun tulisan ini ruang lingkupnya di batasi dalam hal isyarat yang kedua ini, yaitu manusia harus memelihara lingkungannya. Hal ini dipertegas oleh Firman Allah dalam S. Al Baqarah, 30: Wa Idz Qa-la Rabbuka li lMalaikati Inny Ja-'ilun fiy lArdhi Khaliyfah ...., dan ingatlah tatkala Maha Pengaturmu berkata kepada para malaikat sesungguhnya Aku jadikan khalifah di bumi. Biasanya kalimah Rabb diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dengan kata Tuhan. Terjemahan itu kurang mengenai sasaran, oleh karena kalimah Rabb itu adalah salah satu dari Asma-u lHusna, Nama-Nama Yang Terbaik, yang jumlahnya 99, yang setiap Nama itu mengandung makna spesifik. Ar Rabb berarti Maha Pengatur.
Demikianlah ayat di atas itu mengandung makna bahwa manusia yang diangkat menjadi khalifah mempunyai amanah dan wewenang dari Yang Maha Pengatur untuk mengatur sesamanya makhluq di bumi ini. Apabila Ar Rabb diterjemahkan dengan Tuhan, maka jelas terjemahan itu terlalu umum, sehingga kita tidaklah dapat menangkap dengan jelas makna yang spesifik dari terjemahan dengan istilah Tuhan itu.
Manusia dalam statusnya sebagai khalifah di atas bumi ini akan berurusan dengan alam yang dapat distratifikasikan sebagai: Alam Sekitar (surrounding, Umwelt), Sumberdaya Alam (natural resources, Rohstoffquellen) dan Lingkungan Hidup (biosphere, Biosphare).
Alam Sekitar (AS) adalah alam yang belum dijamah manusia, kecuali untuk sumber informasi bagi Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Tetapi itu tidak berarti bebas nilai, oleh karena sudah menyentuh keinginan manusia, yaitu dipilih sebagai sumber informasi untuk IPA. Jadi sejak semula IPA itu tidaklah bebas nilai. Awan di udara adalah AS, sumber informasi, diungkapkan oleh IPA bagaimana
terjadinya hujan. Tidak bebas nilai oleh karena dipilih untuk dikaji. Di sini ada aliran informasi dari AS ke IPA (aliran 1-2) yang hasilnya adalah pengungkapan SunnatuLlah. Selanjutnya aliran 3-4 dari IPA ke Teknologi (Tek) bermakna bahwa luaran IPA berupa pengungkapan SunnatuLlah menjadi masukan Tek untuk meningkatkan efisiensi, unjuk-kerja dan kekuatan konstruksi. Misalnya
pengungkapan SunnatuLlah termodinamika dan pengantar kalor dapat meningkatkan efisiensi mesin-mesin kalor serta unjuk-kerja mesin-mesin pendingin; ilmu logam dan metalurgi dapat meningkatkan daya tahan konstruksi terhadap beban mekanis maupun beban kalor.
Sumberdaya Alam (SA), adalah alam yang sudah sarat dengan nilai, dengan keinginan manusia untuk memanfaatkannya. Awan yang bergumpal-gumpal di udara yang ditabur dengan es kering atau iodida perak adalah SA, hujan dimanfaatkan untuk kebutuhan air manusia. Di sini terjadi aliran pemanfaatan (8-9) dari SA ke Sistem Sosial (SS), atau lengkapnya Sistem Politik Ekonomi Sosial Budaya Pertahanan Keamanan (Poleksosbudhankam).

- AS = Alam Sekitar
- SA = Sumberdaya Alam
- LH = Lingkungan Hidup
- IPA = Ilmu Pengetahuan Alam
- Tek = Teknologi
- SS = Sistem Sosial
- 1-2 = informasi untuk IPA
- 3-4 = SunnatuLlah untuk Tek
- 5-6 = pelayanan untuk SS
- 7-2 = pemberian nilai pada IPA
- 8-9 = pemanfaatan untuk SS
- 5-10 = dampak negatif pada LH
Demikianlah, dengan model di atas itu kita perkenalkan tiga macam aliran. Pertama, aliran satu arah yang terbuka: AS ke IPA ke Tek ke LH (1-2-3-4-5-10). Kedua, aliran satu arah yang tertutup: SA ke SS (8-9). Ketiga, aliran tertutup yang melingkar: SS ke IPA ke Tek kembali ke SS ((7-2-3-4-5-6-7) dan arus baliknya dari SS ke Tek ke IPA kembali ke SS. Diagram aliran dalam gambar dapat memberikan penjelasan yang lebih terang.
Aliran-aliran itu saling berkorelasi, saling mempengaruhi. Contohnya, makin terarah nilai yang diberikan oleh SS pada IPA, makin selektif pemilihan materi AS yang dikaji oleh IPA, makin relevan jenis SunnatuLlah yang diungkapkan untuk meningkatkan mutu Tek yang dihasilkan, makin berguna Tek itu bagi SS dan makin kurang pula dampak negatif Tek terhadap LH. Contoh ini menunjukkan korelasi aliran 7-2, aliran 1-2, aliran 3-4, aliran 5-6 dan aliran 5-10. Makin serakah SS menghabiskan SD yang berupa bahan bakar (termasuk balap mobil dalam olah raga), makin menebal lapisan CO2, yang berakibat makin memuncaknya globalisasi pencemaran thermal oleh efek rumah kaca, makin besar dampak negatif Tek terhadap LH. Contoh itu memperlihatkan korelasi antara aliran 8-9 dengan aliran 5-10.
Di manakah letak manusia dalam model Sistem Dunia di atas itu? Pertama, manusia menempati Alam Sekitar sebagai sumber informasi bagi Ilmu Pengetahuan Alam. Misalnya pengkajian pembuahan sperma terhadap sel telur di luar rahim manusia, yang menghasilkan teknologi bayi tabung. Kedua, manusia menempati Sumberdaya Alam, karena tenaga otak dan ototnya dimanfaatkan untuk Sistem Sosial. Ketiga, manusia menempati Lingkungan Hidup, karena manusia adalah makhluk hidup yang menderita dampak negatif dari Teknologi. Keempat, manusia menempati Sistem Sosial, karena manusia adalah anggota sistem tersebut. Dan yang kelima, inilah yang terpenting, manusia menempati aliran tertutup yang melingkar. Di situlah manusia yang Ulu lAlba-b, yang berdzikir dan berpikir, berfungsi sebagai Khalifah Allah di atas permukaan bumi, memberikan nilai pada aliran tersebut. Misalnya dalam pemilihan tentang sumber informasi dari Alam Sekitar yang mana sajakah yang bernilai untuk dikaji. Apakah ada nilainya pengkajian pembuahan sel telur oleh sperma di luar rahim, yang menghasilkan Teknologi bayi tabung dan Teknologi bank sperma. Sikap hidup yang bagaimana yang harus dipilih sehingga Sistem Sosial dapat berhemat Sumber Daya Alam. Teknologi yang bagaimana yang harus diterapkan sehingga dampak negatifnya terhadap Lingkungan Hidup dapat diperkecil sekecil-kecil mungkin.
Adapun jawabannya sangat sederhana, yaitu senantiasa mengacu pada nilai-nilai yang bersumber dari wahyu, yang dibawakan oleh para Nabi dan Rasul, nilai kehidupan yang diajarkan oleh Kitab Suci Al Quran, Risalah yang dibawakan oleh Rasul yang terakhir, Nabi Muhammad RasuluLlah SallaLlahu 'Alaihi wa Sallama.
Catatan: Diagram aliran di atas itu saya pungut secara selektif dari diagram Fredric Vester dalam tulisannya yang berjudul: Kibernetisches Denken in der Technologie. Karya Vester itu adalah salah satu dari 17 tulisan yang dikompilasikan dan diberi Muqaddimah (Einleitung) oleh Heinrich von Nussbaum dalam buku yang berjudul DIE ZUKUNFT DES WACHTUMS, Kritische Antworten zum "Bericht des Club of Rome", diterbitkan oleh Bertelsmann Universitatverlag, Dusseldorf, 1973. Salah satu dari kompilasi itu terdapat pula artikel tulisan Nussbaum sendiri yang berjudul "Grenzstation" oder: Vom Untergang des Abendlandes. Yang kalau saya terjemahkan bebas akan berbunyi "Pelabuhan-perbatasan" atau: Perihal Redupnya Negeri-negeri Senja. Station saya terjemahkan dengan pelabuhan, oleh karena pertumbuhan ekonomi, atau lebih luas, perkembangan kebudayaan ummat manusia itu saya ibaratkan kapal yang sedang dalam pelayaran menuju pelabuhan terakhir. (Orang Palembang menyebut tempat parker kendaraan darat dengan istilah tempat berlabuh. Saya pikir tidak ada salahnya kalau istilah berlabuh untuk parker itu dijadikan istilah baku dalam bahasa Inodonesia. Maksudnya agar semangat kelautan bangsa yang sudah mulai redup ini dapat bangkit kembali, untuk mengikuti semangat para leluhur kita. Bukankah zaman dahulu kala disebut pula dengan zaman bahari (laut)? Adapun yang saya maksud di atas dengan memungut diagram Vester secara selektif, adalah saya tidak menirunya bulat-bulat, melainkan saya sudah modifikasikan sesuai dengan pemikiran saya yang berlandaskan atas IQRA BISMI RABBIKA. WaLlahu a'lamu bishshawab.
*** Makassar, 15 Desember 1996
1 Desember 1996
[+/-] |
252 Kejujuran Dalam Terpaan Angin Puting Beliung Globalisasi |
Sesungguhnya seri ini merupakan satu kesatuan dengan Seri 251 hari Ahad yang lalu yang berjudul: Kejujuran. Melalui telepon saya menerima pertanyaan, mengapa bagian Seri 251 yang terakhir tidak jelas, seakan-akan ada yang hilang. Tanggapan itu betul. Memang ada yang hilang, karena saya salah potong. Secara singkat Seri 251 yang lalu seperti berikut: Bentuk perjanjian bagi hasil dalam masyanakat dilakukan dalam bentuk yang tidak tertulis serta tidak melibatkan secara langsung saksi-saksi dan kedua belah pihak. Siri’ dari pihak pemilik tanah, passe (posse, pacco) dari kedua belah pihak, segan dan hormat dari pihak pengelola membuahkan nilai kejujuran. Nilai kejujuran ini sama nilainya dengan kepastian hukum di antara kedua pihak yang mengadakan perikatan penjanjian, Kalimat terakhir dari Seri 251 akan saya kutip: Di samping meningkatkan kinerja lembaga-lembaga keagamaan, maka masyarakat dipedesaan jangan lupa mengaplikasikan tehnik administrasi menurut kaidah agama di dalam melakukan perikatan perjanjian, seperti telah lazim dipakai di kota-kota. Adapun yang dimaksud dengan mengaplikasikan tehnik administrasi menunut kaidah agama, seperti Firman Allah:
Nun, walQalami, waMa- Yasthuruwn, perhatikanlah pena dan apa yang mereka tuliskan. (S. Al Qalam 1). Selanjutnya: Wa Idza- Tada-yantum biDaynin Ilay Ajalin Musammay faktubuwhu, walYaktub Baynakum Ka-tibun bil Adli, dan apabila kamu membuat penjanjian perikatan, hutang piutang, tuliskanlah, dan mestilah dituliskan oleh seonang notaris di antana kamu dengan adil, (S. Al Baqarah, 282).
Seperti telah dikemukakan dalam Seri 251 dengan datangnya angin puting-beliung globalisasi, nilai siri’ dan pihak pemilik tanah, nilai passe dari kedua belah pihak, nilai segan dan hormat dari pihak penggarap tidak akan mampu bertahan. Lemahnya pertahanan itu oleh karena sekarang ini tidak ada lagi lembaga adat yang bertanggungjawab atas nilai-nilai itu. Siri’ dan passe yang membuahkan nilai kejujuran hanya dipertahankan secara invidual, sehingga tidak akan mampu bertahan. Dalam keadaan yang demikian itu sudah tidak mungkin lagi terdapat kepastian hukum dalam perjanjian secana lisan tanpa saksi, oleh karena nilai kejujuran (internal) yang nilainya sama dengan kepastian hukum sudah pudar. Oleh sebab itu untuk menjamin kepastian hukum harus ada peraturan (eksternal), yaitu haruslah perjanjian perikatan itu secara tertulis oleh notaris seperti yang diperintahkan oleh kaidah agama menurut S. Al Baqanah, 282 yang telah dikutip di atas itu.
Semua ilmu dan metode yang dihasilkan untuk mengalihkan benda ke benda yang mempunyai nilai ekonomis, yang disebut nilai tambah, akan bermuara pada kemajuan sivilisasi dalam wujud keseragaman dan kemudahan hidup zahiriyah. Sivilisasi adalah konsep materialistik. Kebudayaan sebagai perangkat halus ibarat jiwa sivilisasi sebagai tubuh kasar dan itu menunjukkan bahwa tataran kebudayaan lebih tinggi dari sivilisasi. Arus globalisasi adalah arus sivilisasi.
Bangsa yang tinggi peradabannya bukan hanya sekadar yang maju sivilisasinya, melainkan sivilisasi dari bangsa itu harus bermuatan nilai-nilai budaya yang banyak menyerap nilai-nilai wahyu. Rukun Islam yang pertama menanamkan nilai kejujunan dalam lubuk hati. Pengakuan dua Kalimah Syahadatain haruslah diucapkan di mulut, dibenarkan oleh pikiran dan diyakinkan dalam qalbu. Itulah hakikat kejujuran, itulah istiqamah, konsistensi, tidak boleh ada perbedaan antara yang diyakinkan dengan yang dipikirkan, tidak boleh ada perbedaan antara yang diyakinkan dengan yang diucapkan. Jika sikap istiqamah setiap individu ditingkatkan menjadi barisan: Kaanahum Bunyanun Marshuwshun (61:4), laksana bangunan bangunan yang bershaf-shaf teratur, maka dalam kondisi yang demikian itu, insya Allah, kita siap menantang, memberikan serangan balik atas terpaan angin puting beliung globalisasi sivilisasi yang bertiup dari barat. WaLlahu A’lamu bi shShawab.
*** Makassar, 1 Desember 1996
24 November 1996
[+/-] |
251. Kejujuran |
Besok insya Allah Belo akan memberikan jawaban resmi dan terbuka sesuai dengan janjinya untuk membantah atau membenarkan omongannya di der Spiegel (artinya cermin). Sebelumnya Belo telah membantah melalui Kapolda Dili. Adalah logis bahwa Belo harus membantah, sebab kalau ia membenarkan (andaikata itu memang benar) maka tentu berat baginya, berat dugaan saya ia tidak akan berani membenarkan der Spiegel (andaikata itu memang benar). Bantahan Belo meragukan sebahagian orang, oleh karena kalau ia memang benar tidak berkata demikian, mengapa tidak serta merta mengirim surat pernyataan bantahan untuk dimuat dalam der Spiegel sendiri. Mengapa ia begitu terlambat membantah (andaikata ia ingin membantah)? Mengapa baru membantah setelah ia didesak untuk menjawab? Mengapa ia tidak menjawab dalam der Spiegel sendiri? Maka terpulang kepada diri kita masing-masing siapa yang bohong, siapa yang jujur. Belokah atau der Spiegelkah?
***
Berbicara soal kejujuran lebih baik kita tinggalkan dahulu Timor Timur untuk sejenak menoleh ke arah perkebunan kelapa di pulau Selayar dalam kalangan petani kelapa baik sebagai pemlik tanah, maupun sebagai penggarap, dan di situ kita akan berjumpa dengan kejujuran. Pada umumnya pemilik tanah di pulau itu tidak mempunyai kesempatan dan kemampuan untuk mengerjakan tanahnya, namun tetap ingin menikamti hasilnya. Maka pemilik tanah menyuruh orang lain yaitu penggarap untuk menegrjakan tanahnya, dan kemudian penggarap menyerahkan sebahagian hasilnya kepada pemilik tanah, berdasar atas perjanjian bagi hasil yang telah disepakati sebelumnya. Sedangkan dalam proses timbulnya perjanjian bagi hasil itu pada dasarnya tanpa ada paksaan dari salah satu pihak.
Perjanjian bagi hasil itu di samping dilatar-belakangi oleh keadaan saling membutuhkan atas dasar suka rela, bukan paksaan, maka dapat pula didorong oleh rasa kekeluargaan dan saling tolong-menolong di antara pemilik tanah dengan penggarap secar turun-temurun. Bentuk perjanjian bagi hasil dalam masyarakat dilakukan dalam bentuk tidak tertulis serta tidak melibatkan secara langsung saksi-saksi dari kedua belah pihak. Nanti setelah penggarap melaksanakan pengolahan tanah, barulah pemilik dan penggarap memberitahukan kepada orang lain bahwa mereka mengadakan perjanjian bagi hasil dan bahkan biasanya mereka secara aktif memberi-tahukan kepada orang lain, melainkan banyak-banyak orang lain tahu akan adanya perjanjian bagi hasil antara pemilik tanah dengan penggarap, setelah orang lain bertnya karena yang dilihatnya yang menggarap bukanlah pemilik tanah dari tanah yang digarap itu. Pemberi-tahuan ini bukanlah suatu keharusan.
Hal ini disebabkan karena masyarakat masih dipengaruhi oleh adat kebiasaan, sehingga perjanjian bagi hasil tidak dilakukan secara tertulis, hanya dalam bentuk lisan, bentuk kesepakatan yang dirumuskan dengan saling pengertian belaka. Hal ini semata-mata bersandarkan pada adat kebiasaan yang turun-temurun yang dilakukan dengan berpatokan pada pola yang diberlakukan sebagai kesepakatan bersama oleh warga masyarakat.
Dituangkannya perjanjian bagi hasil secara tidak tertulis oleh karena masih kuatnya penghormatan masyarakat setempat terhadap integritas sesama, para warga masyarakat masih senantiasa saling menghormati dan memberikan kepercayaan satu dengan yang lain. Pemilik tanah dan penggarap tidak akan mengingkari apa yang mereka telah sepakati bersama dan masing-masing pihak akan melaksanakan apa yang mereka telah perjanjikan. Kepastian hukum untuk tidak mengingkari perjanjian itu berdasar atas nilai sub-kultur di Sulawesi Selatan, yaitu harga-diri (siri') dan solidaritas sosial (passe, pesse, pacce). Oleh karena pemilik tanah di Kabupaten Selayar mempunyai kedudukan sosial yang lebih tinggi dari penggarap, maka pemilik tanah tidak akan mengingkari apa yang telah mereka sepakati, karena apabila ia tidak melaksanakan sesuai dengan kesepakatan, maka tentu harga dirinya (baca: siri') akan terusik, nama baiknya akan tercemar di mata masyarakat. Demikian pula halnya dengan penggarap, ia akan melaksanakan apa yang telah dijanjikannya sesuai dengan kesepakatan, karena ada rasa segan dan hormat kepada pemilik tanah.
Adanya pengaruh rasa solidaritas sosial yang tinggi (passe) untuk hidup berdampingan secara damai dan tenteram, saling menghargai dan saling menghormati, sehingga meskipun perjanjian bagi hasil itu dilakukan secara lisan tanpa saksi-saksi, kenyataannya sampai sekarang hampir tidak pernah terjadi sengketa antara pemilik tanah dengan penggarap dalam hal melaksanakan perjanjian bagi hasil perkebunan kelapa. Nilai siri' dari pihak pemilik tanah, nilai passe dari kedua belah pihak, nilai segan dan hormat dari pihak penggarap membuahkan nilai kejujuran. Nilai kejujuran ini sama nilainya dengan kepastian hukum.
Namun perlu ditekankan bahwa persengkataan yang sering terjadi adalah di antara anak cucu yang orang tua ataupun nenek moyangnya membuat perjanjian secara lisan dahulu, tetapi ini bukan perjanjian bagi hasil melainkan transaksi hak kepemilikan tanah. Itu adalah cerita hingga dewasa ini, namun untuk masa yang akan datang adanya angin puting beliuang dari globalisasi, nilai siri' dari pemilik tanah, nilai passe dari kedua belah pihak, nilai segan dan hormat dari pihak penggarap tidak akan mampu bertahan. Lemahnya pertahanan itu oleh karena sekarang ini tidak ada lagi lembaga adat di Kabupaten Selayar yang bertanggung jawab atas nilai-nilai itu. Siri' dan passe hanya dipertahankan secara individual, sehingga tidak akan mampu bertahan. Dalam keadaan yang demikian itu perjanjian secara lisan tanpa saksi yang tidak lagi diikat oleh nilai-nilai itu di masa-masa yang akan datang, akan menjadikan perjanjian itu tidak lagi menjamin kepastian hukum tentang kedudukan kedua belah pihak.
Demikianlah nilai kejujuran itu akan kian memudar, karena sudah tidak ada lagi lembaga adat yang memeliharanya. Maka benteng pertahanan yang paling ampuh adalah nilai-nilai agama, asal saja lembaga-lembaga keagamaan dapat bekerja dengan kinerja yang tinggi dalam arti metode da'wah harus membuahkan efisiensi dan efektivitas yang tinggi, dan aktivitas yang agresif untuk dapat memberikan serangan balik atas angin puting-beliung globalisasi. Dan di samping meningkatkan kinerja lembaga-lembaga keagamaan, maka masyarakat di pedesaan jangan lupa mengaplikasikan teknik administrasi menurut qaidah agama dalam melakukan perikatan perjanjian, seperti telah lazim dipakai di kota-kota biasa maupun metropolitan. Ya-ayyuha lladziyna a-manuw idza- tada-yantum bidaynin ila- ajalin musamman faktubuwhu walyaktub baynakum ka-tibun bil'adl (S. Al Baqarah, 252), artinya: Hai orang-orang beriman, apabila mengadakan perjanjian perikatan utang-piutang untuk waktu yang ditetapkan, maka tuliskanlah, dan haruslah dituliskan oleh seorang notaris dengan adil (2:252). WaLlahu A'lamu bi shShawab.
*** Makassar, 24 November 1996
17 November 1996
[+/-] |
250. Anak Bungsu yang Dimanjakan |
Dalam Bible, Revised Standard Version dapat kita baca:
Now Israel loved Joseph more than any other of his children, because he was the son of his old age; and he made him a long robe with sleeves. But when his brothers saw that their father loved him more then all his brothers, they hated him, and could not speak peaceably to him (Genesis 37:3-4). Maka Israel mencintai Yusuf melebihi cintanya kepada anak-anaknya yang lain, oleh karena dia adalah anak (yang dilahirkan) di hari tuanya; dan ia membuatkan untuknya sehelai jubah panjang berlengan panjang. Namun tatkala saudara-saudara laki-lakinya melihat bahwa ayah mereka mencintainya lebih dari semua saudara laki-lakinya, maka mereka membencinya dan tidak dapat berkata dengan ramah kepadanya.
Ayat dalam Genesis (37:3-4) tersebut menunjukkan kepada kita sebuah potret kejiwaan orang tua yang telah lanjut umur pada umumnya: mereka lebih mencintai anaknya yang bungsu. Penyebabnya dilatar belakangi oleh keistimewaan para anak bungsu, yaitu mereka dilahirkan tatkala orang tua mereka telah lanjut umur. Demikianlah para anak bungsu itu dimanjakan, yang dalam ayat di atas perlakuan memanjakan itu diilustrasikan dalam wujud membuatkan jubah yang lebih istimewa. Walaupun Israel itu seorang Nabi (namanya yang lain yaitu Nabi Ya'qub AS), akan tetapi tetaplah ia manusia biasa (yang membedakannya dengan manusia lain, ia mendapat wahyu dari Allah SWT), sehingga sifat manusiawi itu tetap melekat padanya yang secara kejiwaan ia lebih menyayangi anak bungsunya, karena sang bungsu itu dilahirkan pada hari tuanya.
Dalam Al Quran Allah SWT berfirman:
Nahnu Naqushshu 'alayka Ahsana lQashashi biMa- Awhayna- ilayka Hadza lQuran (S. Yuwsuf, 3). Kami wahyukan kepadamu yang terbaik dari riwayat-riwayat dengan mewahyukan kepadamu Al Quran ini (12:3).
Salah satu yang terbaik dari riwayat-riwayat itu ialah mengenai riwayat Yusuf dalam hubungannya dengan saudara-saudara laki-lakinya.
Laqad Ka-na fiy Yuwsufa wa Ikhwatihi Ayatun lisSa-ilyna (S. Yuwsuf, 7). Sesungguhnya dalam (riwayat) Yusuf dengan saudara-saudara laki-lakinya berisikan keterangan bagi para peneliti (12:7).
Adapun Yusuf sesungguhnya bukanlah anak bungsu orang seorang melainkan tergolong dalam kelompok anak bungsu yang terdiri atas Yusuf dan Bunyamin. Kedua anggota kelompok bungsu inilah yang menjadi sasaran kedengkian dari kelompok yang lebih besar yang terdiri atas sepuluh orang kakak kelompok bungsu tersebut.
LaYuwsufu wa Akhuwhu Ahabbu ilay Abina- Minna- wa Nahnu 'Ushbatun, (S. Yuwsuf, 8) Yusuf dan saudaranya (Bunyamin) dicintai oleh bapak kita ketimbang kita, padahal kita ini kelompok (yang besar) (12:8).
Pada umumnya anak bungsu itu menjadi manja oleh karena lebih disayangi. Namun Yusuf tidaklah demikian halnya, ia tidak menjadi manja, melainkan kelakuannya lebih baik dari Saudara-saudaranya. Akibatnya terjadilah umpan balik positif (positive feed-back), karena kelakuannya baik, ia makin disayangi, dan karena makin disayangi, kelakuannya bertambah baik. Yusuf merupakan kekecualian dari anak yang dimanjakan, ia tidak menjadi manja. Ini dapat difahami oleh karena Yusuf dipersiapkan oleh Allah SWT untuk menjadi seorang Nabi kelak.
Dalam Negara Republik Indonesia kelompok anak bungsu adalah Provinsi Timor-Timur. Kelompok anak bungsu ini mendapat perlakuan istimewa dalam pembangunan. Secara obyektif keadaan yang dicapai oleh kelompok bungsu ini dalam puluhan tahun jauh lebih melesat kemajuannya jika dibandingkan dengan kemajuan yang dicapai oleh kakak-kakaknya yang lebih tua. Ukuran yang dipakai tentang kemajuan yang lebih melesat ini adalah perbedaan antara keadaan Timor Timur selama dijajah Portugis dengan keadaannya sejak intergrasi hingga dewasa ini, ketimbang perbedaan keadaan kakak-kakaknya antara selama penjajahan Belanda dengan keadaannya sejak merdeka hingga dewasa ini. Tibalah saatnya sekarang tidak perlu lagi untuk membuang-buang energi memanjakan anak bungsu ini
Tentang masalah dalam kasus penghinaan atas Negara Republik Indonesia dan ABRI oleh Uskup Dili Carlos Filipe Ximenes Belo ada baiknya kita dengarkan Ketua DPR/MPR RI H. Wahono yang menasihatkan agar kasus Belo ini jangan dipanas-panasi. Nasihat ini baik, namun asal saja nasihat ini bukan titik, melainkan masih koma. Kelompok anak bungsu ini walaupun telah mendapat keistimewaan dalam pembangunan, janganlah pula melebar untuk mendapat perlakuan istimewa di depan hukum. Bukan hanya sekadar seperti yang dikehendaki oleh Yogi agar Belo dipanggil oleh DPR, bukan pula hanya sekadar seperti yang dikehendaki Pangab, ABRI akan panggil Belo, melainkan baru cukup jika dilaksanakan menurut Kapuspen ABRI supaya kasus Belo ini dikembalikan kepada hukum yang berlaku.
Apabila kasus Belo ini dikembalikan kepada hukum yang berlaku, maka Belo harus disidik oleh polisi, dituntut oleh jaksa dan divonis oleh hakim, tentu saja dalam bingkai asas praduga tak bersalah. Untuk menentukan apakah Belo bersalah atau tidak, maka Belo harus pula diperlakukan di depan hukum sama dengan perlakuan hukum atas Sri Bintang dalam kasus penghinaan Presiden RI, sama dengan perlakuan atas Nasiruddin Pasigai dalam kasus memberikan informasi yang ditafsirkan sebagai menjual rahasia Negara Republik Indonesia. Sekali lagi Belo harus disidik, dituntut dan divonis, tanpa terlalu menekankan pada pertimbangan hubungan diplomatik dengan Vatikan, karena bangsa Indonesia adalah bangsa yang berdaulat! Bukankah hubungan diplomatik antara Indonesia dengan Malaysia tidak terpengaruh oleh digantungnya Basri Masse? WaLlahu A'lamu bi shShawab.
*** Makassar, 17 November 1996
10 November 1996
[+/-] |
249. Distribusi dan Kepemilikan, Konglomerasi dan Dekonglomerasi |
Judul di atas itu akan dibahas menurut pandangan Syari'at Islam dan hukum positif dalam Negara Republik Indonesia. Akan dikemukakan dua jenis nash, satu dari Firman Allah SWT dan satu dari Hadits RasuluLlah SAW.
Kay laa yakuwna duwlatan bayna l.aghniyaai minkum (S. Al Hasyr, 7), artinya: Agar supaya kedaulatan (ekonomi) itu tidak hanya berputar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu (59:7).
Hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Dawud dari Abu Khirasyi: Annaasu syurakaau fiy tsalaatsin almaai wannaari walkalaai. Manusia secara bersama-sama mempunyai hak atas tiga (sumberdaya alam): air, api dan rumput.
AlhamduliLlah, ayat (59:7) oleh bangsa Indonesia telah dijadikan hukum positif dalam wujud GBHN seperti dinyatakan dalam urutan pertama Trilogi Pembangunan: Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya dengan lebih memberi peran kepada rakyat untuk berperan serta aktif dalam pembangunan. Sedangkan Hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Dawud tersebut, sebelum Trilogi Pembangunan telah lebih dahulu menjadi hukum positif yang sumber hukumnya lebih tinggi dari GBHN, yaitu dalam UUD-1945, Fasal 33, ayat 3: Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran Rakyat.
Syari'at Islam menghendaki modal itu tidak boleh hanya beredar dalam kalangan pemodal besar saja. Pembangunan yang merata menuntut pula pemilik modal yang merata dalam kalangan rakyat banyak, yang menyebabkan terciptanya lapangan kerja, sehingga hasil-hasil pembangunan merata pula. Usaha perdagangan dan industri dalam skala modal besar diperlukan dalam persaingan pasar bebas di luar negeri dalam era globalisasi. Pemodal kecil dalam skala perdagangan dan industri kecil sasarannya adalah pasar dalam negeri, industri kecil ada pula yang dapat berperan dalam pasar bebas di luar negeri, yaitu menjadi sub-kontraktor dari perusahaan pemodal besar untuk memproduksi komponen-komponen yang konstruksinya mudah. Ini yang dikenal dengan sistem payung (umbrella system).
Mekanisme distribusi dalam negeri disalurkan melalui koperasi dan pedangan-pedagang kecil, seumpama pedagang beras. Ibarat dalam tubuh manusia jika terjadi penyempitan dalam pembuluh darah, akan terjadi tekanan darah tinggi. Pedagang-pedagang beras inilah yang melancarkan peredaran uang dalam kalangan bawah sehingga tidak terjadi penyakit tekanan darah tinggi dalam skala ekonomi mikro. Tempo doeloe kita lihat bagaimana lancarnya peredaran uang dan terciptanya lapangan kerja dalam sektor informal oleh para pedagang beras ini. Saya masih ingat almarhum paman saya yang semasa hidupnya menakodai perahu pinisi' Soegimanai mengangkut beras dari Sulawesi Selatan, kemudian tatkala kembali mengangkut barang dagangan kelontong. (Almarhum paman saya ini juga seorang sastrawan membuat novel berbahasa daerah beraksara lontara' berjudul Pau-pauanna Nabbi Yusupu', Hikayat Nabi Yusuf. Sayang sekali novel itu tidak sempat disalin, sehingga ikut hancur bersama perahu pinisi' bersama nakhoda dan anak perahu kena ranjau, disaksikan oleh awak perahu pinisi' yang berlayar di belakangnya di laut sekitar perairan Surabaya tahun 1943).
Sumber-sumber daya alam yang vital perlu dikuasai oleh negara. Air baik sebagai keperluan irigasi maupun sebagai sumber energi, bahan bakar (baca: api), padang rumput untuk ternak jika tidak dikuasai oleh negara dapat menjadi penyebab tidak lancarnya distribusi peredaran darah kehidupan bagi petani-petani dan pengusaha kecil. Seumpama padang rumput yang dikuasai oleh pemodal besar, maka para peternak kecil-kecil dalam kalangan rakyat dapat dikontrol oleh pemodal besar ini. Amanah GBHN untuk memberi kepada rakyat untuk berperan serta aktif dalam pembangunan hanya tinggal dalam teori.
AlhamduliLlah kini mulai muncul pendapat yang mengoreksi konglomerasi. Mereka mengemukakan alasan, ada yang meninjaunya secara pragmatis, dan ada pula yang melihatnya dari segi nilai keadilan. Presiden Direktur Kelompok Usaha Bakri Brothers Tanriabeng melihatnya dari segi pragmatis. Ia menawarkan dekonglomerasi untuk dapat bermain di pasar bebas. Menurut saya bermain di pasar bebas itu perlu tetapi belum cukup. Selain memandang keluar, jangan lupa memandang ke dalam, yaitu distribusi peredaran uang dalam kalangan bawah, seperti yang dikehendaki oleh ayat (59:7). AlhamdulIlah, pendapat Tanriabeng itu diperlengkap oleh Ketua Jurusan Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Faisal Basri. Dalam memandang dekonglomerasi ia lebih menekankan pada stuktur perekonomian nasional kita yang amat timpang. Hanya sebahagian kecil orang yang menguasai sebahagian besar aset ekonomi nasional. Karena itu dari segi keadilan konglomerasi itu sama sekali tidak benar dan harus diubah. Pemerintah harus mendorong upaya dekonglomerasi, demikian Faisal.
Konglomerasi berasal dari bahasa Inggris conglomeration yang berarti a heterogeneous combination, anything composed of heterogeneous materials or elements, kombiansi yang heterogen, apa saja yang terdiri atas sejumlah material atau unsur-unsur yang heterogen. Yang disebut apa saja misalnya seperti kumpulan berjenis-jenis benda-benda langit yang dalam ilmu falak disebut galaxy. Ataupun dalam geologi misalnya, seperti batu-batuan, kerikil dan sebangsanya yang terekat menjadi batu karang. Dalam bahasa Indonesia pelaku konglomerasi disebut konglomerat. Istilah konglomerat dan konglomerasi mengalami pergeseran makna yang menyempit. Konglomerasi terkhusus hanya pada pengelompokan berjenis-jenis usaha dagang ataupun industri dalam satu tangan oleh konglomerat. Konglomerasi dalam usaha dagang dan industri itu pada prinsipnya secara kejiwaan tidaklah terlepas dari nafsun ammarah yang membentuk sifat asli manusia untuk tidak puas-puasnya. Secara teknis pragmatis timbulnya konglomerasi berdasar atas pertimbangan fluktuasi pasar di antara jenis usaha yang dikelompokkan itu. Secara bergantian dalam intern konglomerasi itu unsur jenis usaha yang sedang mengalami lesu pasar ditopang oleh unsur jenis usaha yang pasarnya sedang naik daun.
Kemampuan manusia itu diibaratkan volume silinder. Konglomerasi ibarat silinder yang luas permukaannya, sedangkan dekonglomerasi ibarat silinder yang sempit permukaannya. Untuk volume yang sama besarnya, silinder yang luas permukaannya akan menjadi dangkal (baca: ketidak-sungguhan managerial), sedangkan silinder yang sempit permukaannya akan menjadi dalam (baca: kesungguhan managerial). Alhasil untuk dapat bersaing dalam pasar bebas secara pragmatis perlu sekali dekonglomerasi: kesungguhan managerial. WaLlahu a'lamu bi shshawab.
*** Makassar, 10 November 1996
3 November 1996
[+/-] |
248. MIRAS, Metode Pendekatan dan Ketetapan Hukumnya |
Dalam hal miras ibarat mata uang, yaitu ada dua sisi yang patut diperhatikan. Sisi yang pertama menyangkut metode pendekatan menurut Al Quran dalam menghentikan peminum miras, dan pada sisi yang lain menyangkut hukum meminum miras.
Pendekatan dalam menghentikan peminum miras menurut Al Quran tidaklah secara drastis, yaitu secara berangsur. Sebermula Al Quran mengemukakan potret miras apa adanya, yaitu ada dosa besar di dalamnya dan ada gunanya, namun dosanya lebih besar ketimbang kegunaannya, seperti firmanNya:
Yasaluwnaka 'ani lKhamri walMaysiri Qul fiyHimaa Itsmun Khabiyrun waManaafi'u linNaasi waItsmuHumaa Akbaru min Naf'ihimaa (S. Al Baqarah, 219). Mereka bertanya kepadamu mengenai miras dan judi, katakan, di dalam keduanya itu dosa besar dan ada beberapa manfaat, namun dosa keduanya lebih besar dari manfaat keduanya (2:219).
Gambaran dosa besar dalam miras telah dijelaskan, namun belum ada perintah yang tegas tentang larangan minum miras. Akan tetapi secara tersirat di balik potret itu terdapat nilai bahwa terpujilah jika meninggalkan kebiasaan minum miras, walaupun dari sisi lain miras itu ada pula manfaatnya. Dari hasil kajian ilmu pengetahuan terungkap bahwa gambaran dosa besar dalam miras itu antara lain pemabuk itu menjadi rusak mentalnya, pikirannya tidak jernih, akalnya buntu, ruhaninya sakit, dan selalu keragihan. Dan yang dianggap manfaat oleh manusia ialah jika orang telah teler karena miras, maka ia terlepaslah sesaat dari keruwetan memikirkan seluk-beluk kehidupan duniawi. Kelihatannya bermanfaat akan tetapi pada hakekatnya merugikan, yaitu menjadi pengecut, karena lari dari kenyataan, tidak berani menantang kenyataan yang harus dihadapinya.
Sesudah tahap menggambarkan potret miras, menyusullah tahapan larangan yang tidak sepenuhnya, sebagai sasaran antara, seperti firmanNya: Ya-ayyuha Lladziyna A-manuw Laa Taqrabu shShala-ta wa Antum Sukaara- (S. AnNisa-u, 43). Hai orang-orang beriman janganlah kamu dekati shalat tatkala kamu mabuk (4:43). Tahapan berupa sasaran antara ini adalah larangan tidak boleh mabuk, artinya boleh minum asal jangan sampai mabuk. Sangatlah riskan kalau mabuk, oleh karena jika tatkala masih mabuk waktu shalat telah tiba, ia akan absen dalam shalat.
Tahapan terakhir adalah larangan tegas, bahwa miras, judi dan lain-lain yang sebangsanya adalah dari perbuatan setan, haruslah dijauhi. Ya-ayyuha Lladziyna Amanuw Innama lKhamru walMaysiru walAnshaabu walAzlaamu Rijsun min 'Amali sySyaythaani faJtanibuwhu La'allahum Tuflihuwna (S. Al Ma-idah, 90). Hai orang-orang beriman, sesungguhnya miras, judi, berhala dan bertenung itu kotor, itu dari pekerjaan setan, jauhkanlah, supaya kamu mendapat kemenangan (5:90).
Sebagai ilustrasi tambahan metode tidak drastis ini ditempuh pula dalam hal menghilangkan perbudakan. Apabila menghilangkan perbudakan itu dilakukan secara drastis, maka akan terjadi khaos dalam masyarakat. Para hamba sahaya yang sudah terbiasa menjadi budak, belum pernah mandiri, lalu tiba-tiba diberi kemerdekaan, mereka akan kebingungan mau berbuat apa. Kalau jumlah mereka banyak akan terjadi kekacauan, mereka akan mencuri bahkan merampok. Sejarah berbicara tentang hal ini. Misalnya para gladiator yang membebaskan dirinya yang dipimpin oleh Spartacus pada zaman Romawi. Para gladiator itu tidak mempunyai keterampilan selain berkelahi. Spartacus memperbesar jumlah pasukannya dengan membebaskan budak-budak yang lain, yang ditempa pula menjadi ahli berkelahi. Mereka menjarah penduduk untuk keperluan logistik.
Demikian pula keadaan budak-budak yang telah dibebaskan setelah Civil War dalam sejarah Amerika Serikat. Para mantan budak itu kebingungan mau berbuat apa. Bahkan mantan budak-budak yang telah diperlakukan dengan kejam melakukan balas dendam atas mantan tuan tanah yang kejam itu. Mereka merampok dan membunuh mantan tuan tanah beserta keluarganya.
Dalam hal ini Al Quran menunjukkan cara persuasif, yaitu himbauan bahwa memerdekaan budak adalah suatu kebajikan (2:177). Seterusnya dalam penyaluran zakat terdapat porsi untuk memerdekakan budak. Ditempuh pula tehnik menikahi budak, seperti firmanNya: Fankihuw Maa Thaaba laKum mina nNisaai Matsna- wa Tsulatsa wa Rubaa'a faIn Khiftum allaa Ta'diluw fa Waahidatan aw Maa Malakat Aymanukum, (S. An Nisa-u, 3) maka nikahilah olehmu perempuan- perempuan yang baik bagimu, berdua, bertiga, berempat, akan tetapi jika engkau khawatir tidak dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau (nikahilah) apa yang dimiliki oleh tangan kananmu (4:3).
Yang dimaksud dengan apa yang dimiliki oleh tangan kanan adalah budak-budak perempuan. Budak laki-laki tidak beranak, akan tetapi budak perempuan dapat beranak. Anak hasil perkawinan antara tuan dengan budak perempuannya itu, tidak boleh lagi statusnya sebagai budak. Dengan demikian hikmah yang terkandung dalam ayat (4:3) tersebut, adalah metode pendekatan menikahi budak untuk menghapuskan budak-budak dalam generasi berikutnya. Dilakukan pula dengan tehnik berupa sanksi membebaskan budak atas seseorang yang melanggar syari'at, seperti misalnya melakukan hubungan seksual dengan isterinya pada siang hari dalam bulan Ramadhan. Demikianlah cara menghilangkan perbudakan yang sudah mendarah daging warisan masyarakat jahiliyah. Pada prinsipnya perbudakan itu dilarang, seperti firman Allah: Wa Laqad Karramnaa Baniy Adama (S. Isray, 70). Sesungguhnya telah Kami muliakan Bani Adam (17:70). Allah telah menyatakan bahwa manusia itu dimuliakan Allah, maka tidaklah boleh manusia itu diperbudak.
Kembali pada masalah miras. Sejak ayat (5:90) diturunkan, maka meminum miras dilarang, haram hukumnya. Sama haramnya jika makan babi. Termasuk dalam larangan itu adalah sumber dan jalurnya sampai tiba dimulut. Yaitu pabrik miras, berternak babi dan memperdagangkannya. Bagi peminum berat metode bertahap menurut Al Quran dapat ditempuhnya, namun harus diingat bahwa ia tidak terbebas dari sanksi dosa karena minum miras. Walaupun dalam rentang waktu tahapan itu ia mendapat sanksi dosa, maka itu lebih baik bagi peminum berat itu ketimbang sama sekali tidak berupaya secara bertahap untuk berhenti minum miras. WaLlahu A'lamu bi shShawab.
*** Makassar, 3 November 1996
27 Oktober 1996
[+/-] |
247. Ekstasi Tidak Berbahaya Bagi Ketertiban Masyarakat, Katanya |
Terkait dengan Seri 246 hari Ahad yang baru lalu, saya mendapat dorongan dari beberapa handai-tolan, baik melalui telepon maupun secara tatap langsung, untuk menulis tentang pendapat Padeng Gervanius SH dan Herman SH, yang keduanya Penasihat Hukum terdakwa CW. Fasalnya dalam Seri 246 itu saya telah mengutip pendapat PH itu, yang diangkat dari bagian risalah pembelaan keduanya, yang telah dimuat dalam Harian Fajar, edisi 18 Oktober 1996, halaman 9. Saya kutip ulang: keterangan ahli dan hasil penelitian Labkrim Polri dapat diketahui secara jelas dan pasti bahwa ekstasi tidak berbahaya bagi ketertiban masyarakat, karena pemakai ekstasi justru merasa damai dengan dunia sekitarnya.
Sebermula saya merasa tidak perlu menulis tentang itu, oleh karena yang elok menjawab pendapat kedua PH itu sebaiknya dari petugas Labkrim Polri yang dijadikan rujukan oleh mereka itu. Namun setelah pikir punya pikir akhirnya saya putuskan untuk menulisnya, oleh karena ekstasi ini merusak generasi muda, salah satu subsistem yang penting dalam sistem sosial. Rusaknya subsistem ini akan mengancam kelanjutan eksistensi suatu bangsa.
Sangatlah naif untuk berpendapat bahwa penangguk ekstasi tidak berbahaya bagi ketertiban masyarakat, karena pemakai ekstasi justru merasa damai dengan dunia sekitarnya. Memang dengan melihat sepintas lalu secara dangkal ada perbedaan antara orang teler karena ekstasi dengan orang teler karena miras. Orang teler karena ekstasi (kalau itu memang benar) akan merasa damai dengan dunia sekitarnya. Sedangkan sebaliknya orang yang teler karena miras dapat menjadi bringas sehingga mengganggu ataupun membahayakan orang sekitarnya.
Saya katakan naif oleh karena pandangan kedua PH itu ruang lingkupnya sangatlah sempit, yakni hanya melihat pada keadaan sesaat tatkala penangguk ekstasi itu dalam keadaan teler. Kalau logika berpikir itu kita ikuti, maka ganja, candu (opium), hasysyisy, heroin, morphin ataupun obat bius (narkotika) lainnya juga tidak berbahaya bagi ketertiban masyarakat, oleh karena pengisap ganja, pengisap candu, pengisap hasysyisy, penyedot (dengan hidung) bubuk heroin, pejarum suntik morphin, kalau mereka sedang menikmati keadaan fly, mereka tidak mengganggu dunia sekitarnya.
Saya katakan naif karena rentang waktu orang hidup bukan tatkala teler karena ekstasi, miras dan obat bius saja. Masih ada rentang waktu yang lebih panjang dalam skenario kehidupan manusia. Yaitu rentang waktu yang lebih panjang sebelum minum dan sesudah berhenti teler. Bahkan ada rentang waktu yang jauh lebih panjang lagi, yaitu kelanjutan kehidupan suatu bangsa.
Dari mana mendapatkan uang untuk minuman setan yang harganya mahal itu? Coba meneliti kehidupan remaja kita utamanya di kota-kota. Sudah mulai timbul feodalisme dalam bentuk yang baru. Terbentuk kelompok remaja yang dikepalai oleh anak orang kaya. War lord ini menggaji body guard dan mendanai sahabat-sahabatnya yang kurang berpunya untuk pergi bersenang-senang menikmati masa remaja berasyik-maksyuk: sex, narkotika, miras, ekstasi dengan air mineral, dan berkelahi bila perlu.
Apa yang terjadi jika war lord itu mengganti body guard dan mengambil sahabat-sahabat baru? Mantan-mantan body guard dan mantan-mantan sahabat itu akan ketagihan karena sudah biasa meneguk ekstasi dengan harga semurah-murahnya (baca: tidak
membayar sepeserpun). Upaya-upaya apa yang ditempuh oleh mantan-mantan body guard dan mantan-mantan sahabat itu untuk mendapatkan uang guna memenuhi hasrat ketagihannya itu? Gampang untuk dijawab, yaitu mereka menjadi preman, membentuk kelompok baru dengan program kerja: mencuri, memeras, merampok! Alhasil mereka mengganggu bahkan membahayakan orang sekitarnya, walaupun mereka itu tatkala sementara teler merasa damai dengan dunia sekitarnya (yang digaris-bawahi itu saya kutip ulang dari risalah pembelaan kedua PH yang telah dikutip di atas itu).
Berfirman Allah SWT dalam Al Quran:
Innama- Yuriydu sySyaytha-nu an Yuwqi'a Baynakumu l'Ada-wata walBa'dha-a fiy lKhamri walMaysiri wayashuddakum 'an Dzikri Llahi wa'ani shShalawti faHal Antum Muntahuwna (S. Al Ma-idah, 91). Sesungguhnya setan berkehendak menjerumuskan kamu ke dalam jurang permusuhan dan kebencian di antara kamu dalam miras dan judi untuk menghalangi kamu mengingat Allah dan shalat, maukah kamu menghentikan perbuatan itu! (5:91).
Dalam Al Quran miras dan judi selalu dirangkaikan (2:219, 5:90, 5:91). Miras dan judi ada persamaannya, yaitu orang yang terjerumus, nalurinya selalu menagih dirinya untuk bermiras dan berjudi. Miras dan judi menyebabkan manusia menjadi ketagihan. Dalam hal zakat fithri semua makanan pokok (beras, jagung, sagu) dapat diqiyaskan pada gandum. Maka dalam hal minuman atau makanan apa saja yang menjebabkan orang ketagihan dapat diqiaskan pada al Khamru (miras). Permainan apa saja yang menyebabkan orang ketagihan dapat diqiaskan pada al Maysiru (judi).
Binatang mempunyai naluri mempertahankan kehidupan biologis dan melanjutkan keturunan (makan, minum, sex). Manusia di samping mempunyai naluri yang sama dengan binatang, juga masih mempunyai naluri untuk tidak pernah merasa puas. Pada binatang apabila kebutuhan biologisnya telah terpenuhi, puaslah ia. Singa betapapun buasnya jika telah kenyang, tidak akan menerkam. Akan tetapi manusia karena tidak ada rasa puasnya, walaupun sudah kenyang masih mau menerkam, sehingga manusia cenderung untuk jatuh lebih rendah derajatnya dari binatang.
Allah SWT memberikan ruh pada manusia yang tidak diberikanNya pada binatang. Karena manusia cenderung untuk tercampak derajatnya, maka perlu sekali ruh manusia senantiasa mampu mengendalikan nalurinya. Upaya setan (anak buah iblis) untuk menjerumuskan manusia ialah mengganggu jalur kendali dari ruh ke naluri manusia. Jika jalur kendali telah terganggu maka setan selanjutnya merangsang naluri manusia untuk menjadi ketagihan al Khamru (narkotika, miras, ekstasi) dan al Maysiru (judi dan permainan lain yang menimbulkan ketagihan), sebagai sasaran antara, dan selanjutnya menjerumuskan manusia ke dalam jurang permusuhan dan kebencian, sebagai sasaran lanjutan, yang akhirnya menghalangi manusia mengingat Allah dan shalat, sebagai sasaran akhir. WaLlahu A'lamu bi shShawab.
*** Makassar, 27 Oktober 1996
20 Oktober 1996
[+/-] |
246. Antara Anak Patah Dengan Kelereng |
Pada petang hari Kamis yang baru lalu anak-anak balita dan sedikit di atas balita ramai bermain-main kelereng di atas jalan komplex pemukiman, sehingga mengganggu kendaraan yang liwat. Orang-orang tua bocah-bocah itu memanggil anaknya ke rumah masing-masing. Bermacam gaya yang dipakai untuk menasihati agar mereka tidak bermain di tengan jalan karena berbahaya, walaupun jalan itu hanya jalan dalam komplex pemukiman. Ada yang menjewer telinga, ada pula yang melentik jari, ada yang menasihati dengan lemah lembut. Beberapa bocah yang masih berdiri di atas jalan karena luput dari perhatian orang tua mereka sehingga tidak ada yang memanggilnya, dipanggil masuk pekarangan oleh seorang nenek. Sang nenek menasihati bocah-bocah itu dengan gaya berceritera. "Cucu-cucuku, ada cerita nenek, apa cucu-cucuku mau dengar cerita?" "Mau nek", bocah-bocah itu ramai-ramai menjawab. Maka berceritalah sang nenek.
"Cucu-cucuku, pada bulan yang lalu nenek pergi bermalam di rumah anak nenek di Mariso. Di situ nenek menyaksikan kejadian yang ngeri sekali. Anak-anak kecil besarnya seperti cucu-cucuku ini sedang bermain kelereng di jalanan. Tiba-tiba datang sebuah sepeda motor, terus menabrak seorang anak. Langsung anak itu patah kakinya."
Belum sempat sang nenek mengunci ceritanya dengan kesimpulan betapa bahayanya bermain-main di jalanan, seorang bocah lebih dahulu memotong dengan pertanyaan: "Terus nek, siapa yang memungut kelereng anak-anak itu?" "Betul, betul nek, siapa yang memungut kelereng-kelereng itu," bocah-bocah yang lain ramai-ramai mendukung pertanyaan teman bocahnya, sambil bocah-bocah itu melirik ke jalan tempat mereka bermain sebelumnya. Di sana beserak-serak beberapa kelereng yang belum sempat dipungut.
Reaksi bocah-bocah terhadap cerita nenek di atas itu mengingatkan saya pada peristiwa penangkapan pilot di negeri Kincir Angin yang beritanya kini mulai mendingin, sudah tidak hangat lagi. Yang ramai-ramai diangkat dari peristiwa itu adalah perlakuan tidak wajar oleh polisi Belanda atas MS, pilot sang Garuda. Memang sudah sewajarnya kita menyatakan sikap terhadap perlakuan tidak wajar itu, menyayangkan, atau menyesalkan bahkan kalau perlu, mengutuk. Namun Pemerintah Belanda mengeluarkan pernyataan resmi, bahwa apa yang dituduhkan itu sesungguhnya tidak benar. Dan sebagaimana lazimnya pernyataan resmi selalu dikunci dengan untaian kata: bahwa semua apa yang dilakukan itu sesuai dengan prosedur yang berlaku.
Maka semuanya terpulang kepada kita mana yang akan kita percayai, keterangan dari personel kita di KBRI di negeri Kincir Angin itu, ataukan pernyataan resmi Pemerintah Belanda. Jika masing-masing berdiri di atas landasan semangat kebangsaan, maka tentu saja kita bangsa Indonesia akan lebih mempercayai keterangan dari KBRI kita itu, dan orang-orang Belanda akan lebih mempercayai keterangan resmi pemerintahnya. Di sini tidak berlaku asas (bukan azas!) praduga tak bersalah, melainkan praduga di atas landasan semangat kebangsaan. Dalam hubungannya dengan itu saya pertanyakan di atas landasan semangat apa yang diaplikasikan oleh Suryadi meragukan kejujuran dan ketelitian hasil jerih-payah Komnas HAM dalam memotret peristiwa 27 Juli itu.
Ada hal yang patut kita sayangkan, yaitu semangat keadilan dalam menanggapi peristiwa pilot sang Garuda tersebut. Mengapa yang ramai-ramai diangkat hanyalah perlakuan tidak wajar yang dituduhkan atas polisi Belanda itu. Mengapa jasa aparatur Kerajaan Belanda yang telah membongkar jalur penyeludupan ekstasi melalui udara itu tidak di angkat pula secara ramai-ramai dalam arena perbincangan pemberitaan. Kita telah menghakimi polisi Belanda itu bersalah. Seharusnya dari sisi lain kita patut berterima kasih kepada pemerintah Belanda atas jasanya membongkar jalur ekstasi itu. Kita berterima kasih itu bukan demi hukum, melainkan demi keadilan, salah satu nilai dasar yang tercantum dalam Pembukaan UUD-1945, bahkan salah satu dari kaidah agama.
Dengan tidak diangkatnya secara ramai-ramai jasa pemerintah Belanda dalam membongkar jalur penyeludupan ekstasi itu, terkesan masyarakat tidak serius dalam memerangi racun iblis yang mengancam generasi penerus kita itu. Ibarat cerita nenek yang ditanggapi bocah-bocah itu, yang ramai ditanggapi adalah kelereng yang tercecer, bukan bahaya main di jalanan. Bahkan ketidak-sungguhan memerangi ekstasi itu lebih terkesan lagi setelah saya membaca berita (Fajar, edisi 18 Oktober 1996, halaman 9), PH dari terdakwa CW, yaitu Padeng Gervanius SH dan Herman SH dalam risalah pembelaannya antara lain mengatakan bahwa keterangan ahli dan hasil penelitian Labkrim Polri dapat diketahui secara jelas dan pasti bahwa ekstasi tidak berbahaya bagi ketertiban masyarakat, karena pemakai ekstasi justru merasa damai dengan dunia sekitarnya.
Berbeda dengan adanya timbul kesan ketidak-sungguhan masyarakat dalam memerangi ekstasi itu, sebaliknya dari pihak Pemerintah dan DPR tidaklah demikian, ini dapat dilihat dari upaya membuat Undang-Undang anti ekstasi dan sebangsanya, giatnya kepolisian menggrebek tempat-tempat transaksi ekstasi, dan para terdakwa bandar dan pengedar ekstasi sudah diperhadapkan di meja hijau di mana-mana, tidak terkecuali di kota Makassar ini, sehingga mudah-mudahan saja sikap bersahabat dengan ekstasi itu tidak banyak penganutnya dalam kalangan PH khususnya.
Sehubungan dengan sikap tidak adil terhadap pemerintah Belanda yang hanya mengangkat beramai-ramai perlakuan polisi Belanda terhadap MS itu, sedangkan rasa terima kasih kita atas jasa aparatur Kerajaan Belanda dalam membongkar jalur ekstasi itu tidak diangkat, maka ada baiknya dikemukakan kaidah agama seperti difirmakan Allah SWT dalam Al Quran:
Ya-ayyuha- Lladziyna Amanuw Kuwnuw Qawwa-miyna LiLlahi Syuhada-a bilQisthi waLa- Yajrimannakum Syana-nu Qawmin 'alay Alla- Ta'diluw Huwa Aqrabu liTtaqway waTtaquw Llaha InnaLlaha Khabiyrun biMa- Ta'maluwna (S. Al Ma-idah, 8). Hai orang-orang yang beriman konsistenlah kamu karena Allah, menjadi saksi dengan keadilan. Janganlah kamu terseret oleh kebencian kepada suatu kaum sehingga kamu tidak berlaku adil, berlaku adillah karena keadilan itu lebih dekat kepada taqwa, dan taqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Tahu apa-apa yang kamu kerjakan (5:8).
WaLlahu A'lamu bi shShawab.
*** Makassar, 20 Oktober 1996
13 Oktober 1996
[+/-] |
245. Postpower Syndrome |
Adapun yang dimaksud dengan postpower syndrome adalah suatu gejala penyakit kejiwaan menyusul sirnanya kekuasaan yang pernah dipegang oleh seseorang. Kekuasaan yang pernah dipegangnya itu diberikan oleh suatu jabatan yang pernah didudukinya, ataupun oleh kekayaan yang pernah dimilikinya.
Terkenal dalam tarikh Islam, Jenderal Khalid ibn Walid diturunkan pangkatnya oleh Khalifah 'Umar ibn Khattab RA menjadi prajurit biasa. Alasan-alasan Khalifah menurunkan pangkat Khalid dari jenderal menjadi prajurit biasa telah dikemukakan dalam seri 108 pada 19 Desember 1993 yang berjudul: Dialog antara Kahalifah dengan Panglima Perangnya. Selang beberapa hari setelah Khalid menjadi prajurit biasa terjadi pertempuran melawan musuh. Dalam kontak senjata itu Khalid masih memperlihatkan kesungguhannya dalam bertempur. Sehabis pertempuran Khalid mendapat pertanyaan dari teman prajuritnya:
- Hai Khalid, mengapa engkau masih begitu bersungguh-sungguh bertempur?
Dengan singkat Khalid menjawab:
- Saya berjihad untuk mempertahankan Islam, bukan untuk 'Umar.
Kemudian Khalid dimutasikan oleh Khalifah ke front timur menjadi komandan regu. Pasukan Islam yang dipanglimai oleh Jenderal Sa'ad di front timur ketika itu terhambat karena menghadapi pasukan kavaleri gajah-gajah perang orang Parsi. Sebagai komandan regu Khalid bertempur dengan penuh kesungguhan. Bahkan ia menyumbangkan taktik bertempur melawan pasukan bergajah. Yaitu bukan gajahnya yang dipanah melainkan penunggangnya. Setelah penunggang yang mengendalikan gajah itu tewas baru gajahnya dipanah. Akibatnya gajah perang itu berbalik dan menginjak mencerai-beraikan pasukan infantri Parsi dibelakang barisan kavaleri gajah itu.
Itulah sebuah contoh dalam sejarah orang yang tidak dihinggapi penyakit postpwer syndrome.
Pernah diberitakan oleh harian-harian mengenai adanya beberapa anggota DPR yang tidak datang (malas?) menghadiri sidang berhubung nama mereka tidak ada lagi dalam daftar Caleg. Gejala ini adalah suatu pertanda jika kelak telah berhenti menjadi anggota DPR niscaya akan ditimpa penyakit postpower syndrome. Gejala penyakit kejiwaan itu dengan tepat tergambar seperti apa yang dinyatakan oleh baris kedua dan ketiga dalam bait ketiga dari syair lagu di bawah ini, karya almarhum Madong Lubis dalam buku yang berjudul Taman Kesuma, yaitu buku nyanyian untuk anak-anak.
Jikalau orang senang hidupnya,
martabat tinggi banyak hartanya.
Banyaklah orang datang padanya,
meminta tolong barang kadarnya.
Tiada ubah kayu yang rindang,
baik di hutan maupun di ladang.
Banyaklah burung datang bertandang,
mengambil buah telah terhidang.
Jikalau buah habis semua,
habis dimakan habis dibawa.
Tinggallah pohon sangat kecewa,
tiada suka lagi tertawa.
Bercorak ragam sikap dan tingkah laku yang menggejala dari penyakit postpower syndrome itu.
Ada yang seperti pohon yang sudah tidak berbuah lagi seperti dalam syair lagu di atas itu. Kerjanya duduk bermuram durja, tiada suka lagi tertawa, mengingat kejayaannya di masa silam (tempo doeloe) yang kini sudah sirna, cuma tinggal kenangan. Orang-orang peranakan Indo-Belanda turunan orang-orang Belanda pemilik-pemilik onderneming (perkebunan karet, teh, dll) yang pernah jaya sebelum kemerdekaan Indonesia termasuk dalam golongan ini. Termasuk dalam jenis ini orang-orang pribumi bekas pegawai Hindia Belanda yang telah hilang jabatannya pada waktu revolusi kemerdekaan. Hal ini digambarkan dengan tepat dalam film Bandung Lautan Api yang pernah ditayangkan di televisi baru-baru ini. Seorang ayah yang menderita penyakit postpower syndrome ini dengan sinis menyentil anaknya dan para pejuang lainnya dengan mengatakan bahwa kok mengurus kelurahan saja tidak becus apalagi mau merdeka mengurus negara.
Ada pula yang tidak mau menerima, atau belum sadar akan kenyataan bahwa ia sudah dalam keadaan pascakuasa (postpower), sehingga sikap dan tingkah lakunya masih meneruskan kegiatan yang biasanya ia lakukan pada waktu masih menjadi "sebagai" terhadap orang-orang dekatnya. Ada seorang mantan dekan fakultas setiap hari keranjang tempat membuang kertas-kertas sampah dalam kamar yang dianggapnya kamar kerja penuh berisi dengan nota-nota instruksi kepada anak isterinya bahkan kepada pembantunya di rumah.
Ada seorang mantan wali kota selalu dihantui oleh keinginan tahu apakah ia masih tetap dikenal oleh mantan penduduk kotanya, walaupun telah berhenti jadi wali kota. Ia menelusuri jalan-jalan menahan abang-abang becak untuk menanyai mereka itu apakah mereka masih mengenal bekas wali kotanya. Selama ia menjabat wali kota memang ia menonjol karena kreativitasnya yang unik dan kontroversial. Ia berhasil mengembangkan kotanya dalam arti pembangunan fisik dengan penuh dinamika, walaupun pada waktu itu pemerintah pusat menempuh kebijakan keuangan ketat (tight money policy).
Dalam konteks penyakit Postpower Syndrome ini, bacalah Firman Allah:
-- Wa Tilka lAyya-mu Nuda-wiluha- bayna nNa-si (S. Ali 'Imra-n, 140). Hari-hari kejayaan itu dipergilirkan di antara manusia (3:140).
Kejayaan yang dipergilirkan, itulah SunnatuLLah yang harus diimani kebenarannya oleh orang-orang beriman. Menghayati Aturan Allah SWT tentang kejayaan yang dipergilirkan itu, adalah terapi yang paling mujarrab atas penyakit kejiwaan Postpower Syndrome. WaLlahu A'lamu bi shShawab.
*** Makassar, 13 Oktober 1996
6 Oktober 1996
[+/-] |
244. Pengembangan Teknologi yang Sarat Bermuatan Nilai, Apakah Ada Batasnya? |
Untaian kata pengembangan teknologi mengandung muatan nilai, oleh karena mestilah dijawab pertanyaan untuk apa dan ke arah mana pengembangan itu? Bahkan pengertian teknologi itu sendiri tidak luput dari muatan nilai. Teknologi adalah suatu proses pengolahan barang atau komoditi. Bagaimana mengolahnya? Jawaban pertanyaan bagaimana ini bermuatan nilai, yaitu secara tradisional yang padat karya, atau secara lebih maju (advanced) yang seimbang antara padat karya dengan padat modal, atau secara canggih (sophisticated) yang padat modal.
Diolah untuk apa? Jawaban pertanyaan untuk apa ini juga bermuatan nilai, yang dalam hal ini nilai kegunaan dan nilai ekonomis. Komoditi itu diolah untuk mendapatkan nilai tambah. Jadi teknologi adalah proses pengolahan komoditi untuk memperoleh nilai tambah. Contohnya: Logam diolah secara tradisional menjadi kompor minyak tanah. Hasil pengolahan berupa kompor munyak tanah ini mempunyai nilai tambah ketimbang logam yang belum diolah. Dengan teknologi yang lebih maju logam itu dapat diolah menjadi kompor gas. Kompor gas nilai tambahnya lebih tinggi dari kompor minyak tanah. Logam itu dapat diolah dengan teknologi canggih menjadi pesawat terbang. Nilai tambah pesawat terbang jauh lebih tinggi dari kompor gas. Makin canggih teknologi dikembangkan, makin tinggi pula nilai tambah yang diperoleh, sehingga ada kecenderungan untuk mengembangkan terus kecanggihan teknologi dalam suatu negara, oleh karena hal itu akan meningkatkan Gross National Product dari negara yang bersangkatan.
Maka timbul pertanyaan: Apakah pengembangan teknologi ada batasnya? Dan kalau ada apakah yang membatasinya?
***
Perintah membaca: Iqra biSmi Rabbika (S. Al 'Alaq, 1), bacalah atas nama Maha Pengaturmu (96:1), bermakna perintah untuk mengkaji Al Quran (ayat-ayat Qawliyah) dan alam syahadah (ayat-ayat Kawniyah), haruslah didahului dengan Basmalah. Dengan sistem pendidikan kita sekarang yang menempatkan kedua jenis ayat itu dalam posisi dua kutub yang terpisah, membawa akibat apabila orang Islam membaca Al Quran didahului dengan Basmalah, akan tetapi kalau membaca alam syahadah tidaklah didahului dengan Basmalah. Adalah suatu kenyataan, pada umumnya guru dan murid, dosen dan mahasiswa tidaklah mengingat nama Allah SWT tatkala mengajar dan belajar di kelas pada lembaga pendidikan umum sewaktu mengkaji alam semesta. Ini adalah suatu kenyataan yang pahit dari segi pendidikan yang harus kita akui, yaitu kurangnya kesadaran akan nilai akhlaq dalam mengkaji ayat Kawniyah.
Manusia dalam statusnya sebagai khalifah Allah SWT di atas bumi ini akan berurusan dengan ayat-ayat Kawniyah yang dapat distratifikasikan sebagai: alam sekitar (surronding), sumber-daya alam (natural resources) dan lingkungan hidup (biosphere).
Alam sekitar adalah ayat Kawniyah yang belum dijamah manusia, kecuali untuk sumber informasi bagi ilmu pengetahuan. Tetapi itu tidak berarti bebas nilai, oleh karena sudah menyentuh keinginan manusia, yaitu dipilih sebagai sumber informasi untuk ilmu pengetahuan. Jadi sejak semula ilmu pengetahuan itu tidaklah bebas nilai. Awan di udara adalah alam sekitar, sumber informasi, dipelajari dalam ilmu fisika bagaimana terjadinya hujan. Tidak bebas nilai oleh karena dipilih untuk dikaji, yang menghasilkan teknologi menabur awan guna kepentingan manusia.
Sumber-daya alam adalah ayat Kawniyah yang sudah sarat dengan nilai, dengan keinginan manusia untuk memanfaatkannya. Awan yang bergumpal-gumpal di udara yang ditabur dengan es kering atau iodida perak adalah sumber-daya alam. Hasil menabur awan itu adalah hujan yang dimanfaatkan untuk kebutuhan air manusia.
Lingkungan hidup adalah ayat Kawniyah yang mempunyai ciri yang disebut hidup, sehingga sangat sarat bermuatan nilai. Pengertian hidup di sini jangan dikacaukan dengan makna hidup yang hakiki. Sangat sederhana pengertiannya, yaitu makhluk Allah yang dapat makan (termasuk minum dan bernafas), mengeluarkan kotoran, bertumbuh dan berkembang biak. Maka termasuklah di dalamnya tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia.
Makin canggih teknologi dalam proses pengolahan akan membutuhkan energi yang lebih banyak. Kebutuhan energi secara global makin meningkat. Sumber energi berupa bahan bakar fosil dan panas bumi ditambah dengan energi matahari, angin, arus laut, ombak, energi pasang-surut sudah mulai tidak memadai lagi untuk melayani pertumbuhan industri. Bahkan persediaan minyak bumi sudah semakin menipis, sehingga digalakkan sekarang pemakaian batu-bara. Maka orang menoleh kepada bahan bakar nuklir, yakni sumber energi yang terkandung dalam mikro-kosmos, ke dalam inti atom, yang secara populer dikenal dengan ungkapan tenaga nuklir.
Memenuhi kebutuhan energi oleh dunia industri dengan mempergunakan bahan bakar nuklir baru diterima orang dengan sikap enggan, tidak sepenuh hati. Trauma kebocoran di PLTN Chernobyl beberapa tahun lalu di Uni Sovyet sehingga terjadi pencemaran radiasi pada daerah yang luas sekelilingnya, masih dirasakan orang ibarat monyet di punggung. Dalam waktu-waktu yang akan datang jika PLTN ini makin mengglobal, maka globa kita ini makin terbebani oleh sampah nuklir, dan pengembangan teknologi tertumbuk pada krisis energi.
Maka pertanyaan apakah pengembangan teknologi ada batasnya, dan kalau ada apakah yang membatasinya, terjawablah sudah. Ada tiga batasnya. Pertama, dibatasi oleh kondisi sosiologis yaitu teknologi canggih yang padat modal menghemat tenaga manusia sehingga meningkatkan jumlah pengangguran. Kedua, dibatasi oleh kemampuan dari globa untuk memikul beban pencemaran utamanya sampah nuklir. Ketiga, dibatasi oleh krisis energi.
Alhasil mengkaji ayat Kawniyah umumnya, mengembangkan teknologi khususnya, tidaklah berbeda dengan mengkaji ayat Qawliyah, haruslah berangkat dari Basmalah: Iqra biSmi Rabbika, supaya timbul kesadaran akan nilai akhlaq berupa amanah Allah SWT kepada manusia sebagai kahlifahNya, yaitu dalam memanfaatkan sumber-daya alam, selalu ingat akan persyaratan tidak boleh sekali-kali melupakan tanggung jawabnya untuk memelihara lingkungan hidup. WaLlahu A'lamu bi shShawab.
*** Makassar, 6 Oktober 1996
29 September 1996
[+/-] |
243. Orang Arab, Yahudi dan Yeruzalem |
Seri ini adalah lanjutan seri 107 yang berjudul: Israil, Baniy Israil dan Israiliyat. Kata Yahudi (Huwdun, Jew, Jood) diambil dari nama kerajaan bagian selatan Palestina, yaitu Kerajaan Yahuza atau Yudah, yang penduduknya terdiri atas suku Judah dan Bunyamin. Bangsa ini berasal dari orang Ibrani yang termasuk bangsa 'Ibriyah, bangsa penyeberang. Dalam hieroglyph, orang-orang Mesir kuno menyebut orang 'Ibrani dengan Habiru (sekarang Hebrew), yakni berpola pada sebutan 'Ibri atau 'Ibriyah, yang akar katanya dibentuk oleh 'ain, ba dan ra, 'abara artinya menyeberang lembah atau sungai. Seperti yang telah dijelaskan dalam seri 152, bangsa 'Ibriyah terdiri atas 'Ibriyatu lQadiymah (Proto 'Ibriyah) dan 'Ibriyatu lJadiydah (Deutro 'Ibriyah). 'Ibriyatu lQadiymah lebih dikenal dalam sejarah dengan nama Finiqiyah (Phunicia). Bangsa 'Ibriyatu lQadiymah berasal dari Jaziyratu l'Arabiyah, menyeberang lembah ke utara ke pesisir Asia Kecil dan akhirnya menjadi pedagang dan pelaut ulung, yang menguasai L.Tengah (Mediterranean). Bangsa 'Ibriyatu lJadiydah, berasal dari Ur menyeberang lembah dan sungai dipimpin oleh Nabi Ibrahim AS.
Sekitar 1750 Sebelum Miladiyah (SM) Nabi Ibrahim AS di Palestina. Nabi Ibrahim AS membawa puaknya mengembara di Asia Kecil, ke Mesir, ke Sinai, ke Arabia. Nabi Ibrahim AS mempunyai tiga orang isteri. Sitti Sarah isteri pertama melahirkan Nabi Ishaq AS putera kedua, yang memperanakkan Nabi Ya'qub AS atau Israil, sehingga keturunannya disebut Bani Israil. Sitti Hajar isteri kedua melahirkan Nabi Isma'il AS putera sulung yang menurunkan Bani Ismail, yaitu bangsa Arab. Dan Sitti Katurah isteri ketiga melahirkan Madyan putera bungsu. Bani Madyan bermukim di Sinai hanya tercatat sampai Nabi Syu'aib AS, mertua Nabi Musa AS. Menurut Al Quran bangsa Madyan ini punah kena hukuman Allah, karena curang dalam timbangan.
Sitti Sarah adalah sepupu Nabi Ibrahim AS, jadi orang 'Ibrani juga. Sitti Hajar adalah puteri Raja Gembala (Hyksos) penguasa Mesir yang mengalahkan Firaun terakhir dari Dinasti XIV dan memutuskan rantai Dinasti Fir'aun. Sitti Katurah berasal dari Sinai.
Hyksos yang menguasai Mesir (1700 - 1550) SM berasal dari Kan'an. Karena Hyksos itu adalah bangsa 'Ibriyah, maka itulah sebabnya Nabi Ibrahim AS diambil jadi menantu. Tiga generasi kemudian Hyksos memberi izin menetap kepada orang-orang Habiru di delta s. Nil (Goschen), atas upaya Nabi Yusuf AS.
Dinasti Firaun kembali menguasai Mesir setelah mengalahkan dinasti Hyksos (1550 SM). Setelah itu dinasti Firaun mulai mendominasi bangsa-bangsa tetangganya (1500 - 1224) SM. Dinasti Firaun menekan orang Ibrani kemudian memperbudaknya. Hal ini mudah difahami, oleh karena orang Ibrani serumpun dengan bangsa Hyksos, musuh bebuyutan dinasti Firaun. Tahun 1224 SM orang Ibrani hijrah dari Mesir dipimpin oleh Nabi Musa AS. Tahun itu juga merupakan akhir dominasi Mesir, dengan ditenggelamkannya Firaun Merne Ptah oleh Allah SWT di Laut Merah.
Sekitar 1020 SM Thalut (Saul) menjadi raja yang pertama Bani Israil. Tahun 998 SM Nabi Daud AS (menantu Thalut) menjadi raja atas seluruh Palestina, setelah menaklukkan Jeruzalem dan menjadikannya ibu kota kerajaan.
Nabi Daud AS digantikan oleh puteranya yaitu Nabi Sulaiman AS menjadi raja. Setelah Nabi Sulaiman AS wafat tahun 926 SM, maka Palestina yang telah dipersatukan oleh Nabi Daud AS, pecah menjadi Kerajaan Israil di utara dan Kerajaan Yahuza di selatan, masing-masing dengan ibu kota Samaria dan Jeruzalem. Tahun 721 SM Samaria ditaklukkan oleh bangsa Asysyria dan penduduknya yang terdiri atas 10 suku dibawa pergi semuanya oleh penakluk itu. Inilah yang disebut 10 suku bangsa Israil yang hilang (Ten Lost Tribes of Israel). Dalam tahun 586 SM Kerajaan Yudah ditaklukkan oleh bangsa Babilonia. Penaklukan Jeruzalem ini dapat kita baca dalam Al Quran: Faja-suw Khila-la dDiya-ri( S.Bany Isra-iyl, 5), lalu mereka menjarah dalam negeri, (17:5). Atas perintah Raja Nebukadnezar semua penduduk Yeruzalem diboyong ke Babilonia, namun pada 538 SM mereka dimerdekakan dan dikembalikan ke Yeruzalem oleh Cyrus, raja Parsi, seorang penganut agama Zarathustra yang taat.
Dalam tahun 65 SM Pompey menaklukkan Palestina dan dijadikannya provinsi dari Kerajaan Romawi. Kemudian orang Yahudi berontak, namun ditindas oleh Titus dalam tahun 70 M. Yeruzalem dibinasakan, yang tertinggal hanyalah sebuah puing dinding dari Haikal Sulaiman. Penaklukan Jeruzalem yang kedua ini dapat kita baca dalam Al Quran: Liyasuwu Wujuwhakum waLiayadkhulu lMasjida Kama- Dakhaluwhu Awwala Marratin (S.Bany Isra-iyl, 7), sehingga mereka mencoreng mukamu dan mereka memasuki masjid sebagaimana mereka telah memasukinya pada kali yang pertama (17:7). Masjid yang dimaksud dalam ayat itu adalah BaytulMuqaddas (Rumah yang dikuduskan = Haikal Sulaiman?), kiblat ummat Islam yang mula-mula.
Sejak tahun 70 M orang-orang Yahudi berserak-serak dalam wilayah kekaisaran Romawi, bahkan ada yang ke Selatan ditampung oleh sepupunya dari Bani Ismail, yaitu orang-orang Arab Madinah, bahkan diizinkan mendirikan benteng. Dalam perang Khandaq mereka menghianati ummat Islam, yaitu secara diam-diam membantu kaum kafir Quraisy yang mengepung Madinah, padahal ada perjanjian antara ummat Islam dengan orang-orang Yahudi itu untuk bersama-sama mempertahankan Madinah dari serangan kaum kafir Quraisy. Pengkhianatan orang-orang Yahudi itu sangat membahayakan kedudukan ummat Islam, karena lini pertahanan kota Madinah itu terdiri atas khandaq (parit), pohon-pohon kurma dan benteng orang-orang Yahudi itu. Setelah para pengepung kafir Quraisy mundur dari Madinah disebabkan pertolongan langsung dari Allah SWT dengan turunnya angin ribut pada waktu malam, disertai dengan hawa yang sangat dingin, maka orang-orang Yahudi itu diusir, dan itulah akhir pemukim Yahudi di Madinah.
Dewasa ini orang Yahudi yang mendirikan negara Israel mengklaim Yeruzalem adalah miliknya. Pada hal orang Arab lebih dahulu datang ke Palestina, karena orang Arab adalah campuran 'Ibriyah Deutro (Nabi Ibrahim AS) dengan 'Ibriyah Proto (Sitti Hajar), sedangkan orang Yahudi adalah 'Ibriyah Deutro (Nabi Ibrahim AS + Siti Sarah). Jadi sesungguhnya Yeruzalem itu adalah milik bersama orang Arab dan Yahudi, sehingga seharusnya Yeruzalem Timur (Kota tua) masuk Negara Arab Palestina dan Yeruzalem Barat masuk Negara Yahudi Israel. WaLlahu A'lamu bi shShawab.
*** Makassar, 29 September 1996
22 September 1996
[+/-] |
242. Antara Ibnu Khaldun dengan Silalahi dalam Konteks Berprilaku Ilmiyah |
Dalam seri 241 hari Ahad yang lalu antara lain telah dikemukakan metodologi penelitian Ibnu Khaldun yang berpangkal pada Ayat Qawliyah dan mengadakan stratifikasi daerah penelitiaannya. Yaitu Ibnu Khaldun membagi daerah penelitiannya dalam lima daerah, yaitu daerah yang jauh ke selatan yang sangat panas, yang jauh ke utara yang sangat dingin daerah selatan yang dekat yang kurang panasnya, daerah utara yang dekat yang kurang dinginnya dan daerah pertengahan yang sedang panas dan dinginnya.
Walaupun Ibnu Khaldun hidup sangat jauh dari zaman didapatkannya ilmu statistik yang merupakan ilmu bantu yang sangat penting dalam penelitian baik dalam disiplin ilmu eksakta maupun non-eksakta, ia telah melakukan kegiatan ilmiyah, mengadakan stratifikasi daerah penelitiaannya, salah satu unsur ilmu statistik dalam prihal pengambilan sampel (sample, proefstuk).
***
Selanjutnya akan dikutip sebagian kecil dari seri 150 tertanggal 23 Oktober 1994 yang berjudul: Ujicoba yang Mubadzdzir. Seorang teknisi membuat ujicoba yang mubadzdzir. Ia melihat gampangnya saja. Ia merasa sudah cukup dengan melihat data input tekanan fluida kerja dan daya output yang dikonversikan oleh sebuah turbin air. Ia kemudian membuat turbin uap dengan data input dan daya output yang sama dengan data input dan daya output pada turbin air itu. Ia mempergunakan material turbin uap yang sama dengan material turbin air itu, sebab ia pikir data input dan daya outputnya sudah sama.
Apa yang terjadi, setiap selesai membuat turbin uap kemudian mengadakan ujicoba, hasilnya selalu gagal, sudu-sudunya patah. Apabila konstruksi turbin uap yang demikian itu disodorkan kepada seorang yang mengerti, yaitu sarjana teknik mesin, ia tidak akan mau mengadakan ujicoba. Kalau sarjana teknik mesin itu tahu sedikit tentang sastera, ia akan mengatakan:
Arang habis, besi binasa.
Tukang bekerja, penat saja.
Atau dengan bahasa Al Quran: Mubadzdzir. Ini dilarang Allah: wa La- Tubadzdzir Tabdziyran (S.Isra-, 26). Janganlah kamu
menghambur-hamburkan (tenaga, pikiran dan dana) secara boros (17:26).
Mengapa ujicoba itu selalu gagal? Turbin uap itu akan mengalami tegangan termal (thermal stress), sedangkan pada turbin air tidak, oleh karena keduanya beroperasi dalam kondisi suhu yang berbeda.
Dalam hal ujicoba lima hari kerja itu tidak ubahnya dengan perumpamaan di atas: turbin air dan turbin uap. Ujicoba lima hari kerja itu ternyata tanpa perhitungan cermat lebih dahulu, ibarat ujicoba yang dikerjakan oleh sang teknisi di atas tadi. Orang-orang yang diujicoba itu tak ubahnya sebagai material pada turbin itu. Yaitu orang-orang pada negara maju ibarat material pada turbin air. Orang-orang di Indonesia ibarat material pada turbin uap. Orang-orang di sini mengalami thermal stress, karena ruang kerjanya tidak ber-AC. Maka sesungguhnya tidaklah perlu mengadakan ujicoba, seperti sikap sarjana teknik mesin yang disodorkan padanya turbin uap dengan material yang sama dengan turbin air. Sebab insya Allah akan gagal, seperti gagalnya ujicoba yang dikerjakan oleh teknisi di atas itu. Sekian kutipan bagian yang dipersingkat dari seri 150 itu.
Baru-baru ini melalui media elektronik visual yang disebut televisi Menteri Silalahi secara resmi membantah pendapat umum yang beranggapan bahwa hari kerja lima hari itu sudah merupakan suatu keputusan. Ia meluruskan pendapat umum itu dengan omongan bahwa itu bukan keputusan, melainkan baru ujicoba. Setelah dievaluasi, demikian omongannya, ternyata hanya cocok di Jakarta saja. Artinya ujicoba itu menunjukkan kegagalan teori lima hari kerja, karena ternyata kinerja dan etos kerja PNS bukan bertambah seperti yang diharapkan, melainkan dalam kenyataannya menurun.
Kalau benar itu baru merupakan ujicoba ada yang patut disesalkan. Yaitu metode pelaksanaan ujicoba itu membawa akibat biaya tinggi, terjadi pemborosan. Mengapa seluruh populasi diujicoba. Memang ada pengecualian, yaitu sekolah-sekolah tidak diujicoba. Namun maksud Silalahi semula, betul-betul seluruh populasi, tidak terkecuali sekolah-sekolah. Urungnya sekolah-sekolah menjalani ujicoba itupun karena dilarang oleh Presiden atas saran para alim-ulama.
Silalahi telah mengabaikan salah satu aspek yang penting dalam pembangunan, yaitu modernisasi dalam konteks pemanfaatan ilmu dan teknologi dalam pembangunan. Ada yang terlecehkan dalam ujicoba itu. Yaitu untuk menghemat dana dan daya tidaklah perlu untuk mengujicoba seluruh populasi. Mengapa melecehkan ilmu statistik, yaitu mengapa populasi itu tidak diperciut dengan
mangambil sampel saja secara acak dengan stratifikasi terlebih dahulu? Mengapa Silalahi sampai hati untuk tidak menggubris ilmu bantu yang dapat menghemat biaya dan tenaga itu? Ataukah ungkapan ujicoba itu hanya sekadar kilah untuk menegakkan benang basah, mencoba membungkus kenyataan banyaknya dana dan daya yang terbuang percuma akibat "uji-coba" lima hari kerja itu?
Ada sedikit catatan tambahan, yaitu penggunaan ungkapan modernisasi di atas itu dengan modernisme dalam seri 241 yang lalu. Yang dimaksudkan dengan modernisasi adalah pemanfaatan ilmu dan teknologi dalam pembangunan untuk mendapatkan kinerja (efisiensi, efektivitas, produktivitas) yang lebih tinggi, dengan mengingat dalil dari kaidah agama:
WalalAkhiratu Khayrun Laka mina lUwlay (S. Adh Dhuhay, 4). Yang akhir itu lebih baik dari yang lalu (93:4).
Sedang yang dimaksud dengan modernisme adalah suatu aliran filsafat, bahkan di dunia barat banyak yang menganggapnya sebagai pandangan hidup. Modernisme berakar pada pencerahan (Aufklarung), artinya pencerahan adalah cikal bakal modernisme yang berintikan prinsip reasoning, yaitu empirisme dan positivisme. Ajaran Islam tidak menolak, bahkan sangat menekankan reasoning, menekankan empirisme dalam bingkai tertentu. Namun menolak positivisme yang mengabaikan bahkan menafikan Yang Ghaib dan alam ghaib, yang tak dapat dideteksi oleh pancaindera secara langsung, maupun yang melalui hasil deteksi oleh instrumen. Tegasnya ajaran Islam menolak sikap agnostik dan ateis. WaLlahu A'lamu bi shShawab.
*** Makassar, 22 September 1996
15 September 1996
[+/-] |
241. Pendekatan Ibnu Khaldun dalam Bidang Sejarah dan Sosiologi |
Abdurrahman Ibnu Khaldun (732 H - 808H) atau (1332 M - 1406 M), lahir di Tunisia. Ia mencapai usia 76 tahun menurut kalender Hijriyah, atau 74 tahun menurut kalender Miladiyah. Perbedaan dua tahun itu disebabkan oleh perbedaan penanggalan sistem qamariyah (peredaran bulan mengelilingi bumi) dengan sistem syamsiyah (peredaran bumi mengelilingi matahari). Dalam satu tahun syamsiyah terdapat perbedaan 10 atau 11 hari, sehingga dalam sekitar 33 tahun syamsiyah terjadi perbedaan satu tahun.
Ibnu Khaldun terjun dalam gelanggang politik, menulis sejarah dan menyumbangkan pemikiran orisinel tentang filsafat sejarah, bahkan ia terkenal pula sebagai sesepuh peletak dasar ilmu pengetahuan modern dalam bidang sosiologi. Ia dilahirkan di Tunisia dari keluarga yang berasal dari Andalusia yang berpindah dari Sevilla ke Tunisia dalam pertengahan abad ketujuh Hijriyah. Jika asal-usulnya ditelusuri terus ke belakang, maka ia berasal dari Yaman, keturunan Ibnu Hajar.
Ibnu Khaldun membuat karya tentang pola sejarah dalam bukunya yang terkenal Muqaddimah, yang dilengkapi dengan kitab Al I'bar yang berisi hasil penelitian mengenai sejarah bangsa Berber di Afrika Utara. Dalam Muqaddimah itulah Ibnu Khaldun membahas tentang filsafat sejarah dan soal-soal prinsip mengenai timbul dan runtuhnya negara dan bangsa-bangsa.
Adalah suatu hal yang sangat disayangkan ialah para pakar ummat Islam dalam bidang sejarah dan sosiologi kurang berminat dalam menyimak pendekatan Ibnu Khaldun dalam Bidang Sejarah dan Sosiologi, seperti dalam judul di atas itu. Dalam ulasannya Ibnu Khaldun berangkat dari postulat yang sangat asasi yaitu iman. Ibnu Khaldun memberikan nilai Tawhid dalam ilmu pengetahuan filsafat sejarah dan ilmu kemasyarakatan.
Jadi sangat berbeda dengan filsafat ilmu pengetahuan yang berlandaskan filsafat positivisme yang dilahirkan oleh pandangan hidup modernisme seperti yang dianut oleh pakar baik oleh yang bukan Muslim maupun yang Muslim yang tidak menyadari akan "penjajahan" filsafat positivisme yang mempengaruhi disiplin berpikir dalam berilmu. Sehingga jika orang memakai pendekatan yang berlandaskan iman akan mendapat cap tidak ilmiyah. Demikianlah iman diperlakukan oleh para pakar kita yang Muslim. Kalau mau mengadakan pendekatan yang ilmiyah, iman disimpan dahulu di luar kawasan disiplin ilmu yang bersangkutan. Inilah dilemma bagi para pakar kita.
Kita ambil perbandingan seperti misalnya dalam bidang ilmu kedokteran mengenai definisi tentang mati. Orang mati katanya apabila otaknya sudah tidak berfungsi lagi. Iman ataupun nilai Tawhid disimpan di luar kawasan definisi ini. Apabila ilmu pengetahuan itu dimerdekakan dari pandangan hidup modernisme yang melahirkan filsafat positivisme itu, kemudian diberi nilai Tawhid maka definisi mati itu akan berbunyi: Orang mati adalah orang yang telah dicabut atau dipisahkan ruh dari jasadnya oleh malakulmaut yang mendapat perintah dari Allah SWT, dan ini dapat dideteksi dengan tidak berfungsinya lagi otak yang bersangkutan.
Berikut ini akan diberikan contoh bagaimana pendekatan Ibnu Khaldun yang berpangkal pada Ayat Qawliyah:
Sunnata Llahi fiy Lladziyna Khalaw min qablu wa Lan Tajida liSunnati Llahi Tabdiylan (S. Al Ahza-b, 62). Inilah SunnatuLlah pada orang-orang dahulu kala dan tiada engkau peroleh SunnatuLlah itu berubah-ubah (33:62).
Berdasarkan postulat dalam ayat itu bahwa SunnatuLlah yang berlaku pada orang-orang baik mengenai keadaan fisik manusia maupun dalam sejarah bangsa-bangsa yang tidak berubah-ubah itu, Ibnu Khaldun meneliti untuk dapat mengungkapkannya. Ia membagi daerah penelitiannya dalam lima daerah, yaitu daerah yang jauh ke selatan yang sangat panas, yang jauh ke utara yang sangat dingin daerah selatan yang dekat yang kurang panasnya, daerah utara yang dekat yang kurang dinginnya dan daerah pertengahan yang sedang panas dan dinginnya. Ia mendapatkan kesimpulan adanya pengaruh iklim atas keadaan fisik manusia khususnya warna kulit dan rambut. Dari warna hitam legam pada daerah yang jauh ke selatan berangsur-angsur berubah menjadi warna lebih ringan pada daerah selanjutnya hingga menjadi warna putih dan pirang pada rambut pada daerah utara yang dekat dan akhirnya menjadi bule baik pada kulit maupun rambut pada daerah yang jauh ke utara. Ia membantah pendapat yang umum pada waktu itu bahwa warna hitam itu disebabkan mereka itu adalah keturunan Ham salah seorang anak Nabi Nuh AS yang dikutuk oleh bapaknya. Hal itu dijelaskan dalam Tawrat bahwa Nabi Nuh AS melaknat puteranya yang bernama Ham itu, akan tetapi di situ tidak ada hubungannya dengan masalah warna hitam itu. Berdasarkan hasil temuannya dalam penelitian itu Ibnu Khaldun membantah teori yang berbau rasial pada waktu itu yang menghubungkan antara kutukan dengan warna kulit.
Andaikata Ibnu Khaldun dapat melihat negara Israel sekarang ini, ia akan bergembira melihat hasil ungkapannya itu. Orang-orang Yahudi yang berasal dari daerah panas berbeda warna kulitnya dengan yang berasal dari daerah yang beriklim dingin. Orang Yahudi yang berasal dari Ethopia berkulit hitam, sebaliknya orang Yahudi yang berasal dari Rusia berkulit putih, padahal mereka itu berasal dari Israil atau Nabi Ya'qub AS.
Demikian pula dari hasil penelitiaannya ia dapat mengungkapkan SunnatuLlah yang tidak berubah-ubah itu pada penduduk desa dan kota antara lain seperti berikut: orang desa lebih berani dan lebih bersemangat daripada orang kota, penduduk desa lebih dekat pada kebajikan dan lebih mudah pula menerima kebajikan daripada penduduk kota.
Demikianlah sekelumit keterangan tentang metodologi penelitian Ibnu Khaldun. Ia meneliti sejarah dan masyarakat tidak berangkat dari keadaan polos, ia juga tidak berangkat dari hipotesa, melainkan ia berangkat dari postulat yang diambil dari Ayat Qawliyah, ia berangkat dari iman, ia memberikan nilai Tawhid dalam ilmu pengetahuan. Alangkah eloknya jika para pakar Muslim dapat mengikuti jejak Ibnu Khaldun, sehingga dari segi filsafat, ilmu pengetahuan itu dapat memerdekakan diri dari filsafat positivisme, anak dari pandangan hidup modernisme yang agnostik itu. WaLlahu A'lamu bi shShawab.
*** Makassar, 15 September 1996
8 September 1996
[+/-] |
240. Adam dan Hawa di Taman |
Di kamar tamu dalam rumah saya terpampang di dinding gambar Sitti Hawa sedang berbaring berisitrahat di dalam taman, hasil sulaman isteri saya berukuran 150 x 90 cm. Baru-baru ini seorang tamu mempermasalahkan gambar itu, mengapa dalam taman itu terdapat tiga ekor menjangan. Bukankah binatang tidak mempunyai ruh, sehingga di dalam surga atau taman Firdaus tidak ada
binatang?
Hemat saya jawaban pertanyaan yang saya berikan kepadanya perlu saya tulis di kolom ini supaya tersiar lebih meluas, oleh karena memang pada umumnya orang berpendapat bahwa Adam dan Hawa mula-mula berada dalam taman Firdus atau surga di akhirat yang kelak akan ditempati oleh hamba-hamba Allah yang selamat. Artinya yang mula-mula di tempati oleh kakek dan nenek kita adalah di dalam Jannah, dan itu tidaklah di atas muka bumi ini.
Jannah, akar katanya dari tiga huruf: jim, nun, nun, yang arti dasarnya tidak dapat ditangkap mata, terlindung, terhalang. Suatu waktu tatkala saya masuk ke dalam rumah guru saya Allahu Yarham Al Ustadz DR S. Majidi, waktu itu beliau masih hidup, di papan tulis tertera tulisan jim, nun, nun dengan beberapa kata turunannya: Jinn, Jannah, Mujannah, Janin, Majnun. Jinn artinya makhluk yang tak dapat ditangkap oleh mata kasar, Jannah artinya tempat yang terlindung dari sinar matahari, yaitu taman, Mujannah alat yang melindungi diri dari tebasan pedang musuh, perisai, Janin yaitu makhluk yang akan menjadi manusia yang masih terlindung di dalam rahim, Majnun, orang yang pikirannya terhalang dari dunia nyata, orang gila.
Apa yang dimaksud Jannah dalam Al Quran?
-- WALDzYN aAMNWA W’AMLWA ALShLhT AWLaK AShhB ALJNt HUM FYHA kHLDWN (S. ALBQRt, 2:82), dibaca (tanda – dipanjangkan membacanya):
-- walladzi-na a-manu- wa ‘amilush sha-liha-ti ula-ika ashha-bul jannati hum fi-ha- kha-lidu-n (s. albaqarah) artinya: -- Dan orang-orang yang beriman serta beramal saleh, mereka itu penghuni jannah; mereka kekal di dalamnya.
-- ‘ANDHA JNt ALMAWY (S. ALNJM, 53:15), dibaca:
-- ‘indaha- jannatul ma-wa- (s. annajmu), artinya:
-- di dekatnya ada syurga tempat tinggal,
Selanjutnya marilah kita perhatikan ayat yang berikut:
-- WMTsL ALDzYN YNFQWN AMWALHM ABTGhAa MRDhAT ALLH WTTsBYTA MN ANFSHM KMTsL JNt BRBWt AShABHA WABL (S. ALBQRt 2:265), dibaca:
-- wa matsalul ldzi-na yunfiqu-na amwa-lahumub tigha-a mardha-tiLla-h wa tatsbi-tan min anfusihim kamatsali jannatin birabwatin asha-baha- wa-bilun (s. albaqarah), artinya:
-- Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah jannah yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat,
Dalam ayat di atas Jannah berarti taman atau kebun di permukaan bumi ini.
Jadi menurut Al Quran yang dipergunakan sebagai kamus, Jannah dapat berarti surga di akhirat, atau dapat pula berarti taman di permukaan bumi ini, sesuai dengan konteks ayat itu masing-masing.
Selanjutnya marilah kita perhatikan ayat yang berikut:
-- WQLNA YaA ASKN ANT WZWJK ALJNt WKLA MNHA RGhDA hYTs SyaTMA WLA TQRBA HDzH ALSyJRt FTKWNA MN ALZhLMYN (S. ALBQRt, 2:35), dibaca:
-- wa qulna- ya-a-damus kun anta wa zaujukal jannata wakla- minha- rghadan haits syi’tuma- wa la- taqraba- ha-dzihisy syajarata fataku-na- minzh zha-limi-na (s. albaqarah), artinya:
-- Dan Kami berfirman: "Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu (dalam) jannah ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik dimana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim.
Selanjutnya akan dikutip ayat yang berikut:
FAZLHMA ALSyYTHN ‘ANHA FAaRJHMA MMA KANA FYH WQLNA AHBTHWA B’AdhKM LB’ADh ‘ADW WLKM FY ALARDh MSTQR WMT’A ALY hYN (S. ALBQRt, 2:36), dibaca:
-- fa azallahumasy syaitha-nu ‘anha- fa akhrajahuma- mimma- ka-na- fi-hi wa qulnah bithu- ba’dhukum liba’dhin ‘aduwwun wa lakum fil ardhi mustaqarrun wamata-‘un ila- hi-nin (s. albaqarah), artinya:
-- Lalu keduanya digelincirkan oleh syaitan dari jannah itu dan dikeluarkan dari keadaan semula dan Kami berfirman: "Turunlah kamu! sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan."
-- QLNA AHBThWA MNHA JMY’AA FANMA YAaTYNKM MNY HDY FMN TB’A HDAY FLA KhWF ‘ALYHM WLA HM YhZNWN (S. ALBQRt, 2:38), dibaca:
-- qulnah bithu- minha- jami-‘an fa imma- ya’tiyannakum minni- hudan fa man tabi’a huda-ya fala- khaufun ‘alaihim wa la- hum yahzanu-na (s. albaqarah), artinya:
-- Kami berfirman: "Turunlah kamu semuanya dari dia (jannah) itu! Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati".
(Sedikit catatan tambahan yang tidak berhubungan dengan pokok pembahasan kita. Yaitu bahwa Adam ditipu setan bukanlah atas pengaruh isterinya, yang bersumber dari Israiliyat, seperti yang biasa dikatakan orang. Jelas ayat itu mengatakan bahwa Fa Azallahuma sySyaythanu, Maka keduanya diperdayakan setan).
Adapun makna perintah Allah ihbithuw, turunlah, tidaklah seperti bidadari turun dari kayangan dalam dongeng. Kata turun, habatha, dalam Al Quran dipakai untuk pengertian air yang meluncur turun (S.Al Baqarah 74), Nabi Nuh AS turun dari kapalnya (S. Huwd 48) dan Banie Israil disuruh turun ke kota, go down town (S.Al Baqarah 61). Jadi perintah Allah ihbithuw, turunlah dalam pengertian topogarifs, dari tempat ketinggian di permukaan bumi ke tempat yang lebih rendah. Dengan demikian taman yang ditempati oleh Adam dan Hawa berada di sebuah dataran tinggi.
Sebelum Allah memerintahkan Adam, Hawa dan setan turun dari taman telah terjadi sebelumnya Allah mengusir iblis keluar dari alam malakut, karena sifat takbur iblis, yang tidak mau tunduk kepada Adam dengan alasan:
-- Ana Khayrun minhu Khalaqtaniy min Na-rin wa Khalaqtahu- min Thiynin (S. Al A'ra-f, 12), artinya:
-- Saya (iblis) lebih baik darinya (Adam), Engkau jadikan aku dari api dan Engkau jadikan dia dari tanah. Karena itulah iblis diusir keluar dari alam malakut:
-- FaMaa Yakuwnulaka Tatakabbara Fiyhaa Fakhruj Innaka Mina shShaaghiriyn (S. Al A'raaf, 7:13), artinya:
-- Tak pantas engkau berlaku sombong di dalamnya, maka keluarlah , sesungguhnya engkau termasuk golongan yang hina. Yakuwnalaka, Fakhruj, Innaka, itu semuanya bentuk mufrad (singular) jadi ditujukan kepada iblis seorang.
Jadi kita harus membedakan antara alam malakut tempat iblis mula-mula berada bersama para malikat dengan jannah tempat Adam, Hawa dan setan diperintahkan turun oleh Allah SWT.
Iblis tidak mau tunduk kepada Adam dengan alasan:
-- ANA KhYR MNH KhLQTNY MN NAR WKhLQTH MN ThYN (S. ALA’ARAF, 7:12), dibaca:
-- ana khairum minhu khalaqtani- min na-rin wa khalaqtahu- min thi-nin (s. al a’ra-f), artinya:
-- "Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api(*) sedang dia Engkau ciptakan dari tanah".
Apakah itu tanahnya surga? bacalah ayat ini:
-- ANY AKhLQ LKM MN ALThYN KHYat ALTHYR FANFKh FYH FYKWN ThYRA BADzN ALLH (S. AL ‘AMRAN, 3:49), dibaca:
-- anni- akhluqu lakum minath thi-ni kahaiatith thairi fa anfukhu fi-hi fayaku-nu thairan bi idzniLla-hi (s. ali ‘imra-n, 3:49, arinya:
-- sesungguhnya aku membuat untuk kamu dari tanah berbentuk burung; kemudian aku meniupnya, maka ia menjadi seekor burung dengan seizin Allah.
Manusia mulai dalam alam arwah, lalu arwah itu ditiupkan ke dalam janin dalam alam rahim ibu. Kemudian lahir ke luar ke alam syahadah. Seterusnya ruh dicabut berpindah ke alam barzakh, menunggu berbangkit dengan jasad yang baru pada hari berbangkit, lalu diadili, kemudian ke alam akhirat yang kekal. Dari hasil pengadilan itu yang selamat masuk jannah atau surga yang celaka masuk neraka.(**)
Kalau kakek dan nenek kita Adam dan Sitti Hawa mula-mula tinggal dalam jannah atau surga yang di akhirat kelak, maka ada empat keberatannya.
Keberatan pertama, Adam dan Sitti Hawa ibarat dalam cerita science fiction menerobos waktu berjalan mundur dari akhirat ke alam dunia.
Keberatan yang kedua surga di akhirat itu diharamkan setan masuk di dalamnya. Dalam ayat di atas itu setan menipu keduanya dalam jannah. (Fa Azallahuma sySyaythanu, setan menipu keduanya).
Keberatan ketiga, kalaulah jannah itu surga di akhirat, mengapa masih ada larangan bagi Adam dan Hawa untuk mendekati pohon itu (Janganlah engkau berdua dekati pohon kayu ini).
Keberatan keempat, Adam dibuat dari tanahnya bumi, bukan tanahnya surga. Artinya Adam dibuat di atas bumi ini, bukan di surga. Dalam pada itu tidak ada keterangan dalam Al Quran dan Hadits bahwa Adam dan Siti Hawa di"mi'raj"kan ke surga.
Walhasil jannah yang dimaksud tempat Adam dan Hawa bersenang-senang kemudian keduanya ditipu setan bukanlah dalam taman Firdaus, melainkan taman di tempat yang ketinggian di muka bumi ini. Ini dikuatkan oleh Nash, yaitu "habatha", kami ulang tulis sekali lagi, dalam Al Quran dipakai untuk pengertian air yang meluncur turun (S.Al Baqarah 74), Nabi Nuh AS turun dari kapalnya (S. Huwd 48) dan Banie Israil disuruh turun ke kota, go down town (S.Al Baqarah 61). Perintah Allah "Ihbithuw", kepada Adam, Sitti Hawa dan Iblis turun dalam pengertian topografis, dari dataran tinggi ke dataran rendah.
Lalu jangan terlena, ketiga ekor menjangan dalam gambar hasil sulaman isteri saya itu dapat dipertanggung-jawabkan. Perlu diketahui bahwa designer lukisan itu adalah saya sendiri. WaLlahu A'lamu bi shShawab.
*** Makassar, 8 September 1996
---------------------
(*)
Iblis dari api dan malaikat dari cahaya. Api bhs Arab-AlQuran Naar (Nun-Alif-Ra), cahaya Nuwr (Nun-Waw-Ra). Iblis dari api bersifat seperti digambarkan oleh Alif, tegak, sombong. Malaikat dari cahaya bersifat seperti digambarkan oleh Waw, tunduk, patu kepada Allah.
(**)
Firman Allah SWT:
Kayfa takfuru-na biLla-hi wa kuntum amwa-tan faahya-kum tsumma yumi-tukum tsumma yuhyi-kum tsumma ilayhi turja'u-n, kuntum amwa-tan dalam keadaan mati, belum berjasad (alam arwah) - faahya-kum
janin ditiupkan ruh dihidupkan (alam rahim), lahir ke dunia (alam syahadah) - yumi-tukum, dimatikan, ruh berpisah dari jasad, jasad hancur menjadi tanah ruh pindah ke alam barzakh, yuhyi-kum, dihidupkan, ruh menempati jasad baru yang permanen (bukan dari tanah lagi) lalu bangkit (qa-ma, qiya-mun = berdiri, berbangkit). Iniliah yang disebut yawmu lqiya-mah, hari berbangkit. Bila tibanya hari berbangkit, atau hari kiamat itu? Secara kuantitatif, 10.000 tahun lagi, 100.000 tahun lagi? Itu rahasia Allah SWT. Namun secara kualitatif ialah apabila semua ruh di alam arwah sudah semuanya dituiupkan Allah ke dalam janin manusia, artinya apabila semua arwah di alam arwah sudah pindah semuanya ke alam syahadah menjadi manusia, dan semua manusia itu sudah menjalani kehidupan di alam syahadah, semua arwah sudah masuk alam barzakh, maka itulah saatnya yawmu lqiya-mah, hari kiamat. Adapun prolog hari kiamat ialah gempa global, seperti dalam Surah al Zilzal (silakan baca surah tersebut). Menyusul hari kiamat, atau hari berbangkit ialah semuanya dikumpulkan di Padang Mahsyar untuk diadili, inilah yang disebut dengan yawmu ddi-n, hari pengadilan, ini selalu kita baca pada waktu shalat: Maliki yawmi ddi-n, Allah adalah Raja atau Pemilik Hari Pengadilan. Sesudah diadili yang selamat masuk surga, yang tidak selamat masuk neraka, itulah Hari Akhirat yang kekal.
Maka ringkas kata, manusia mulai dalam alam arwah, lalu arwah itu ditiupkan ke dalam janin dalam alam rahim ibu. Kemudian lahir ke luar ke alam syahadah. Seterusnya ruh dicabut berpindah ke alam barzakh, menunggu berbangkit dengan jasad yang baru pada hari berbangkit, lalu dikumpulkan, lalu diadili, yang selamat masuk jannah atau surga yang celaka masuk neraka. Surga dan neraka itulah yang disebut hari akhirat.